Welcome to

HARMONIA : Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni

Senin, 28 Desember 2009

Wolfgang Amadeus Mozart adalah sosok seorang yang jenius dan profesional dalam bidang komposisi musik. Selain seorang komposisi beliau juga seorang yang ahli dalam memainkan instrumen musik biola dan harpsichord. Sudah banyak karya komposisi musik instrumental, vokal, bahkan sampai ke bentuk orkes simfoni dengan paduan suara yang dihasilkan. Beberapa karya hebat yang sudah diciptakan adalah komposisi untuk musik kamar kuartet gesek. Eine Kleine Nachtmusik K.525 adalah salah satu karyanya yang sampai sekarang masih sering terdengar di penjuru dunia. Komposisi kuartet gesek ini mempunyai karakter dan ciri khas musik yang ringan dan lincah, sehingga terkenal di masyarakat. Dalam hal ini, penulis berusaha mengkaji Eine Kleine Nachtmusik dalam perkembangan bentuk penyajian dan fungsinya yang masih terdengar dan terkenal di jaman modern ini. Untuk membahas karya tulis ini digunakan metode kualitatif dengan analisis deskriptif, melalui pendekatan musikologi. Hasil dari penulisan ini adalah perkembangan bentuk penyajian dan fungsi yang semakin luas dari bentuk dan format penyajian karya asli.

Read More ..

Senin, 03 Agustus 2009

PENDIDIKAN ESTETIKA MELALUI SENI BUDAYA DI FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

Oleh :

Malarsih dan Wadiyo


Dosen Seni Tari dan seni Musik, FBS, UNNES



ABSTRACT


This research aims to give an image of aesthetic education implementation through art in Languages and Arts Faculty in Semarang State University. Applied method in this research is qualitative method. Data collection techniques are done by observation, inter view, and documentation. Analyzing data is done by using interactive analysis. Technique of checking relevance data done by using triangulation. The result of this research shows that aesthetic education implementation through art in Languages and Arts Faculty are done in form of formal and non-formal aesthetics. Formal aesthetic education are done by all of students in languages and arts faculty through art materials. Non-formal aesthetics education are done by academic consists of students, lecturers, employees, as well as the head of faculty. Non-formal esthetics education mainly are done as a coordinating institution of students’ activity unit. Aesthetics education for lecturers, employees, as well as the head of faculty mainly done through art appreciation and creation by watching art exhibition, watching art performances, doing art activities which held by faculties and majors events.

Kata kunci : seni budaya, estetika, pendidikan, apresiasi, kreasi



PENDAHULUAN
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang merupakan satu-satunya fakultas di Universitas Negeri Semarang yang menyelenggarakan pendidikan seni budaya. Di Fakultas Bahasa dan Seni ini lah berdiri program-progran jenjang S-1 seni, yakni Pendidikan Seni Rupa, Pendidikan Seni Drama, Tari, dan Musik, dan ada juga Sastra Bahasa. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah “Bagaimana pendidikan estetika melalui seni budaya dilaksanakan di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang?”
Pendidikan estetik merupakan jenis pendidikan yang tidak berbeda dengan jenis pendidikan lain pada umumnya. Artinya dalam pendidikan itu juga diperlukan macam-macam aspek seperti aspek afektif, psikomotorik, dan kognitif. Perbedaan yang menonjol antara pendidikan estetika dengan jenis pendidikan lain adalah, pendidikan estetika lebih menonjolkan aspek afektif dan psikomotorik untuk mendapatkan apa yang dinamakan pengalaman estetik. Jelasnya, pendidikan estetika merupakan pendidikan yang mengutamakan didapatkannya pengalaman estetik melalui proses berkesenian.
Berdasar konsep dasarnya, istilah estetika menurut The Liang Gie (1976) dan Anwar (1985) secara umum berarti keindahan. Namun demikian secara khusus bisa diartikan sebagai filsafat keindahan. Berkait dengan itu, menurut Triyanto (2002) arti yang pertama bersifat teknis sedangkan arti yang kedua lebih bersifat filosofis. Dalam konteks ini, baik estetika diartikan sebagai keindahan atau estetika diartikan sebagai filsafat keindahan, dua-duanya digunakan sebagai landasan pelaksanaan pendidikan estetika.
Pendidikan estetika melalui seni budaya hanya bisa tercapai jika pelaksanaan pendidikannya dilakukan melalui apresiasi dan kreasi/ ekspresi. Berkenaan dengan itu maka diperlukan konsep apresiasi dan konsep kreasi/ ekspresi yang jelas agar dapat digunakan sebagai landasan dalam menjalankan pendidikan apresiasi dan kreasi/ekspresi tersebut menuju tercapainya pendidikan estetika yang optimal. Lebih lanjut untuk memahamkan estetika dalam dunia seni secara khusus atau filsafat keindahan, dijelaskan oleh Triyanto (2002) bahwa, keindahan itu menunjuk pada suatu kualitas nilai fisik objek tertentu.
Suatu objek dikatakan memiliki kualitas nilai keindahan karena dalam objek itu terdapat ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang menjadikannya indah. Read (1973); The Liang Gie (1976); Sahman (1993); Sutrisno SJ dan Verhaak SJ (1993) mengemukakan, ada sejumlah syarat tertentu suatu objek/benda dikatakan bernilai estetis atau indah, yakni manakala objek/benda itu ada perimbangan antara bagian-bagiannya. Pengertian perimbangan di sini, secara artistik menunjuk pada terpenuhinya azas-azas komposisi. Secara umum azas komposisi itu antara lain meliputi, tema, harmoni, irama, variasi, dan proporsi.
Pengertian estetika seperti yang telah dikemukakan secara panjang lebar tadi, biasanya secara sempit dipergunakan untuk mengkaji atau menganalisis kualitas suatu keindahan dalam fenomena satu objek tertentu. Namun demikian dalam hubungannya dengan berkesenian sebagai suatu tujuan pendidikan estetik, yang lebih dipentingkan adalah merasakan dan/ atau proses membuat “benda” indah.
Dijelaskan oleh Sutrisno dan Christ Verhaak (1993), berkesenian adalah salah satu ekspresi proses kebudayaan yang berkait dengan pandangan jagat/dunia orang-orang dari kebudayaan itu. Berkait dengan itu, Sedyawati menurut Sutrisno dan Christ Verhaak (1993) juga mendukung pendapatnya dengan mengemukakan, suatu keindahan tidak harus berlaku umum sebab keindahan lebih mengacu pada pandangan/ perasaan individu berdasar pada budaya yang dijadikan acuan oleh individu tersebut.
Berkait dengan apresiasi dan ekspresi seni budaya menuju tercapainya pendidikan estetika, bahwa apresiasi itu sendiri secara konsep menurut Gove dalam Dostia dan Aminudin (1987) adalah suatu pengenalan seni melalui perasaan dan kepekaan batin terhadap seni yang diperkenalkan sampai kememahami serta mengakui terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan oleh seniman. Berkait dengan itu, menurut Sutopo (1985) yang mengambil pendapat B.O Smith, bahwa apresiasi merupakan proses pengenalan dan pemahaman nilai karya seni, untuk menghargainya, dan menafsir makna yang terkandung di dalamnya.
Dalam menjadikan seni sebagai alat pendidikan estetika, setelah memahami konsep apresiasi, selanjutnya harus memahami konsep ekspresi. Biasanya antara konsep ekspresi dengan konsep kreasi dipahami/dimengerti, rancu. Kerancuan ini bisa dimengerti sebab dalam dunia seni, berekspresi dalam bentuk mewujudkan sebuah karya seni bisa dimengerti sebagai berkreasi namun berekpresi dalam bentuk penjiwaan dan/atau pembawaan sebuah karya seni tanpa menghasilkan wujud karya seni baru tertentu, hanya bisa dimengerti sebagai berapresiasi. Dengan demikian, konsep ekspresi bisa dimengerti sebagai suatu penjiwan dan/atau pembawaan dalam sebuah tataran apresiasi, namun juga bisa dimengerti sebagai sebuah bentuk berkreasi manakala ekspresi tersebut sampai ketataran mewujudkan sebuah karya seni (lihat Prier 1986; Rohidi 1993; dan Surjobrongto 1982).
Dalam hubungannya dengan kepentingan berkesenian/berekspresi seni sebagai alat pendidikan estetika, lebih lanjut diperlukan pemahaman tentang konsep kreasi secara khusus. Secara harafiah atau khusus dari sisi kebahasaan, kreasi dapat dimengerti sebagai hasil dari sebuah kreativitas. Lebih lanjut Santrock dalam Sumaryanto (2001) mengemukakan, kreativitas adalah kemampuan berpikir tentang sesuatu dengan cara yang baru untuk dapat menemukan pemecahan masalah yang unik. Vogel dalam Sumaryanto (2001) mengambil pendapat Guilfort, bahwa paling sedikit terdapat dua kemampuan yang terlibat dalam berpikir kreatif, yaitu kemampuan produksi divergen dan kemampuan transformasi. Menurut Vogel, kreativitas tampaknya berkorelasi dengan fleksibilitas dalam proses berpikir, yaitu adanya gagasan-gagasan yang lebih mengarah pada kompleksitas berpikir. Berhubungan dengan itu, Vogel demikian menurut Sumaryanto, mendefinisikan kreativitas sebagai proses berpikir yang menghasilkan konsep-konsep baru atau pemecahan masalah.
Horlock dalam Munandar (1987) mengemukakan, kreativitas berkait dengan daya cipta seseorang yang menghasilkan sesuatu dalam wujud/bentuk baru dan/atau berbeda dengan yang lain, dan ini bisa bersifat verbal, non verbal, nyata, atau abstrak. Hadirnya kreativitas menurut Ross (1973); Lowenfeld dan Brittain (1982) ditandai oleh beberapa indikator, antara lain memiliki kepekaan terhadap masalah, memiliki ide yang lancar, memiliki keluwesan dalam menyesuaikan diri, memiliki keaslian dalam menanggapi dan memecahkan masalah yang dihadapi, bebas dalam mengungkapkan gagasan, mampu memecahkan masalah dengan cara yang berbeda dengan yang dilakukan oleh orang lain, memiliki kemampuan menyusun ulang situasi, serta memiliki kemampuan dalam analisis dan sintesis.
Bertolak dari konsep dan/atau pemahaman tentang apresiasi dan ekspresi/kreasi seperti yang telah dikemukakan, jika dihubungkan dengan seni dalam hubungannya dengan pencapaian pendidikan estetika, tampaknya akan menjadi sarana ketersampaiannya. Alasan dari pemikiran ini adalah, dalam berapresiasi, seni mengandung kepekaan estetik, begitu pula dalam berekspresi seni juga mengandung kepekaan estetik, dan dalam berkreasi seni juga bergulat dengan keestetikaan. Proses yang demikian ini akan menjadikan pengalaman estetik bagi orang yang berkesenian sesuai dengan keinginan bagi kepentingan pendidikan estetika.

METODE
Metode penelitian yang diterapkan pada penelitian ini adalah metode kualitatif.
Lokasi penelitian ini adalah Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. Sasaran penelitian berkait tentang pelaksanaan pendidikan estetika melalui seni budaya di lingkungan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, baik seni budaya Jawa, seni musik umum, seni rupa, maupun seni sastra.
Alat pengumpul data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan studi dokumen. Observasi dilakukan dengan melihat aktivitas sivitas akademika Fakultas Bahasa dan Seni dalam berkesenian, baik berapresiasi maupun berkreasi. Wawancara dilakukan pada individu-individu yang dipilih sebagai informan yang dianggap terlibat dalam kegiatan berkesenian di lingkungan kampus Fakultas Bahasa dan Seni. Studi dokumen dilakukan dengan melihat dokumen-dokumen, baik dalam elektronik seperti yang ada pada rekaman-rekaman, tulisan/catatan-catatan, maupun gambar.
Analisis data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah analisis data model interaktif, sebagaimana yang dikembangkan oleh Milles dan Huberman (dalam Rohidi terj. 1992); Nasution (1996); dan Moleong (1996). Analisis dimulai sejak pengumpulan data, dilanjutkan reduksi data, penyajian data, dan verifikasi yang berputar secara terus menerus hingga masalah penelitian ditemukan jawabannya sampai pada pemaknaannya yang mendalam.

Teknik keabsahan data yang diterapkan dalam penelitian ini, utama sekali adalah triangulasi data (Moleong 1996; Patton 1987). Triangulasi data yang dimaksud oleh Moleong dan Patten itu setidaknya dalam penelitian harus dilakukan dengan mencocokkan data hasil wawancara, Observasi, dan studi dokumen, keajegan jawaban dari sumber yang sama dalam memberi keterangan dari waktu ke waktu atau dalam waktu yang berbeda, kesamaan keterangan antara sumber satu dengan yang lain, dan ketekunan serta ketelitian peneliti dalam mengamati kegiatan yang aplikasinya dalam penelitian ini adalah kegiatan berkesenian yang dilakukan oleh sivitas akademika Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang di lingkungan kampus Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada sesi ini, akan disampaikan hasil penelitian dan pembahasan. Hasil penelitian dan pembahasan akan disampaikan secara menyatu yang pembahasannya hanya akan tampak implisit dalam hasil penelitian ini. Hasil penelitian akan menjawab permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, yakni tentang “Bagaimana pelaksanaan pendidikan estetika melalui seni budaya di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang”. Pendidikan estetika melalui seni budaya di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang dalam penelitian ini akan dilihat dari kegiatan-kegiatan berkesenian sivitas akademika, baik pada tataran apresiasi maupun tataran kreasi formal maupun non formal.

Apresiasi dan Kreasi Formal
Apresiasi dan kreasi sebagai suatu bentuk pendidikan estetika yang dalam konteks penelitian ini dikatakan dengan istilah formal, oleh fakultas diserahkan sepenuhnya kepada jurusan-jurusan seni dan sastra. Jurusan-jurusan seni dan sastra, melakukan kegiatan apresiasi dan kreasi yang eksplisit dan implisit di dalam proses pembelajaran atau masuk dalam mata kuliah-mata kuliah. Di dalam mata kuliah-mata kuliah yang berhubungan dengan seni dan sastra semuanya selalu ada aspek apresiasi dan kreasinya yang dengan demikian pendidikan estetika, baik secara eksplisit dan/ atau pun implisit ada di dalamnya.
Jurusan pendidikan seni drama, tari, dan musik, untuk seluruh mahasiswanya diwajibkan mendapatkan mata kuliah seni drama. Dengan demikian apresiasi dan kreasi seni drama sebagai wujud pendidikan estetika ada pada proses belajar mengajar seni drama tersebut. Berbeda dengan mata kuliah seni drama, mata kuliah seni tari dan musik hanya diwajibkan pada mahasiswa yang mengambil bidang studi tari dan musik tersebut. Pendeknya, untuk mahasiswa Program seni tari, mata kuliah bidang studi yang diberikan hampir semuanya adalah berkait dengan seni tari dan karawitan. Seni musik diberikan untuk mahasiswa program seni tari hanya sekedar untuk apresiasi ringan dan tidak dituntut kreasi yang berstandar sebagai kreator musik.
Berbeda dengan program studi seni tari adalah program studi seni musik. Untuk seni musik, pelajaran seni tari juga hanya dimasukkan sebagai pendidikan apresiasi dengan tidak dituntut berkreasi tari seperti seorang kreator tari. Bidang studi pendidikan seni musik, diberikan pendidikan estetika hanya sebagai suatu implementasi dari mata kuliah-mata kuliah seni musik yang diberikan sebagai mata kuliah wajib.
Berbeda dengan Jurusan Seni Drama, Tari, dan Musik, yang memberikan pendidikan estetika melalui mata kuliah-mata kuliah yang berhubungan dengan seni drama, tari, dan musik adalah Jurusan Seni Rupa. Jurusan seni rupa ini ada yang jurusan kependidikan namun juga ada yang non kependidikan. Lepas dari jurusan kependidikan maupun jurusan non kependidikan, untuk jurusan seni rupa ini memberikan pendidikan estetika kepada para mahasiswanya juga melalui mata kuliah-mata kuliah kesenirupaan. Apa yang diberikan pada mata kuliah-mata kuliah kesenirupaan, baik secara eksplisit maupun implisit semuanya mengandung unsur pendidikan estetika.
Dilihat dari struktur programnya, pendidikan estetika melalui seni budaya yang ada pada Program Studi Seni Tari masuk pada mata kuliah-mata kuliah seperti sejarah tari, tari surakarta, tari kreasi, tari bali, tari sunda, tari nusantara, kreativitas tari, komposisi tari, karawitan, dan pergelaran. Pendidikan estetika melalui seni budaya yang ada pada Program Studi Seni Musik masuk pada mata kuliah-mata kuliah seperti sejarah musik, musik daerah, musik masa kini, musik keroncong, musik band, dan praktek-praktek instrumen musik seperti musik gesek, musik tiup, musik gesek, dan musik petik. Pendidikan estetika melalui seni budaya yang ada pada Program Studi Seni Rupa masuk pada mata kuliah-mata kuliah seperti ornamen nusantara, seni lukis, seni patung, seni grafis, seni keramik, seni ukir, desain, dan lain-lain yang diambil oleh mahasiswa yang struktur programnya memang ada mata kuliah tersebut.
Di luar dari seni tari, seni musik, dan seni rupa pun juga ada pendidikan estetika yang lain, yaitu seni sastra. Seni sastra ada seni sastra Jawa, Nusantara/Indonesia, dan asing. Seni sastra ini yang paling menonjol dan dipahami oleh umum, misalnya seperti puisi, prosa, sajak, sandiwara/ drama, dan juga tembang dan karawitan bagi mahasiswa jurusan pendidikan bahasa Jawa. Seluruh seni-seni yang ada seperti seni tari, seni msik, seni rupa, dan seni sastra ini diajarkan pada program-program studi yang relevan dengan program studi yang ada di Fakultas Bahasa dan Seni universitas Negeri Semarang ini. Untuk itu lah, pendidikan estetika melalui seni budaya dalam tataran apresiasi dan kreasi yang bersifat formal menjadi terwujud.

Apresiasi dan Kreasi Ekstra/ Non Formal
Pendidikan estetika melalui seni budaya yang dilakukan melalui apresiasi dan kreasi sebagai bentuk pengembangan bakat dan minat mahasiswa juga diselenggarakan oleh Fakultas Bahasa dan Seni di bawah universitas. Sebenarnya bentuk pengembangan bakat dan minat ini boleh diikuti oleh seluruh mahasiswa Universitas Negeri Semarang dari seluruh fakultas yang ada di Universitas Negeri Semarang. Namun demikian, yang mengambil seni sebagai pilihan pengembangan bakat dan minat ini sebagian besar juga dari para mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni.
Wujud kegiatan sebagai bentuk pendidikan estetika melalui seni budaya yang di bawah langsung universitas adalah unit kegiatan mahasiswa atau biasa disingkat dengan UKM. Untuk kesenian ditangani melalui kegiatan yang dikoordinir oleh pembantu dekan bidang kemahasiswaan. Nama kegiatannya ada karawitan, panembromo, kethoprak, dan tari. Untuk saat ini kegiatan itu bekerjasama menjadi satu dalam bentuk forum UKM Kesenian Jawa.
Selain kesenian Jawa ada juga unit kegiatan mahasiswa atau UKM yang lain, yakni seni musik dan seni rupa. Seni musik ini ada paduan suara, band, marching band, campursari, dan rebana. Seni rupa ada kerajinan, lukis, patung, ukir-ukiran, dan desain. Pada kegiatan seni musik dan seni rupa ini lah pendidikan estetika melalui seni budaya juga secara eksplisit dan implisit terbentuk di dalamnya karena mereka berapresiasi dan berkreasi dengan seni tersebut.
Jalannya kegiatan untuk unit kegiatan mahasiswa ini atas dasar pilihan masing-masing dari para mahasiswa untuk pengembangan bakat dan minatnya yang tidak ada kewajiban bagi mahasiswa untuk harus mengikutinya. Setiap satu unit kegiatan didampingi satu dosen yang dipandang mampu mengkoordinir, sebagai tugas dari universitas. Sekalipun kegiatan ini hanya bersifat kokurikuler/ekstra kurikuler/pilihan yang tidak ada ikatannya, namun ternyata telah menghasilkan kreator-kreator yang sangat berguna bagi kepentingan kampus dan masyarakat luas.
Mereka selalu melayani permintaan pementasan, baik untuk kalangan kampus sendiri maupun dari masyarakat luar. Di kalangan kampus sendiri, kegiatan ini juga mementaskan ketoprak untuk acara Bulan Bahasa dan mementaskan kethoprak, karawitan, tari, panembromo menjadi satu dalam acara awal tahun. Upacara Dies Natalis juga menyajikan karawitan, tari, dan panembromo. Acara Wara Kawuri dan Halal Bihalal, menyajikan karawitan.
Selain apa yang telah dikemukakan itu, di Fakultas Bahasa dan Seni juga menyelenggarakan Sanggar Seni Puspita Sekaran yang merupakan singkatan dari pusat pelatihan seni tari dan karawitan, untuk keluarga Fakultas Bahasa dan Seni dan masyarakat sekitar. Pada setiap malam rabu legi juga diadakan pendidikan estetika melalui seni budaya yang implisit terbungkus dalam acara Sarasehan Budaya. Penyelenggaraannya bertempat di gasebo bahasa Jawa yang dalam acara saresehan itu juga selalu diisi dengan sajian seni Jawa.
Seni Jawa yang banyak digunakan untuk mengisi itu paling banyak adalah seni geguritan dan tari fragmen. Pernah juga tari ritual yang menceritakan manusia menyembah Tuhan atau tari ritual yang diberi judul Mahas ing Asamun atau Semedi. Di acara itu juga bersama dengan kelompok dari luar Fakultas Bahasa dan Seni mementaskan Wayang Dongeng.
Seni Jawa yang lain yang dilatih di dalam Fakultas Bahasa dan Seni dan menjadi satu dengan UKM karawitan adalah seni daerah Semarang yang bernama Gambang Semarang. Gambang Semarang ini paling banyak dipentaskan di luar kampus karena seni Gambang Semarang merupakan cirri khas seni Semarangan sehingga sangat sering diminta untuk mengisi acara-acara dalam kaitannya dengan kegiatan di Kota Semarang. Pementasan seni Gambang Semarang ini tampaknya untuk menunjukkan bahwa di Semarang mempunyai seni yang khas, yaitu seni Gambang Semarang.
Pendidikan estetika melalui seni budaya di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang tidak cukup hanya itu. Melalui kegiatan di luar UKM ada juga sebuah kursus pranata cara, yang diberi nama Pawiyatan Krida Madu. Di dalam kursus ini di olah lah basa, sastra, dan tembang yang pengolahannya tidak hanya ditangani oleh personal-personal dari dalam kampus namun juga melibatkan orang luar kampus utamanya mereka-mereka yang kompeten dalam bidang olah basa, sastra, dan tembang. Peserta kursus bukan saja orang-orang dari dalam kampus namun banyak juga peserta dari luar kampus.
Ada seni Jawa, ada pula seni musik umum. Di dalam unit kegiatan mahasiswa seperti yang telah dikemukakan, ada UKM paduan suara, band, marsing band, campursari, dan rebana. Sekalipun kegiatan ini hanya sebagai pengembangan bakat dan minat, banyak juga kegiatan-kegiatan yang dijalani dan prestasi-prestasi yang diraih oleh kegiatan seni musik ini. Untuk paduan suara dan band misalnya, hampir tidak terlewatkan selalu digunakan untuk acara wisuda universitas dan fakultas. Selain acara wisuda, biasanya digunakan juga seperti jika ada acara Putra Putri Kampus.
Kejuaraan-kejuaraan seni musik melaui wadah UKM seni musik, juga mendapatkan banyak penghargaan dari kegiatan-kegitan kemahasiswaan, seperti pernah sebagai juara lomba vokal group antar mahasiswa tingkat Jawa Tengah dan juara tingkat nasional. Juara juga nyanyi lagu pop, seriosa, dan keroncong tingkat Jawa tengah dan Nasional. Semua ini merupakan bentuk keberhasilan pendidikan estetika melalui seni budaya di lingkungan kampus Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, yang tentunya tidak sekadar mendapat juaranya yang kita hargai, namun lebih dari itu, adalah pendidikan estetikanya yang dalam hal ini pendidikan estetika melalui seni budaya.
Dalam kegiatan kesenirupaan, banyak juga dilakukan oleh para mahasiswa hingga mendapat kejuaraan setidaknya di tingkat Jawa Tengah dan pernah juga ada yang mendapat juara I sampai tingkat nasional, yaitu Ilustrasi. Selebihnya dari itu seperti lomba poster, animasi, dan fotografi adalah juara tingkat Jawa Tengah. Pameran-pameran kesenirupaan juga diselenggarakan tidak hanya di dalam kampus, namun juga di luar kampus. Pameran di dalam kampus biasanya untuk ujian Tugas Akhir mahasiswa tetapi ada juga pameran yang tidak saja karya mahasiswa tetapi juga karya dosen. Itu lah bentuk pendidikan estetika melalui seni budaya untuk sivitas akademika Fakultas Bahasa dan Seni. Pendidikan estetika tidak hanya dalam bentuk berkarya seni namun juga mengapresiasi karya seni.
Jika Jurusan Seni Rupa mengadakan pameran untuk sivitas akademika yang akhirnya dapat dimengerti menjadi bentuk pendidikan estetika, begitu pula tidak berbeda untuk Jurusan Seni Drama, Tari, dan Musik. Di dalam mata kuliah pergelaran, para mahasiswa juga mempergelarkan karya seni tari dan musik untuk tidak saja diambil nilainya oleh dosen, namun juga untuk dipertontonkan pada sivitas akademika yang berminat.
Pendidikan estetika sebagai kegiatan berkesenian tidak saja dilakukan oleh mahasiswa, namun juga dosen dan karyawan yang dipelopori oleh pimpinan fakultas/ dekan. Dekan Fakultas Bahasa dan Seni sangat getol mengadakan acara nyanyi bersama yang diberi label Nyanyi Bersama Lagu Tembang Kenangan. Di dalam acara Tembang Kenangan juga diisi berbagai jenis musik dan irama musik yang siapa saja bisa ikut terlibat berkesenian di acara itu.
Tidak hanya tingkat fakultas yang dilibatkan dalam acara-acara seperti ini, namun juga kadang sampai ke tingkat universitas. Pembantu rektor bidang kerjasama, pembantu rektor bidang kemahasiswaan, para dekan, dosen, karyawan, dan bahkan darma wanita juga diajak berkesenian dalam acara-acara berkesenian dalam bungkus tembang kenangan ini. Usaha memancing kegairahan seluruh sivitas akademika untuk berkesenian semacam ini, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni mengambil pemain musik dan pelatih tari untuk menarikan lagu-lagu tembang kenangan ini dalam bentuk tari modern berdasar irama musiknya.
Pendidikan estetika melalui seni budaya yang dilakukan oleh fakultas tidak cukup hanya sampai di situ. Berbagai cara dilakukan, bahkan sampai pada kewajiban senam setiap hari jumat pagi juga menghadirkan pelatih senam dari luar kampus yang dalam acara senam itu tidak hanya mementingkan kesegaran fisik. Kesegaran estetik juga diusahakan bahkan menjadi sama utamanya dengan kesegaran fisik. Acara senam bersama seluruh dosen dan karyawan, dipilih lagu-lagu yang berirama dinamis dan menyenangkan. Dalam acara senam ini pula, tidak hanya bunyi irama musik untuk memancing gerak yang dipentingkan, lebih dari itu digunakan pula lagu-lagu yang enak dinyanyikan sambil bersenam sehingga suasana dan keadaan badan menjadi sehat segar.
Karyawan dalam bekerja menggunakan komputer juga dilengkapi dengan berbagai lagu. Melalui compact disk room dapat disetel lagu-lagu untuk mengantarkan kegairahan kerja. Ibarat sambil berdendang nasi masak. Sambil menikmati lagu-lagu dan sekali-kali ikut menyanyikan, pekerjaan selesai dengan baik. Ketegangan kerja, kejenuhan, kebosanan seolah tidak ada karena dalam bekerja diselipkan bentuk ungkapan rasa melalui lagu yang dinikmati. Kadang juga sekali-kali pada jam-jam tertentu bisa menikmati tayangan kesenian melalui televisi yang dipajang di ruang kerja karyawan sehingga membuat karyawan dalam bekerja terasa bagai di rumah sendiri. Itu lah bentuk pendidikan estetika melalui seni budaya yang dilakukan di Fakultas Bahasa dan Seni. Mahasiswa, dosen, karyawan, dan seluruh jajaran pimpinan fakultas, semuanya berkesempatan mendapatkan pengalaman estetik.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasar hasil penelitian yang dikemukakan, disimpulkan bahwa pendidikan estetika melalui seni budaya pada Fakultas bahasa dan Seni dilakukan dalam bentuk pendidikan estetika formal dan non formal. Pendidikan estetika formal, dilakukan pada seluruh mahasiswa program seni dan sastra melalui kuliah-kuliah yang bermaterikan seni. Pendidikan estetika non formal dilakukan oleh seluruh sivitas akademika, baik mahasiswa, dosen, karyawan, maupun pimpinan fakultas. Pendidikan estetika non formal untuk mahasiswa utama sekali dilakukan melalui wadah unit kegiatan mahasiswa (UKM) seni yang dipilih mahasiswa berdasar minatnya. Pendidikan estetika melalui seni budaya untuk para dosen, karyawan, dan pimpinan fakultas utama sekali dilakukan melalui kegiatan berapresiasi seni dalam bentuk seperti menyaksikan pameran seni rupa di fakultas, menyaksikan pergelaran seni yang dilakukan oleh sivitas akademika, dan melakukan kegiatan berkesenian sendiri berdasar minatnya yang difasilitasi oleh fakultas.

Saran
Berdasar simpulan yang telah dikemukakan disarankan, seluruh sivitas akademika Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang hendaknya selalu mengembangkan potensi diri dalam berkesenian dalam rangka mewujudkan tercapainya pendidikan estetika melalui seni budaya yang optimal. Harapan ke depan dapat menjadi pendidik-pendidik seni bagi masyarakat luas melalui jalur apa pun sehingga terwujud manusia-manusia Indonesia yang humanis dan senantiasa kreatif dalam menghadapi segala tantangan kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA

Aminudin, Dostia. 1987. Pengantar Apresiasi. Bandung: CV. Sinar Baru
Anwar, W. 1985. Filsafat Estetika. Yogyakarta: Penerbit Nur Cahaya
Lowenfeld, V & Brittain, WL. 1982. Creative and Mental Growth. New York: Macmillan
Matthew B, Miles, A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Tjetjep Rohendi Rohidi (terj). Jakarta: UI Press.
Moleong, Lexy J. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Munandar, Utami. 1988. Kreativitas Sepanjang Masa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Patton, Michael Quinn. 1987. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Methods. Beverly Hills: Sage Publications.
Prier, Karl Edmund SJ. 1996. Menjadi Dirigen Jilid I. Teknik Memberi Aba-aba. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi.
Read, Habert. 1973. The Meaning of Art. London: Faber & Faber.
Rohidi, TR. 1993. “Ekspresi Seni Orang Miskin: Adaptasi Simbolik terhadap Kemiskinan”. Disertasi Doktor UI Jakarta.
Ross, Maleom. 1978. The Creative Art. London: Heinemann Educational Books Ltd.
Sahman, H. 1993. Estetika: Telaah Sistemik dan Historik. Semarang: IKIP Semarang Press.
Sumaryanto, Totok. 2001. “Pemupukan Kreativitas Anak Melalui Pembelajaran Musik” dalam Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni Harmonia Vol.2 No. 3/ Januari – April 2001.
Suryobrongto. 1982. Nilai-nilai Keindahan Tari. Yogyakarta: Depdikbud.
Sutopo, HB. 1989. Peranan Pendidikan Seni Masa Kini. Makalah dalam Seminar Pendidikan Seni Rupa di IKIP Semarang.
Sutrisno, Mudji SJ & Verhaak, Christ SJ. 1993. Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius.

The Liang Gie. 1996. Filsafat Seni. Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIB).
This article is taken from Harmonia Vol. IX No. 1 June 2009

Read More ..

FUNGSI DAN MAKNA KESENIAN BARONGSAI BAGI MASYARAKAT ETNIS CINA

Oleh :

Bintang Hanggoro Putra


DosenSeni Tari, FBS, UNNES,


email : bintang_hp@yahoo.com



Abstract
Barongsai is a traditional art of Chinese ethnic in Semarang, which comes from China. That art still exists and develop until nowadays although have lot of pressures both from Orde Lama and Orde Baru. Research studies were: (1) origin of Barongsai, (2) form of Barongsai art performance, (3) function of Barongsai art, (4) meaning of Barongsai art for Chinese ethnic in Semarang. Applied research method is qualitative method. Techniques of data collection are observation, interview, and documentation studies. Technique of data analysis are reducing, clarifying, decrypting, concluding, and interpreting all information selectively. Techniques of checking relevance data were dependability and conformability. Research result shows that Barongsai is an art comes from China entered Semarang by Chinese merchant. Form of Barongsai performance are divided into three stages, those are flag play, Barongsai play, and ending. Function of Barongsai art for Chinese ethnic in Semarang are ritual, entertainment, and politic function. Whereas meaning of Barongsai art for Chinese ethnic in Semarang is symbolic meaning and strategy meaning.

Kata Kunci : kesenian barongsai, fungsi, makna, masyarakat etnis Cina


PENDAHULUAN
Barongsai adalah kesenian masyarakat etnis Cina di Indonesia yang dalam perkembangannya mengalami pasang surut karena tekanan politik yang kuat sejak pemerintahan Orde Lama sampai dengan Orde Baru. Berbagai peraturan pemerintah dikeluarkan, salah satunya adalah Instruksi Presiden no. 14 th 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina yang diberlakukan mulai tanggal 6 Desember 1967. Segala ritual budaya dan keagamaan bagi kalangan orang Tionghoa dilarang untuk diselenggarakan di tempat umum. Masyarakat etnis Cina tidak lagi bisa secara bebas merayakan ritual-ritual Konghucu, merayakan Imlek dengan menggelar pertunjukan Liong, Barongsai, dan mengarak Toapekong di tempat-tempat umum. Koran-koran beraksara Cina dilarang terbit dan sekolah-sekolah Tionghoa yang mengajarkan bahasa dan kebudayaan Cina pun ditutup. Bahkan, pembatasan dan pelarangan terhadap etnik Tionghoa sampai pada hal yang bersifat pribadi, yaitu mengenai nama. Mereka harus mengganti nama dengan nama Indonesia.
Pelarangan semacam itu tidak sungguh-sungguh mampu menghilangkan, apalagi mematikan berbagai kegiatan kultural itu. Secara tidak terbuka, orang Tionghoa masih terus melakukan kegiatan ritual, memainkan kesenian dan nama-nama Indonesia yang digunakan juga masih bunyi asli Cina. Pada setiap perayaan baru Imlek, kesenian Liong dan Barongsai masih selalu dipergelarkan di gedung-gedung yang tertutup atau tempat lain yang bersifat eksklusif.
Runtuhnya masa Orde baru yang ditandai dengan lengsernya presiden Soeharto diganti dengan pemerintahan Gus Dur. Masa pemerintahan Gus Dur membawa pencerahan bagi masyarakat etnis Cina yaitu dengan dicabutnya Instruksi Presiden RI No. 14/1967 yang tadinya membatasi perayaan adat-istiadat dan agama Tionghoa di lingkungan keluarga saja. Akibat dari euforia, banyak orang berani memunculkan hal-hal yang tadinya dilarang, seperti kesenian Barongsai dan Liong, kesusasteraan berbahasa Tionghoa, pengajaran bahasa Tionghoa, dan budaya Tionghoa lainnya.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, permasalahan dalam penelitian ini difokuskan pada asal usul dan bentuk kesenian Barongsai di Kota Semarang. Berkait dengan itu, dipermasalahkan juga fungsi dan makna Kesenian Barongsai bagi masyarakat etnis Cina Semarang.
Fungsi Kesenian Barongsai bagi masyarakat etnis Cina dapat dipahami dengan menggunakan pendekatan teori struktural fungsional Talcott Parsons dan Radcliffe-Brown. Teori Struktural Fungsional imperatif yang dikemukakan oleh Talcott Parsons mengetengahkan konsep-konsep sebagai berikut. Pertama, sebagai sistem yang terikat dan terbatas, masyarakat mengatur dirinya sendiri dan cenderung menjadi suatu sistem yang tetap serta serasi. Kedua, sebagai suatu sistem yang mengatur dirinya sendiri yang sama dengan suatu organisme, masyarakat mungkin mempunyai berbagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, apabila keserasiannya ingin dipertahankan. Ketiga, analisis sosiologis terhadap sistem yang mengatur dirinya sendiri dengan segala kebutuhannya harus dipusatkan pada fungsi bagian-bagian dalam memenuhi kebutuhan dan memelihara keserasiannya. Keempat, dalam sistem-sistem dengan berbagai kebutuhan, mungkin tipe-tipe struktur tertentu harus ada untuk menjamin ketahanannya (Soekanto 1986: 5). Perspektif struktural fungsional Parsons, berkaitan pula dengan tujuan untuk mewujudkan keutuhan suatu struktural sosial masyarakat (lihat Parsons dalam Hoogvelt 1995: 82).
Radcliffe-Brown merasa bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tetapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial dari suatu masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada. Menurut Radcliffe-Brown, struktur merupakan bentuk susunan unsur-unsur yang teratur. Unsur-unsur dalam struktur sosial yang terdiri atas orang-orang, yang memenuhi syarat untuk menduduki posisi dalam struktur sosial, sehingga dapat dipahamkan berfungsi kepada strukturnya. Asumsi dasar kelompok fungsional-struktural ini adalah mengekalkan keadaannya dalam jangka waktu lama, berada dalam keadaan seimbang, yaitu dalam bentuk hubungan antar anggotanya yang memiliki kepaduan tinggi. Jadi, konsep fungsi seperti ini melibatkan struktur yang terjadi dari satu rangkaian hubungan di antara unit, manakala penerusan struktur itu dapat dikekalkan melalui proses kehidupan yang terjadi dari aktivitas unit yang terdapat di dalamnya (Radcliffe-Brown 1980: 206-209).
Emile Durkheim, menekankan perhatiannya pada fenomena solidaritas sosial yang terdapat di antara para anggota masyarakat. Solidaritas sosial itu belum membentuk, yaitu hubungan diantara orang-orang di dalam suatu lingkungan kehidupan hanya bersifat kadangkala maka, tidak akan ditemukan pengaturan yang terperinci. Persoalan yang kemudian dikemukakan oleh Durkheim adalah bagaimana mengukur solidaritas itu. Fenomena tidak dapat dilihat dan diukur secara pasti, namun mempunyai lambang yang dapat ditangkap, yaitu hukum. Bertolak dari ungkapan ini selanjutnya ia melihat adanya pertalian antara jenis-jenis hukum tertentu dengan sifat solidaritas sosial (Rahardjo 1986: 103).
Hubungan antara hukum dan perubahan sosial, Weber sangat memperhatikan hubungan antara sifat kekuasaan politik di dalam suatu negara dengan hukumnya. Cara-cara penyelenggaraan hukum dan peradilan pada masa lalu menurut Weber bersumber pada cara-cara perukunan (conciliatory) antara kelompok-kelompok suku yang bersengketa. Apabila kekuasaan politik di dalam menjalankan roda pemerintahan semakin bersifat rasional maka, akan semakin besar pula kemungkinannya proses hukum di dalam masyarakat yang dijalankan secara rasional pula. Sesuai dengan semakin meningkatnya sifat-sifat rasional pengorganisasian maka, bentuk-bentuk irasional yang dipakai semakin ditinggalkan, sedangkan hukum material akan mengalami sistematisasi, yang berarti keseluruhan bidang hukum mengalami rasionalisasai (Rahardjo 1986: 105).
Konsep-konsep tersebut melandasi teori, bahwa kesenian Barongsai sebagai sistem kesenian tradisi Cina di Semarang terikat dan terbatas sebagai kesenian milik etnis Cina. Kehidupannya dalam masyarakat diatur oleh fungsinya sebagai kesenian ritual ataupun sekuler, dipengaruhi maknanya oleh struktur sosial dan politik.

METODE
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sistem sosial-budaya, antropologi, sejarah, dan politik. Pendekatan-pendekatan itu menganalisis data kualitatif dengan metode etnografi. Fokus penelitian adalah fungsi dan makna Kesenian Barongsai bagi masyarakat etnis Cina Semarang. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, studi dokumen, wawancara mendalam, dan observasi, sebagaimana yang utama digunakan dalam metode etnografi. Proses analisis data yang berlangsung selama proses penelitian ditempuh melalui tiga jalur kegiatan sebagai suatu sistem, yaitu (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) verifikasi/penarikan kesimpulan (Milles dan Huberman 1992).
Langkah terakhir dari analisis data dalam penelitian ini adalah verifikasi atau pemeriksaan keabsahan data. Pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini memakai dependabilitas dan konfirmabilitas (Lincoln dan Guba dalam Jazuli 2001: 34). Data yang didapat dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi selanjutnya ditafsirkan hingga penarikan kesimpulan lewat pembimbing dalam proses penelitian, dan melakukan pengecekan serta pengkajian silang dengan pakar atau teman sejawat, serta menggunakan member checking, yakni meminta pengecekan dari informan, pemain dan penonton.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian meliputi: asal usul Barongsai di Semarang, bentuk pertunjukan Barongsai, fungsi Barongsai bagi masyarakat etnis Cina Semarang, makna Barongsai bagi Masyarakat Cina di Semarang.


Asal Usul Barongsai di Semarang
Menelusuri asal-usul kesenian Barongsai, tidak dapat terlepas dari sejarah kedatangan bangsa Cina di Indonesia, khususnya di kota Semarang. Di kalangan warga Cina di Semarang tersiar cerita mengenai kedatangan armada Zheng He di Semarang. Seperti yang diceritakan oleh Alex Wicaksono (wawancara 10 Agustus 2008) bahwa pada pertengahan abad ke-15, Kaisar Zhu Di Dinasti Ming Tiongkok mengutus suatu armada raksasa untuk mengadakan kunjungan muhibah ke Laut Selatan. Armada itu dipimpin oleh Laksamana Zheng He (Sam Po Kong) dibantu oleh Wang Jinghong (Ong King Hong) sebagai orang kedua. Ketika armada berlayar di daerah pantai utara Jawa, Wang Jinghong mendadak sakit keras. Menurut perintah Zheng He, armada itu singgah di pelabuhan Simongan Semarang. Setelah mendarat Zheng He dan awak kapalnya menemukan sebuah gua. Gua itulah kemudian dijadikan suatu tangsi untuk sementara. Kemudian dibuatlah pondok kecil di luar gua untuk tempat peristirahatan dan pengobatan bagi Wang Jinghong. Setelah Wang Jinghong agak sembuh, Zheng He melanjutkan pelayarannya ke barat dengan meninggalkan Wang Jinghong beserta 10 orang awak kapal untuk menemaninya sambil menunggu pemulihan kesehatannya. Setelah sembuh, ternyata Wang Jinghong menjadi senang tinggal di Semarang. Akhirnya dia memimpin anak buahnya membuka lahan dan membangun rumah. Bahkan, para anak buahnya akhirnya menikah dengan orang-orang pribumi. Selain itu mereka mengembangkan usaha perdagangan di daerah pantai Semarang.
Guna menghormati Laksamana Zheng He, Wang Jinghong membuat patung Zheng He dan diletakkannya di dalam gua. Kemudian patung itu banyak disembah orang. Sejak saat itu setiap tanggal 1 bulan Imlek (Sincia) dan tanggal 15 bulan Imlek (Cap Go Meh) orang berbondong-bondong menyembah patung Sam Po Kong di gua Sam Po yang dimeriahkan dengan arak-arakan kesenian Cina berupa Liong dan Samsi (Barongsai). Beberapa tahun kemudian di tempat itu dibangunlah sebuah kelenteng yang dinamakan Gedong Batu.
Pada pertengahan kedua abad ke-19, kawasan Simongan (sekarang Gedong Batu) dikuasai oleh Johanes, seorang tuan tanah keturunan Yahudi. Yohanes menjadikan kawasan itu sebagai sumber keuntungan dengan menarik pajak yang tinggi bagi warga Cina yang akan bersembahyang di Kelenteng Gedong Batu. Demi kelanjutan kegiatan penyembahan di kelenteng Sam Po Kong Gedong Batu maka, Yayasan Sam Po Kong mengumpulkan dana untuk membuat tiruan patung Cheng Ho dan diletakkannya di Tay Kak Sie (Kelenteng Keinsyafan Besar) yang dibangun tahun 1771 di Gang Lombok, sebuah perkampungan masyarakat Cina di Semarang.
Setelah kawasan Gedong Batu jatuh ke tangan Oei Tjie Sien, ayah Oei Tiong Ham, saudagar kaya yang dikenal dengan julukan ‘Si Raja Gula’ di Indonesia, muncullah acara baru, yaitu setiap tahun baru Imlek mengarak patung duplikat dari kelenteng Tay Kak Sie di Gang Lombok ke Gedong Batu untuk meminta mukjizat dari patung aslinya. Arak-arakan yang melewati jalan-jalan besar kota Semarang tampak meriah dengan hadirnya Liong dan Samsi. Bisa diduga dari acara inilah masyarakat Semarang mengenal kesenian Barongsai.
Nama Barongsai yang dikenal di Indonesia sebenarnya berasal dari nama Samsi atau Say yang dipercaya memberi lambang pembaruan dan keselamatan. Samsi atau singa Cina ini juga dikenal sebagai Ki Lin atau Lung Ma, berasal dari masa kaisar Hok Hie sekitar tahun 4000 SM yang menerima wahyu pertama berupa Sian Thian Pat Kwa (delapan ajaran mulia wahyu Tuhan) dari seekor Lung Ma. Dari titik inilah kehidupan rakyat mulai berubah sebab mulai diperkenalkan aksara dan peradaban hingga negara dapat lebih tertib, aman, dan makmur. Seni Barongsai mengacu pada ceritera klasik Cina, yaitu Sam Kok (ceritera tiga kerajaan). Oleh karena itu Topeng Barongsai pun menggambarkan tiga temperamen, yaitu: 1) Liu Pei, Barongsai berwarna kuning dengan bulu tengkuk putih, 2) Kwan Kong, berwajah merah dengan bulu tengkuk hitam, 3) Zhang Fei, berwarna hitam atau biru berbulu tengkuk hitam atau biru (Panorama 2000: 53). Wujud topeng Barongsai yang asli (di Cina), adalah telinga seperti kerang, alis seperti ikan, dan pipi seperti ular. Wujud topeng merupakan perwujudan binatang dewa (Suhu Khong A Djong wawancara 15 Agustus 2008).

Bentuk Pertunjukan Barongsai
Pertunjukan Barongsai pada dasarnya merupakan seni pertunjukan arak-arakan, tidak menutup kemungkinan pertunjukan Barongsai berupa demonstrasi atraksi di suatu tempat. Pertunjukan Barongsai selalu diawali dengan penghormatan, dilanjutkan permainan bendera, permainan Barongsai, dan penutup. Masing-masing bagian merupakan bagian yang menyatu dan saling mendukung.

Penghormatan
Penghormatan merupakan bagian paling awal dalam setiap pertunjukan Barongsai. Penghormatan dilakukan oleh pemandu atau ketua tim kepada sesepuh Kelenteng (apabila permainan Barongsai dilakukan di Kelenteng) atau kepada pemilik rumah yang memberi derma berupa angpau serta kepada penonton di tengah arena. Sikap penghormatan pemandu atau ketua tim dilakukan dengan cara membungkukkan badan dan menelangkupkan kedua tangan di depan dada. Anggukan dengan membungkukkan badan, dilakukan tiga kali berturut-turut, yang dilanjutkan oleh pemain bendera. Sikap penghormatan pemain bendera adalah dengan memegang bendera dengan kedua tangan kemudian berjongkok. Tangkai bendera disentuhkan pada tanah dan menundukkan kepala tiga kali. Penghormatan berikutnya dilakukan oleh Barongsai dengan cara berjalan ke tengah arena. Sesampai di tengah arena, Barongsai menganggukkan kepala sambil menggerakkan kaki kanan depan tiga kali, kemudian mundur, dan meninggalkan arena.
Penghormatan pemandu barongsai dilakukan dengan tujuan memberikan rasa hormat kepada penonton, pimpinan kelenteng, atau pemberi derma. Penghormatan juga ditujukan kepada para leluhur dengan harapan agar permainan Barongsai dapat berjalan lancar tanpa gangguan.

Permainan Bendera
Permainan bendera dilakukan oleh satu atau dua orang pemain bendera. Bendera yang dibawa dan dikibarkan yang terikat pada tongkat adalah bendera perguruan atau bendera simbol masing-masing grup Barongsai yang kebanyakan berwarna dasar hitam dan berbentuk segitiga sama sisi dengan rumbai-rumbai yang berada di tepi alas segi tiga. Selain bendera perguruan, biasanya dimainkan pula bendera Persatuan Seni dan Olah Raga Barongsai Indonesia (PERSOBARIN). Bendera PERSOBARIN juga berbentuk segi tiga sama sisi dengan warna dasar merah.
Permainan bendera dilakukan dengan melakukan gerakan-gerakan cepat dan dinamis. Bendera diputar-putar dengan kedua tangan di depan dada, kemudian secara cepat dipegang tangan kanan melingkari punggung dan ditangkap oleh tangan kiri. Gerakan-gerakan cepat juga dilakukan dengan memutar bendera melingkari kaki, punggung, dan dada.

Permainan Barongsai
Bagian inti dalam pertunjukan Barongsai adalah permainan Barongsai. Pada bagian permainan ditampilkan atraksi Barongsai baik di lantai maupun di atas tonggak. Permainan Barongsai di lantai adalah atraksi-atraksi yang dimainkan oleh para pemain Barongsai tanpa menggunakan alat peraga bantu. Demonstrasi gerak di lantai biasanya dilakukan dengan gerak singa berdiri, yaitu sebuah atraksi yang dilakukan dengan mengangkat pemain bagian depan yang memegang kepala oleh pemain belakang yang menjadi badan dan ekor. Gerakan berguling, yaitu pemain depan dan belakang berguling bersama-sama ke arah yang sama, sehingga terlihat seperti singa yang sedang berguling-guling. Atraksi-atraksi di lantai divariasikan dengan pameran gerakan ekspresif, yang dilakukan dengan posisi diam, dan hanya kepala yang sedikit bergerak sambil kelopak matanya berkedip-kedip serta telinga yang digerak-gerakkan. Variasi ini dapat menghidupkan suasana karena apabila pemain Barongsai itu trampil maka, penonton akan melihat seolah-olah benar-benar seperti seekor singa yang sedang duduk, atau jongkok bahkan, dapat berkesan seperti singa yang sedang merunduk akan menangkap mangsanya.
Permainan Barongsai di atas tonggak adalah permainan yang menggunakan alat peraga bantu berupa tonggak-tonggak besi yang dijajarkan. Kadangkala antara tonggak-tonggak diberi tali berukuran besar yang digunakan untuk meniti. Permainan Barongsai di atas tonggak, dituntut adanya keterampilan pemain, kedisiplinan gerak, serta kekompakan kedua pemain depan dan belakang.
Permainan Barongsai di atas tonggak menunjukkan gerakan akrobatik dengan melompat di antara tonggak-tonggak yang berketinggian satu meter sampai tiga meter. Variasi yang sering dilakukan dalam permainan ini adalah meniti seutas tali.

Penutup
Penutup pertunjukan Barongsai, biasanya ditampilkan gerakan singa berdiri dan berjalan berkeliling arena pentas. Bagian penutup sebagai tanda, bahwa grup Barongsai itu mohon diri, mohon pamit kepada penonton maupun para sesepuh kelenteng.


Fungsi Barongsai Bagi Masyarakat Etnis Cina Semarang
Secara rinci fungsi kesenian Barongsai bagi masyarakat etnis Cina Semarang adalah ritual, hiburan dan politik.

Fungsi Ritual
Barongsai sebagai kesenian khas etnis Cina, pertumbuhan dan perkembangannya dipengaruhi oleh sistem nilai yang ada pada kelompok masyarakat pendukungnya, yaitu masyarakat Cina. termasuk nilai-nilai ritual keagamaan dan adat. Dalam konteks kehidupan ritual keagamaan, masyarakat Cina di Indonesia sebagian besar menganut ajaran Confucianisme. Confucianisme adalah suatu ajaran dari seorang nabi yang bernama Khong Hu Tju atau Kung Fu Tze. Ajaran penting dalam Confucianisme adalah lima kebajikan yang disebut Ngo Siang, yaitu: Cinta kasih (Jien), adil dan bijaksana (Gie), susila dan sopan santun (Lee), cerdas dan waspada (Tie), jujur dan ikhlas (Sien). Ajaran mengenai delapan kewajiban insan, yaitu iman dan kewajiban yang disebut Pat Tik, meliputi, berbakti (haw), rendah hati (tee), satya (tiong), susila (lee), menjunjung kebenaran, keadilan, kewajiban dan kepantasan (gie), suci hati (lian), dapat dipercaya (sien), tahu malu atau mengenal rasa harga diri (thee).
Menurut ajaran Taoisme, pada hakekatnya yang memerintah kerajaan di dunia adalah Tuhan (Thien). Hanya saja dalam pelaksanaannya diserahkan kepada Putra Tuhan sebagai perantara dunia fana dan dunia alam baka. Putra Tuhan itu adalah Yao dan Shun. Praktek ritual, kedua Putra Tuhan (Yao dan Shun) dilambangkan dengan binatang mitologi Naga dan Singa. Lambang dari kedua Putra Tuhan itulah, kemudian muncul protoptipe Naga atau Liong dan singa atau Samsi atau Barongsai.
Berdasar latar belakang kehidupan ritual masyarakat Cina, dapat diketahui, bahwa kemunculan kesenian Barongsai berawal dari kebutuhan ritual, oleh sebab itu, setiap hari raya Imlek selalu dipertunjukan Samsi dan Liong. Meskipun bentuk pertunjukannya sama dengan ketika dipertunjukkan untuk keperluan hiburan tetapi pelaksanaannya agak berbeda. Perbedaan itu terletak pada sebelum pertunjukan dimulai, biasanya topeng Barongsai itu disembahyangkan dahulu di klenteng dan diberi (ditempel) Hoo (kertas kuning bertulisan Cina, yang dipercaya dapat memberikan keselamatan (perlindungan) kepada yang memakainya) pada dahinya (Suhu Khong A Djong, wawancara 15 Agustus 2008). Berdasar uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa fungsi ritual Barongsai tetap dipertahankan kelangsungannya oleh masyarakat Cina di Semarang.

Fungsi Hiburan
Kehidupan Barongsai di Era Reformasi lebih didominasi oleh fungsinya sebagai hiburan. Barongsai sebagai seni hiburan dikemas berbeda dengan sajian ritual. Barongsai untuk upacara ritual, biasanya Barongsainya hanya satu, itupun sebelumnya harus disembahyangkan dahulu di Kelenteng dan dikasih hoo. Barongsai untuk hiburan masyarakat biasanya lebih dari satu, bisa dua sampai lima dan yang penting atraksinya, yaitu pertunjukan keterampilan pemain dalam mempertunjukkan gerakan-gerakan atraktif dan akrobatik baik di lantai maupun di tonggak. Bahkan, kadang-kadang ditambah dengan tarian-tarian.
Yosodiharjo (Yauw Ping Kwie) (wawancara 20 Agustus 2008), Ketua Perguruan Barongsai Budi Luhur yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Himpunan Liong-Samsi Jawa Tengah, mengatakan bahwa pada Era Reformasi ini kesenian Barongsai semakin berkembang penyajiannya. Perkembangan dapat dilihat dari semakin bervariasinya olah gerak yang dibawakan, warna, dan bentuk kostum. Perkembangan penyajian Barongsai tidak hanya dipentaskan pada hari besar Imlek saja, melainkan bisa dilakukan di luar Imlek seperti pesta pernikahan, peluncuran suatu produk baru sebuah perusahaan, ulang tahun suatu instansi, dan lain-lain.

Fungsi Politik
Barongsai di Era Reformasi juga tidak lepas dari kehidupan politik. Bahkan, dapat dikatakan maraknya kembali Barongsai diawali dengan tampilnya kesenian etnis Cina pada Deklarasi Partai Amanat Nasional (PAN) di Surakarta bulan Mei 1998, sekaligus sebagai ajang kampanye partai PAN dalam menghadapi Pemilihan Umum tahun 1999. Muncullah Barongsai pada kegiatan-kegiatan kampanye yang dilaksanakan oleh partai-partai lain, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan lain-lain. Salah satu bukti aktivitas Barongsai pada dunia politik adalah berdirinya kelompok Barongsai di desa Gabahan, kecamatan Semarang Tengah yang diprakarsai oleh DPC PDI-P pada tahun 2000.
Barongsai sebagai alat propaganda politik, pada dasarnya penampilan Barongsai sama dengan ketika ditampilkan sebagai hiburan. Perbedaannya hanya pada warna busana yang disesuaikan dengan simbol warna partai. Secara kebetulan warna-warna simbol partai itu secara tradisional telah ada pada permainan Barongsai, seperti warna merah, biru atau hijau. Penampilan Barongsai itu berkaitan dengan propaganda politik salah satu partai, maka hanya akan memakai warna simbol partai bersangkutan yang dipakai.

Makna Barongsai Bagi Masyarakat Cina di Semarang
Barongsai bagi masyarkat etnis Cina mempunyai makna simbolik dan makna strategis.

Makna Simbolis
Eksistensi Barongsai merupakan bagian integral dari kebutuhan simbolisasi masyarakat Cina di Indonesia. Barongsai bukan sekedar sebagai alat pernyataan diri tetapi juga sebagai bentuk pernyataan diri. Kesenian khas ‘ras’ Cina, Barongsai dipertahankan demi eksistensi kelompok, yang dibuktikan selama 32 tahun tidak diperbolehkan menampakkan diri tetapi ternyata tidak mati. Santosa (Khong Fan Shen) mengatakan, bahwa pada masa Orde Baru, walaupun Barongsai dilarang tampil di muka umum, di Semarang masih terdapat enam grup besar yang tetap bertahan. Enam grup Barongsai itu adalah: Djin Hoo Tong, Hoo Haap, Dharma Asih, Porsigap, Budi Luhur, dan Ju Djie. Pada masa itu mereka hanya tampil untuk kepentingan upacara di kelenteng seperti Sampoo, yaitu peringatan datangnya Sampoo Tay Jien ke Semarang, biasanya pada bulan Agustus (Santosa wawancara 20 Agustus 2008). Begitu datang kebebasan melalui Era Reformasi, maka Barongsai langsung bermunculan, bahkan cenderung merebak memenuhi khazanah kesenian tradisional ‘baru’. Santosa juga mengatakan, bahwa Barongsai bagi masyarakat Cina khususnya di Semarang merupakan lambang keberuntungan. Masyarakat Cina di Semarang percaya, jika masyarakat Cina memberikan angpau kepada Barongsai, kelak akan mendapat limpahan rejeki dari dewa, oleh sebab itu saat dilaksanakan arak-arakan Barongsai pada hari raya Imlek atau Cap Go Meh, mereka berusaha untuk memasukkan angpau ke mulut Barongsai.

Makna Strategis
Makna strategis Barongsai adalah sebagai sarana interaksi sosial antara masyarakat Cina dan pribumi. Interaksi sosial berfungsi menjaga norma-norma sosial di dalam dan di luar komunitas Cina sebagai golongan minoritas. Sumber utama dari permasalahan golongan minoritas Cina di Semarang adalah tata kehidupan yang berlaku dalam tradisi masyarakatnya, terutama sikap fanatisme terhadap tradisi negara leluhurnya.
Keyakinan masyarakat Cina secara tradisional adalah bagaimana seharusnya manusia hidup bermasyarakat dengan konsep Tao. Akibatnya, orang-orang Cina yang tinggal di Semarang membentuk suatu kelompok yang saling mendukung antar anggota kelompok, sehingga masyarakat pribumi (Indonesia asli) dengan jelas dapat membedakan orang pribumi dan non pribumi atau keturunan, demikian pula dengan kehidupan kebudayaannya, termasuk kesenian Barongsai yang dianggap hanya milik masyarakat non pribumi.
Kenyataannya, ternyata kehidupan Barongsai justru memiliki makna strategis dalam menghilangkan anggapan itu karena Barongsai dapat mendekatkan diri pada tujuan pembauran masyarakat Cina dengan masyarakat pribumi. Handoyo (Wawancara 20 Agustus 2008) mengatakan, anggota grup-grup Barongsai di Semarang kebanyakan orang pribumi. Hal ini terutama banyaknya anak-anak yang tertarik dengan permainan Barongsai yang sekaligus mereka dibekali ilmu bela diri Wu-shu.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Barongsai adalah sebuah kesenian yang berasal dari Cina yang masuk ke Indonesia khususnya di Semarang yang dibawa oleh para sudagar Cina. Bentuk pertunjukan Barongsai terbagi ke dalam tiga tahap, yaitu permainan bendera, permainan Barongsai, dan penutup. Fungsi kesenian Barongsai bagi masyarakat etnis Cina Semarang adalah fungsi ritual, fungsi hiburan dan fungsi politik. Makna kesenian Barongsai bagi masyarakat etnis Cina Semarang adalah makna simbolik dan makna strategis.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian, saran-saran yang dapat disampaikan adalah :
1. Bagi pemerintah Kota Semarang, diharapkan untuk lebih memperhatikan keberadaan kesenian Barongsai dengan cara memberikan tempat, waktu dan kesempatan kesenian Barongsai untuk berkembang.
2. Bagi masyarakat umum, diharapkan untuk lebih dapat memberikan apresiasi yang positif kepada kelompok kesenian Barongsai.
3. Bagi kelompok kesenian Barongsai, diharapkan untuk lebih dapat mengembangkan diri dengan cara mengemas kesenian tersebut menjadi lebih menarik sehingga mampu diterima oleh masyarakat umum.



DAFTAR PUSTAKA
De Graf , H. J. 1998. Cina Muslim di Jawa abad XV dan XVI antara Historistas dan mitos. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Halim, Budi Haliman. 1999. "Kisah Haji Ong Keng". Harian Suara merdeka terbitan 19 September 1999. Semarang: Suara Merdeka Press.
Hayakawa. S.I. 1949. Language in Throught and Action. New York: Hancourt, Brace and Company.
Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Terj. Soedarsono, Bandung: MSPI.
Hoogvelt. Ankie M. M. 1995. Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Jazuli, M. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Semarang: Universitas Negeri Semarang Press.
Miles, M. B. Dan A. M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Terj. Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press.
Oetomo, Dede. 2000. Sang Naga dan Budaya Tionghoa Menuju Indonesia Baru. Jurnal Budaya dan Filsafat Mitra, Edisi 04. Bandung .
Parsons. Talcott. 1986. Fungsionalisme Imperatif. Terj. Soerjono Soekanto, Jakarta: CV Rajawali.

Radcliffe- Brown, A. R. 1980. Struktur dan Fungsi dalam Masyarakat Primitif. Terj. E.E. Evans-Pritchard dan Fred Eggan, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Rahardjo, Satjipto. 1986. Hukum dan Masyarakat. Bandung: Angkasa.
Rahmanto, B. 1992. Simbolisme Dalam Seni. Yogyakarta: BASIS, Jawanisasi Kebudayaan Indonesia edisi Maret 1992-XLI-no.3.
Rohidi, Tjetjep Rohendi. 1994. Pendekatan Sosial Budaya Dalam Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Press.
------------------------------. 2000. Ekspresi Seni Orang Miskin, Adaptasi Simbolik terhadap Kemiskinan. Bandung: Penerbit Nuansa.
Sastroatmodjo, Sudiono. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press.
Soekanto, Soerjono. 1991. Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Triyanto. 2001. Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus. Semarang: Kelompok Studi Mekar.
Wibowo, Wibisono. I. Ed. 1977. Simbol Menurut Sussanne K. Langer. Dari Sudut-Sudut Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
------------------------------..1999. Restrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah. Cina. Jakarta: PT Gramedia.
Yahya, Junus. 1998. ”Masalah Tionghoa di Indonesia” dalam Masalah dalam Kapok Jadi Nonpri : Warga Tionghoa Mencari Keadilan. Alfian Hamzah (ed). Bandung: Zaman Wacana.

This article is taken from Harmonia Vol IX No 1, June 2009)

Read More ..

Sejarah Harmonia

Harmonia, ISSN 1411-5115, berdiri tahun 2001. Pada tahun 2004 telah terakreditasi oleh DIKTI. Karena diberlakuan aturan dan format baru pada tahun 2006, pada tahun 2007 tidak lagi terakreditasi, karena mendapat nilai cukup (C).
File : index Harmonia

Sumbangan Naskah

Redaksi menerima artikel, baik berupa artikel konseptual maupun hasil penelitian. Naskah berupa print out dan soft file dikirim ke alamat redaksi Harmonia. Naskah dapat pula dikirim melalui attachment file e-mail.

Dari Redaksi

Artikel-artikel yang dipublikasikan lewat web ini telah diterbitkan di jurnal Harmonia. Pemuatan dalam web ini adalah untuk lebih menyebarkan penerbitan tersebut terutama melalui media yang berbeda, dunia maya. Di masa mendatang, hanya abstrak artikel yang ditampilkan.

Web Disigned by Suharto, Blog Template by ourblogtemplate.com

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP