Welcome to

HARMONIA : Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni

Minggu, 29 Maret 2009

MUSIKUS YANG BERKOMPROMI DENGAN IDEOLOGI DAN BERBAJU BARAT

Diulas oleh Suharto
Judul Buku : Ismail Marzuki, Musik, Tanah Air dan Cinta
Penulis : Teguh Esha, dkk.
Pengantar : Dieter Mack
Penerbit : Pustaka LP3ES Indonesia
Cetakan : Pertama, Agustus 2005
Tebal Buku : xiii + 195 halaman

Harus kita akui bahwa karya musiknya yang berupa lagu yang diciptakan selama tiga jaman,
yaitu Jaman Penjajahan Belanda, Penjajahan Jepang, dan Jaman Kemerdekaan (revolusi) masih menggema sampai saat ini. Jumlah lagu yang dihasilkan Ismail Marzuki selama jaman itu diperkirakan tiga kali lipat dari umurnya yang hanya 44 tahun.


Lagu-lagu yang dihasilkan hampir mewakili jamannya, semangat patriotisnya, cinta, dan perasannya yang romantis. Rayuan Pulau Kelapa, Indonesia Pusaka, Gugur Bunga, Sepasang Mata Bola, Aryati, dan Juwita Malam, adalah beberapa contoh lagu yang mewakili karyanya. Sangat disayangkan, sampai sekarang belum bisa dipastikan berapa jumlah karya lagu yang benar-benar digubah sendiri. Seperti disinggung dalam Bab 5, ada beberapa lagu yang diakui sendiri oleh Ismail Marzuki sebagai karya orang lain, misalnya lagu Panon Hideung, yang merupakan saduran dari lagu bangsa Kozak yang digubah oleh Ruskykorsov berjudul Dark Eyes. Demikian juga dengan lagu-lagu seperti Als de Orchideen Bloeien, Ole-ole Bandung, dan Halo-Halo Bandung, sampai sekarang masih kontroversial, siapa pencipta sebenarnya.

Kenyataanya, Ismail M. tetap “diam” saat menerima penghargaan-penghargaan, sehubungan dengan lagu-lagu kontroversial tersebut. Ia mendapat Piagam Penghargaan dari Markas Besar Angkatan Darat pada 17 Maret 1971 karena mencipta lagu-lagu perjuangan. Salah satu lagunya adalah Auld Lang Syne. Padahal seluruh masyarakat musik hampir tahu bahwa lagu tersebut adalah lagu rakyat Skot. Komposisi yang medunia ini dicipta tahun 1799 oleh Robert Burns ( Suara Merdeka, 16 Oktober 2005).

Namun demikian menurut penulis buku ini, begitulah kehidupan musik pop, seperti halnya musik pop saat ini. Ismail M adalah musikus yang berekspresi dengan memainkan musik, karena ia memang pemimpin Orkes Studio Djakarta, yang bebas memainkan lagu-lagu apa saja baik yang diciptakan sendiri maupun lagu hasil saduran. Bukan salahnya jika orang akhirnya mengenal lagu-lagu kontroversial itu sebagai lagu ciptaaanya sebagai akibat lagu itu sering dimainkannya. Namun demikian, kedasyatan sejumlah lagu ciptaan ia sendiri yang membangkitkan semangat patriotis, melodis, dan romantis telah menutup “kecacatan” namanya. Penghargaan-penghargaan lain yang pernah didapat dari pemerintah Indonesia antara lain Piagam Widjaya Kusuma dari Presiden Soekarno (1961), sekaligus sebagai Pahlawan Budaya, Satya Lencana Kebudayaan I (1964), dan yang terakhir mendapat gelar Pahlawan Nasional melalui keputusan Presiden Nomor 089/ TK/tahun 2004.

Ismail M adalah seniman otodidak yang mengembangkan bakat musiknya hanya berdasarkan naluri perasaannya yang ingin mengekspresi-kan apa yang dirasa, dilihat, dan yang diharapkan. Namun demikian, pengeta-huan (teori) musik dan keterampilan musik dasarnya telah ia miliki, yang mendukung bakat musiknya. Ia merasakan rasa musikal yang menggelegak dengan memunculkan melodi-melodi sederhana tetapi indah yang sangat diterima telinga masyarakat pada umumnya. Ia melihat kejadian, penderitaan masyarakat pada umumnya yang tertindas pada jaman kolonial, ketimpangan yang terjadi masyarakat, ia tergerak hatinya untuk memberi sumbangsih yang ia kuasai dan miliki dengan membuat komposisi lagu yang menggugah semangat untuk berjuang.

Mungkin karena jiwanya yang lembut banyak syair-syair lagu perjuangannya tidak prontal, mengajak untuk berontak atau melawan. Rayuan Pulau Kelapa adalah salah satu contoh lagu yang dianggap para kritikus musik tidak mencerminkan atau mengajak orang untuk “bergerak”. Isi syair lagu tersebut memang hanya memuja alam, meng-gambarkan keindahan dan kekayaan Indonesia. Namun sebenarnya jika didalami syairnya dan perpaduannya dengan harmoni alur melodinya, maknanya sangat dalam dan lebih dari semangat mencintai tanah air. Di samping itu, ia juga mengantisipasi keadaan. Jika diekspresikan secara pulgar maka lagu tersebut tentu akan dilarang oleh penguasa pada saat itu yaitu Jepang.

Gambaran situasi politik mulai dari Hindia Berlanda 1930-1942 sampai Pendudukan Jepang 1942- 1945 dan aktivitas Ismail M digambarkan panjang lebar dalam Bab 3 oleh Teguh Esha, salah satu penulis buku ini. Dalam bab ini penulis juga menggambarkan saat dramatis, saat di mana Ismail M berkiprah dalam bidang musik yang digelutinya pada saat revolusi tahun 1949 hingga akhir hayatnya. Sub judul yang berbunyi “Revolusi Pun Usai : Periode Akhir Ismail Marzuki” mengajak pembaca untuk menyimaknya.

Bab 4 lebih banyak menyorot beberapa kritikan beberapa kritikus musik seperti Amir Pasaribu, JA Dungga, Liberty Manik, dan Franki Raden. Dengan gaya jurnalistik tetapi ilmiah, penulis bab ini merangkai secara sistematis kritikan para kritikus tersebut yang diambil dari berbagai sumber. Namun demikian, penulis bab ini, yang juga seorang jurnalis dan juga seniman, dikritik oleh pengantar buku ini, Dieter Mack, seorang tokoh pendidik dan peneliti musik berkebangsaan Jerman, yang menyang-kut konsep keindonesiaan dan kemerdekaan.

Dalam pengantarnya Dieter Mack banyak menyoroti isi Bab 4, yang dianggap menarik tetapi dianggap “lucu” terutama bagi orang Eropa, termasuk ia sendiri. Sesuatu yang “lucu’ ini misalnya pendapat bagaimana musik mewakili “keindonesiaan” dan “kemerdekaan” jika gramatika musik yang dipakai justru milik para penjajah. Ia juga balik “mengecam” sekaligus “tertawa” pada para kritikus musik yang dianggap “sombong” dengan pendidikkan akademik musik Barat yang dimilikinya yang menganggap musik Ismail M sebagai musik yang tidak bermutu. Para kritikus musik yang oleh penulis buku ini dianggap sebagai kacung-kacung kebudayaan penjajah bagi Dieter Mack tidak penting. Dalam mengukur “kadar” kesenimanan seseorang tidak bisa dilihat dari latar belakang akademis. Sekali lagi Dieter Mack “heran’ bagai-mana musik bisa mewakili kein-donesiaan dan kemer-dekaan jika gramatika musik yang dipakai adalah bagian dari unsur budaya si penjajah? Sebuah pertanyaan besar yang sering di sampaikan orang-orang Barat pada bangsa Indonesia sehubungan dengan musik dan per-juangan.

Kita memang sering lupa bahwa Indonesia memiliki kesenian daerah sendiri yang bermacam-macam dan bernilai tinggi. Anehnya kita selalu berkutat dengan “pencarian kesenian nasional”. Musik gamelan, misalnya, baik gamelan Sunda, Jawa, maupun Bali adalah jenis kesenian yang bernilai seni tinggi yang diakui dunia. Dunia telah mengakui kehebatan dan keindahan musik gamelan dan telah mempelajarinya. Festival Gamelan I yang berlangsung di Vancover Kanada tahun 1986 yang diikuti berbagai negara di dunia membuktikan itu. Seharusnya kesenian-kesenian daerah yang ada di pelosok Indonesia diang-gap sebagai kekayaan kesenian nasional. Bukankah keanekaragaman itu sendiri merupa-kan inti keindonesiaan dan kemer-dekaan. Indonesia ada karena adanya keanekaragamanan budaya.

Bab 5 dan Bab 6 salah satu kelebihan buku ini. Analisis intrinsik yang lebih membahas isi syair lagu-lagu Ismail M disajikan dalam Bab 5, sedangkan analisis musik dibahas secara sederhana dalam Bab 6. Dianggap sederhana karena hanya menganalisis struktur dan bentuk (form) dengan beberapa lagu yang dijadikan model.

Sangat disayangkan bahwa salah satu lagu modelnya adalah lagu “Halo-halo Bandung”, sebuah lagu yang di-anggap kontroversial karena diragukan bukan ciptaan Ismail M. yang asli. Jika demikian apakah ini akan menggabarkan Ismail M. Sebuah karya seni seperti puisi, lagu, dan karya seni lainnya biasanya mewakili penciptanya.

Ismail M. adalah musikus tetapi belum menggambarkan sebagai sosok seniman sejati. Seorang seniman biasanya selalu mencari “penyim-pangan fungsional”. Menurut Dieter Mack “penyimpangan fungsional” ini mengacu pada norma-norma demi keunikan ekspresi yang dituangkannya. Dalam buku ini justru membuk-tikan hal di atas, apalagi tulisan penulis yang hanya memaparkan format formal musik Ismail Marzuki ketimbang penjelasan atau interpretasi estetis para penulis dalam konteks tertentu.

Dari beberapa judul lagu yang juga ditulis syairnya secara lengkap pada Bab 5 dapat disimpulkan bahwa Ismail Marzuki adalah seorang yang sangat peka dan peduli dengan bangsanya. Beberapa syair lagunya mencerminkan semangat patriotisme, walaupun kadang-kadang dengan bahasa yang halus, tidak seperti C.Simanjuntak yang selalu meng-ungkapkan syair lagu-lagu dengan tegas, misalnya lagu Maju Tak Gentar. Walaupun setiap penyair memiliki kebebasannya (licencia poetica) dalam mewujudkan idenya, namun sebenarnya syair-syair lagu Ismail Marzuki termasuk “ketinggalan jaman”, seperti syair pujangga lama.

Musik-musik Ismail Marzuki dianggap sederhana dilihat dari kacamata gramatika Barat. Musik yang ia pakai adalah yang bergramatika Barat yang menggunakan sistem tangga nada Diatonik. Namun bukankah lagu kebangsaan kita juga menggunakan sistem Barat termasuk juga semua lagu wajib dan lagu nasional kita. Memang sebuah ironi di tengah kekaguman bangsa Barat terhadap musik tradisional kita.

Adalah Dieter Mack yang selalu memberi “dorongan”, dalam setiap kesempatan, pada bangsa kita untuk melirik dan memperhatikan “musik negeri sendiri” sebagai salah satu materi pendidikan musik di sekolah-sekolah. Jika tidak, suatu saat kita akan belajar musik kita sendiri di negeri orang.

Ismail M adalah salah satu contoh musikus yang mengenakan “baju musik Barat” walaupun berdalih baju itu hanyalah sebagai wahana pengantar jiwa patriotismenya dalam membela negara.

Saya dapat menarik pesan yang tersirat dalam buku ini bahwa Ismail Marzuki adalah seorang musikus, yang berusaha mekompromikan ideologi dengan musiknya. Ideologi yang ia anut adalah musik yang tidak bersifat absolut dan ia tidak perlu “egois” dengan prinsip kesenimanan yang harus “setia” dengan prinsip tersebut seni yang bersifat kritis, demi tujuan yang ia inginkan. Tujuan yang ia inginkan adalah musik sebagai medium untuk mengekspresikan rasa nasionalismenya. Itulah sebabnya, ia harus melakukan kompromi-kompromi musiknya menjadi musik fungsional. Dilihat dari sifatnya, memang ini dapat menciderai kebebasan musik itu sendiri. Musik sederhana tanpa gramatika yang rumit tetapi mampu mengekspresikan dirinya dan menyampaika ideologinya.

Bagaimana pun, kita harus menghargai usaha para penulis yang telah berani membuat tulisan ini yang dianggap cukup komprehensif, minimal sebagai pembanding dengan tulisan-tulisan sejenis yang dimuat di media lain. Dikatakan pembanding karena kenyataannya sumber data yang didapat dalam menggali informasi dalam sebuah kajian bisa saja berbeda, atau gaya penyampaian tulisan yang berbeda, sehingga dapat memberi kesan berbeda pula. Sebagai contoh, di harian Suara Merdeka tanggal 8, 15, dan 29 Februari 2004 (dibuat dalam 3 bagian) dalam artikelnya yang berjudul “Jejak Ismail Mazuki”, Heru Emka, menggambarkan Ismail Marzuki dalam hidupnya serba kekurangan. Tetapi dalam buku ini mengatakan sebaliknya. Lain pula dengan tulisan Remy Sylado yang berjudul “Budaya Nyolong dalam Komposisi Musik”, yang juga ditulis dalam tiga bagian dan dimuat dalam harian Suara Merdeka tanggal 2, 9, dan 16 Oktober 2005, yang menggambarkan sikap sinis penulis yang menyalahkan pemerintah yang serta merta memberi penghargaan pada Ismail Marzuki tanpa data yang benar.
Suharto

DAFTAR PUSTAKA

Harjana, Suka. 1996. “Festival Gamelan sebagai Premis Kebudayaan” dalam artikel seminar
Heru Emka, 2004. “Sindiran Paman Lengser” dalam Suara Merdeka 2004
Hoed, M, 2004, “Komponis berjiwa Romantis” dalam Suara Merdeka 2004.
Remy Sylado. 2005. “Budaya Nyolong” dalam Suara Merdeka 9 September.
Rangkuti. 1985. Lagu-Lagu Pilihan Ismail Marzuki.Jakarta: Titik Terang.


Dimuat di Jurnal Harmonia Vol. VII No 1 2006

Read More ..

Komponen-komponen dalam Budaya-Musik

Sunarto
Staf Pengajar Jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Semarang


Abstrak

Seorang filsuf wanita dari Amerika Serikat, Susanne K. Langer, pernah berucap bahwa, musik telah mampu merasuk ke dalam umat manusia setua umur manusia di bumi ini. Musik telah membentuk suatu buaya tersendiri di anara seni-seni yang lainnya. Ia hadir di setiap saat dalam suatu budaya di mana pun budaya itu tumbuh. Ada semacam universalitas: di mana ada budaya di situ pula musik bereksistensi. Rangkaian yang membentuk komunitas dalam musik itu sendiri hadir sebagai sebuah harmonisasi dari alam yang melahirkannya. Dalam komponen-komponen budaya-musik terdapat empat yang melingkupinya, yaitu: 1) ide-ide tentang musik (musik dan sistem kepercayaan, estetika musik, konteks musik); 2) organisasi sosial musik ; 3) repertoar musik (gaya, jenis aliran, teks, komposisi, transmisi, gerakan); dan 4) budaya material musik.

Kata Kunci: musik, budaya, sosial, estetika, etnisitas.

A. Pendahuluan
Sejauh yang dapat diketahui, setiap masyarakat memiliki musik. Musik itu universal; tetapi maknanya tidak. Seorang musisi terkenal dari Timur dibawa ke sebuah konser simponi Eropa kira-kira seratus limapuluh tahun yang lalu. Meskipun ia adalah seorang musisi sebenarnya di negaranya, namun ia tidak pernah mendengarkan sebuah pertunjukan musik Barat. Cerita berjalan dimana setelah konser ia ditanya seberapa ia menyukainya. Ia menjawab, ‘Sangat baik’. Tidak puas dengan jawaban ini,
para penjamunya bertanya lagi (melalui seorang penterjemah) bagian mana yang paling ia sukai. ‘Bagian pertama,’ katanya. “Oh, Anda menikmati gerakan pertama?” “Tidak, sebelum itu!”.

Bagi orang asing, bagian pertama dari pertunjukan adalah waktu penyelarasan. Itulah musik baginya, dan siapa yang ingin mengatakan sebaliknya? Para penjamunya. Musik, karenanya, meskipun adalah sebuah fenomena universal (para ilmuwan bahkan mengirimkan musik pada pesawat-pesawat ruang angkasa, dengan harapan bisa berkomunikasi dengan badan-badan cerdas yang ada di sistem tata-surya yang jauh), mendapatkan maknanya dari budaya, dan budaya-budaya berbeda menafsirkannya secara beda. Budaya adalah merupakan sebagai cara hidup sebuah masyarakat secara keseluruhan. Di sini digunakan istilah budaya-musik (music-culture) untuk menunjuk pada sebuah kelompok dari total keterlibatan masyarakat dengan musik. Sesuai hal itu, budaya-musik Eropa menentukan bahwa suara atau bunyi yang dibuat oleh para musisi simponi yang selaras bukanlah musik.

Disebut musik sebagai musik, tetapi tidak semua budaya-musik memiliki kata untuk itu. Menulis tentang Rosa, sebuah kampung Macedonia Yugoslavia, Nahoma Sachs menunjukkan bahwa “Rosa-rosa tradisional tidak memiliki persamaan umum dengan ‘musik’ Inggris.” Mereka membagi tingkatan bunyi yang bisa disebut musik oleh orang-orang Amerika menjadi dua kategori: pesni, lagu-lagu, dan muzika, musik instrumental’ (Sachs 1975: 27). Tentu saja, perbedaan di antara lagu-lagu dan musik ini ditemukan di banyak bagian dunia, bahkan di Amerika Serikat. Para Pembabtis di zaman lampau di Selatan seringkali mengatakan, “Kami tidak memiliki musik pada misa kami,” yang berarti mereka tidak memiliki musik instrumental yang menyertai nyanyian mereka. Budaya-budaya musik lain memiliki kata-kata untuk beberapa tipe lagu (lagu ninabobok, syair kepahlawanan, nyanyian historis, dan lain sebagainya) tetapi bukan kata menyeluruh untuk musik. Sebagian karena kita memiliki sedemikian luas istilah untuk musik dalam bahasa Inggris, maka kita bisa menulis buku seperti ini.
Pada hakikinya, sebuah budaya-musik bersandar pada masyarakat itu sendiri- ide-ide mereka, tindakan atau gerak mereka, serta bunyi-bunyian yang mereka hasilkan (Merriam 1964: 32-33). Manusia berpikir bahwa budaya-musik terdiri dari empat komponen yang saling berjalan, yang akan kita uraikan di sini. Keempatnya terlebih dulu ditempatkan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang bisa anda tanyakan tentang suatu budaya-musik tidak dikenal (atau bahkan dikenal). Ketika Anda membaca artikel ini, dan ketika Anda mempersiapkan proyek riset lapangan Anda, lihat bagaimana setiap budaya-musik yang Anda temui bisa ditinjau melalui jawaban-jawaban khusus Anda untuk pertanyaan-pertanyaan luas sangat abstrak ini. Bahwa sekarang, saat Anda membaca artikel ini, pilih budaya-musik yang sudah Anda kenal dan terbiasa (klasik, jazz, new-wave rock, dan lain sebagainya) dan lihat bagaimana budaya-musik akan mengukur pertanyaan-petanyaan ini.

B. Empat Komponen Budaya-Musik
1. Ide-ide tentang Musik
a. Musik dan Sistem-Kepercayaan
Apakah musik? Apakah musik itu bersifat manusia atau ketuhanan (atau keduanya)? Apakah musik itu bagus dan berguna bagi umat-manusia? Apakah secara potensial merugikan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas mencapai ke dalam ide-ide dasar budaya masyarakat manusia, seni dan alam semesta dari budaya-musik. Budaya-budaya sangat bervariasi dalam mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, dan jawaban-jawaban itu seringkali sangat samar, bahkan paradoks; budaya diwujudkan dalam ritual-ritual dimana mereka mencoba untuk menyatukan cinta dan benci, hidup dan mati, alami dan beradap. Bahkan di dalam satu budaya-musik, jawaban-jawaban bisa berubah bersama waktu: seorang Kristen di Abad Pertengahan (Medieval) akan memiliki pemahaman kacau tentang salah satu massa jazz hari ini.

b. Estetika Musik
Kapan sebuah lagu disebut indah? Kapan sebuah lagu dinyanyikan dengan indah? Kualitas suara apa yang menyenangkan, dan apa yang menyenangkan di telinga? Bagaimana seharusnya seorang musisi berpakaian? Seberapa lama seharusnya sebuah Pertunjukan (performance) berlangsung? Sekali lagi, tidak semua budaya setuju dengan pertanyaan-pertanyaan estetika yang melibatkan penilaian-penilaian dari apa yang benar dan apa yang indah. Beberapa orang Amerika menganggap nyanyian-opera China sebagai tegang dan artifisial, tetapi demikian juga beberapa orang China menganggap gaya opera bel canto Eropa sebagai tidak tepat dan tidak menyenangkan. Budaya-musik bisa dicirikan dengan preferensi-preferensi pada kualitas suara dan praktek performance, yang semuanya merupakan diskriminasi-diskriminasi estetika.

c. Konteks untuk Musik
Kapan seharusnya musuik dipertunjukkan? Seberapa sering? Pada Kejadian-kejadian apa? Sekali lagi, setiap budaya-musik menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang hal-hal yang mengelilingi musik ini secara beda. Di dunia modern, dimana konteks bisa bergantung pada hanya loncatan dari saklar on-of dan “person-berjalan” (walkperson) yang bisa berpindah, sulit membayangkan masa-masa lalu ketika semua musik muncul dari pertunjukan langsung bertatap-muka. Kakek-kakek buyut manusia harus bernyanyi atau memainkan drama, mendengarkan musik, atau menanyakannya pada seseorang yang ada di dekatnya; mereka tidak bisa memproduksinya atas permintaan dari suara radio, televisi, pemain rekaman, tape recorder, atau komputer yang tidak berwujud. Bagaimana anda telah mendengarkan seorang penyayi atau sebuah band seratus tahun yang lalu jika anda beranggapan bahwa bisa jadi ini merupakan satu-satunya waktu dalam kehidupan Anda, Anda dapat mendengarkan musik!
Tentu saja, tiga kategori ide tentang musik yang baru saja kita bicarakan ini-musik dan sistem kepercayaan, estetika, dan konteks- saling bertumpang-tindih. Di sebagian besar budaya-musik, musik yang “bagus” (good) terikat dengan musik yang “indah” (beautiful) dan berlangsung dalam konteks yang benar. Dengan demikian harus ada pemisahan demi kenyamanan.

Disamping itu, individu-individu dengan budaya-mudik seringkali berbeda dalam ide-ide mereka tentang musik. Ragtime, jazz, dan rock ‘n’ roll, sifatnya revolusioner ketika semua musik ini diperkenalkan. Mereka menemui (dan tetap menemui) perlawanan dari beberapa orang Amerika ini. Perlawanan ini didasarkan pada estetika (musik ini dianggap sebagai suara keras dan mengerikan) dan konteks (gaya-hidup terkait musik dianggap memasukkan narkotika, cinta-bebas, politik radikal, dan seterusnya). Jika musik, dunia-dunia di dalam dunia-musik. Dalam kenyataan, sebagian besar budaya-musik bisa dibagi menjadi beberapa sub-budaya, beberapa berlawanan dengan beberapa yang lain: klasik versus rock ‘n’ roll, misalnya, atau (dari era sebelumnya, lagu-lagu pujian suci versus musik dansa dan nyanyian-nyanian untuk minum. Seringkali sub-sub-budaya ini bertumpang-tindih: pertunjukan dari sebuah kidung pujian di sebuah Gereja Minnesota melibatkan wilayah (Midwest atas), etnisitas (contoh: Jerman), agama (Lutheranisme), dan sebagainya – semua dasar untuk sub-sub-budaya musik. Apakah sub-sub-budaya musik yang anda identifikasikan paling kuat? Apa yang paling tidak anda sukai? Apakah preferensi-preferensi Anda didasarkan pada konteks, estetika, atau sistem kepercayaan?

2. Organisasi Sosial Musik
Organisasi sosial menunjuk pada bagaimana sekelompok masyarakat membagi, mengatur, atau memeringkatkan diri. Jumlah total dari ide dan pertunjukan (performance) musik terbagi secara tidak merata di antara orang-orang pada suatu budaya-musik. Beberapa berperforma lebih sering, beberapa yang lain hampir tidak pernah. Beberapa membuat musik untuk mencari nafkah, sedang beberapa yang lain dibayar sedikit atau bahkan tanpa bayaran. Karena usia dan gender, anak-anak, wanita, pria, dan orang-orang tua menyanyikan lagu-lagu berbeda. Kelompok ras, etnis, dan kelompok kerja juga menyanyikan lagu-lagu spesial mereka sendiri, dan setiap kelompok diberi peran musiknya sendiri. Semua maslah ini ada kaitannya dengan organisasi sosial budaya-musik, yang didasarkan pada ide-ide budaya-musik tentang musik, seperti yang telah dijelaskan di atas.

Seringkali pembagian perilaku musik mirip dengan pembagian sosial di dalam kelompok sehingga memperkuat aktivitas-aktivitas biasa budaya itu. Misalnya, ketika Pygmi-pygmi Afrika bernyanyi sebagai kelompok, setiap orang menjalin bagiannya untuk membangun sebuah kompleks yang secara keseluruhan sangat terpadu. Peneliti Alan Lomax menunjukkan bahwa pertunjukan-pertunjukan yang melibatkan kerjasama seperti ini melambangkan tekanan Pygmy pada kordinasi kerjasama di bidang-bidang kehidupan lain, seperti pekerjaan sehari-hari (Lomax 1976: 41; Turnbull 1962 untuk deskripsi jelas kehidupan dan musik Pygmy).
Di lain pihak, musik seringkali berjalan melawan untaian budaya luas, khususnya pada waktu festival, atau pada momen-momen penting dalam siklus kehidupan (inisiasi, perkawinan, pemakaman, dan lain sebagainya). Masyarakat pada pinggiran budaya menjadi penting ketika mereka memainkan musik untuk suatu peristiwa, namun juga memahami kekuatannya dan seringkali bahkan melihat keajaiban pada karya mereka. Dua ciri musik paling penting dari organisasi sosial musik adalah: status dan peran: prestise pembuat-musik, dan peran-peran beda yang diberikan masyarakat pada budaya-musik. Banyak situasi musik pada buku ini bergantung pada aspek-aspek dasar organisasi sosial.

3. Repertoar Musik
Repertoar adalah satu kumpulan performance siap, dan repertoar budaya-musik adalah apa yang paling kita anggap “musik itu sendiri” (musik itself). Repertoar terdiri dari enam bagian dasar, yaitu: gaya, jenis aliran, teks, komposisi, penyebaran, dan gerakan.

a. Gaya (style)
Termasuk di sini adalah segala sesuai yang terkait dengan organisasi bunyi musik itu sendiri: elemen-elemen titian nada (skala, mode, melodi, harmoni, sistem penselarasan, dan seterusnya), elemen-elemen waktu (irama, meter), elemen-elemen warna nada (kualitas suara, warna nada isntrumental), dan kepadatan bunyi (keras dan lembut). Semua ini bergantung pada estetika budaya-musik.
Secara bersama, gaya dan estetika menciptakan bunyi bisa dikenal yang dipahami oleh kelompok sebagai miliknya. Hal dapat dilihat pada Kasena, masyarakat yang hidup di negara Ghana Afrika, lebih menyukai musik mereka sendiri dibanding musik tetangga mereka, Frafra yang hidup di jalanan. Mereka mengatakan bahwa Frafra “hanya memiliki satu cara untuk bermain, sedangkan kami memiliki banyak”. Namun bagi kebanyakan masyarakat Kasena Amerika dan Frafra, musik kedengaran sama. Apakah musik-musik itu memang sama? Tidak, jika setiap kelompok bisa membedakan musiknya. Orang luar yang meneliti musik Kasena tahu bahwa ia mendapatkan sesuatu jika ia, juga, bisa mengenali perbedaan di antara musik Kasena dan Frafra dan menempatkan perbedaan itu ke dalam kata-kata-atau musik.

b. Jenis Aliran (Genre)
Jenis-jenis aliran musik adalah unit-unit standard repertoer yang diberi nama, seperti ‘lagu’ dan berbagai macam subdivisinya (misal, lagu ninabobok, nyanyian Natal, nyanyian pernikahan) atau banyak tipe musik instrumental dan tarian (jig, reel, wltz, dan lain sebagainya) Sebagian besar budaya-musik memiliki banyak jenis besar, tetapi istilah mereka tidak selalu sesuai dengan istilah pada budaya-budaya musik lain. Di antara kaum Yoruba di negara Nigeria Afrika, misalnya, raja-raja, kepala-kepala suku yang berkuasa, dan kaum bangsawan mempertahankan penyanyi-penyanyi lagu pujian untuk menyanyikan lagu-lagu pujian bagi mereka (Olajubu 1978: 685). Lagu-lagu pujian disebut oriki. Meskipun dapat mendekati nama Inggris untuk mendeskripsinya (nyanyian-pujian), namun tidak ada jenis aliran yang sama saat ini di Eropa atau Amerika.

c. Teks (Texts)
Kata-kata untuk sebuah lagu dikenal sebagai teksnya. Setiap nyanyian dengan kata-kata merupakan persimpangan dari dua sistem komunikasi manusia sangat besar yang berbeda: bahasa dan musik. Lagu dengan kata-kata merupakan jalinan sementara kedua sistem ini, dan demi kenyamanan kita bisa melihat keduanya satu demi satu. Setiap teks memiliki sejarahnya sendiri; seringkali sebuah teks tunggal memiliki melodi-melodi terhubung yang berbeda. Di lain pihak, sebuah melodi tunggal bisa cukup untuk beberapa teks. Pada musik blues, misalnya, teks dan melodi mengarah pada kehidupan independen, dengan memperkuat sebagai keinginan penyanyi. Lagu itu sendiri (bahasa dan musik secara bersama) adalah unit bisa dikenal, yang kuat secara emosional dengan haknya sendiri. Setiap orang yang telah ada di luar negeri dan tiba-tiba mendengar sebuah lagu tanah air yang dikenal tahu bagaimana kuatnya pengaruh ini.

d. Komposisi (Composition)
Bagaimana musik memasuki repertoer budaya-musik? Apakah musik terkomposisi secara individual atau oleh kelompok? Apakah musik itu tetap, bervariasi di dalam garis batas tertentu, atau diimprovisasikan secara spontan di dalam pertunjukan? Improvisasi membuat tercengan banyak etnomusikolog, dan kita tidak terkecuali. Barangkali pada level dalam dapat dihargai improvisasi bukan hanya karena ketrampilan-ketrampilan yang dilibatkan tetapi karena hal itu dapat menunjukkan improvisasi sebagai contoh kebebasan manusia. Komposisi juga terikat dengan organisasi sosial: apakah budaya-musik memiliki kelas kkomposer speial, atau bisakah seseorang mengkomposisi musik? Komposisi terkait dengan ide-ide tentang musik; beberapa budaya-musik membagi musik menjadi lagu-lagu yang dikomposisi oleh manusia dan lagu-lagu yang “diberikan” (given) kepada manusia dari para dewa, binatang, dan komposer-komposer lain bukan-manusia.

e. Penyebaran (Transmission)
Bagaimana musik dipelajari atau dipahami dan disebabkan dari satu orang ke orang berikutnya, dari satu generasi ke generasi berikutnya? Apakah budaya-musik tergantung pada instruksi formal, seperti di India Selatan? Apakah ada sisten notasi musik? Apakah sebuah badan teori musik mendasari proses instruksi formal? Seberapa banyak dipelajari secara informasi, melalui imitasi? Apakah musik berubah lewat waktu? Jika demikian, mengapa dan bagaimana?
Beberapa budaya-musik mewariskan musik melalui hubungan guru dan murid yang berlangsung untuk seumur hidup. Guru menjadi orang tua, yang mengajarkan nilai-nilai dan etika dan juga musik. Situasi musik seperti ini benar-benar menjadi “jalan hidup” (a way of life) dan si murid “dipersembahkan” (devoted) untuk menampilkan musik gurunya. Pada budaya-budaya-musik yang lain, tidak ada instruksi formal, dan musisi yang bercita-cita tinggi harus mengumpulkan sedikit demi sedikit dari menonton dan mendengarkan, biasanya lewat waktu bertahun-tahun. Dalam situasi-situasi ini, akan sangat membantu jika ia dibesarkan dalam keluarga musikal. Ketika repertoar disebarkan terutama dengan contoh dan imitasi dan dijalankan dari memori, kita katakan musik eksis “dalam tradisi oral” (in oral traditional). Musik pada tradisi oral menunjukkan variasi lebih besar lewat waktu dan ruang dibanding musik yang terikat dengan skor musik tertulis, definitif.

f. Gerakan (Movement)
Seluruh tingkatan aktivitas fisik menyertai musik. Memainkan sebuah instrumen musik, sendirian atau di dalam kelompok, melibatkan aktivitas musik, tetapi juga menghasilkan gerakan yang ditentukan secara budaya yang tak bisa dipisahkan dari musik itu sendiri. Yaitu, musik cukup secara harfiah menggerakkan orang-orang (menari), dan gerakan itu merupakan bagian pokok dari pertunjukan. Seberapa ganjil jadinya sebuah band rock berforma tanpa gerakan sebagai tanggapan terhadap musik mereka, dengan cara-cara yang membiarkan penonton memahami apa yang mereka rasakan, diperlihatkan saat ini oleh beberapa band new-wave rock. Grup-grup, seperti Rolling Stone, memproyeksikan imaji yang dalam. Dengan satu cara atau cara lain, musik terhitung dengan gerakan di dalam repertoar setiap budaya.

4. Budaya Material Musik
Budaya material menunjuk pada “hal-hal” (things) material, nyata-obyek-obyek fisik yang bisa dilihat, dipegang, dirasa, dan digunakan (non metefisik) --- yang dihasilkan oleh budaya. Dengan meneliti alat-alat budaya dan teknologi bisa mengatakan pada kita tentang sejarah kelompok dan gaya hidup. Demikian juga, riset tentang budaya material musik bisa membantu kita dalam memahami budaya-musik. Badan ‘hal-hal’ paling hidup didalamnya, tentu saja , adalah instrumen musik. Kita tidak bisa mendengar bunyi aktual dari suatu pertunjukan musik bagi diri kita sebelum 1870-an ketika fonograf ditemukan, sehingga kita bergantung pada instrumen tentang budaya-budaya-musik untuk informasi penting di jaman lampau beserta perkembangannya. Di sini kita memiliki dua jenis bukti: instrumen yang dipelihara kurang lebih utuh seperti harpa Sumeria yang usianya lebih dari 4500 tahun, dan instrumen-instrumen yang digambarkan dalam seni. Melalui studi instrumen, dan juga seni lukis, dokumen tertulis, dan sebagainya, kita bisa mengeksplorasi gerakan musik dari Timur Dekat sampai China lewat ribuan tahun yang lalu, atau kita bisa menguraikan penyebaran pengaruh Timur Dekat untuk Eropa yang disebabkan oleh perkembangan sebag ian besar instrumen didalam orkestra simponi.

Kita menanyakan budaya-budaya-musik hari ini, siapa yang membuat instrumen dan bagaimana instrumen-instrumen ini didistribusikan; hubungan apa yang ada di antara pembuat-instrumen dengan musisi; bagaimana selera dan gaya musik generasi ini, lebih dari selera dan gaya generasi tua, yang direfleksikan di dalam instrumen-instrumen yang dimainkan, dan seterusnya. Seringkali instrumen musik menjadi simbol patriotik warisan musik budaya. Contohnya adalah instrumen dari kantong-pipa di Dataran Tinggi Skotlandia atau instrumen Celtik kuno yang dibangun kembali dari masyarakat Britania dan Irlandia.

Kertas musik, juga, adalah budaya material. Para sarjana pernah mendefinisikan budaya musik rakyat seperti budaya dimana masyarakata belajar dan menyanyikan musik dengan telinga daripada dari cerita, tetapi riset menunjukkan pengaruh timbal-balik di antara sumber oral dan sumber tertulis pada beberapa abad terakhir di Eropa, Inggris, dan Amerika. Versi-versi cetak membatasi beragam jenis karena cenderung memakukan suatu lagu, namun secara paradoks menstimulasi orang-orang untuk menciptakan lagu-lagu berbeda dan baru. Bertrad Bronson mengamati bahwa teks-teks balada cetak cenderung memantapkan memori kata-kata pada orang-orang, tetapi gagal mengekang kepentingan mereka dalam variasi melodies (Bronson 1969: 61-62). Disamping itu, kemampuan untuk membaca notasi musik memiliki efek yang berjangkauan-jauh pada para musisi dan, ketika kemampuan tersebar luas, pada budaya-musik sebagai keseluruhan.

Satu bagian lebih penting dari budaya metrial musik sebaiknya dipisah-pisahkan: pengaruh media elektronik-radio, alat rekam, tape recorder, televisi, dan video-kaset, dengan komputer bernyanyi dan berbicara yang menjanjikan di masa depan dan perkembangan-perkembangan lain. Ini semua adalah bagian dari “revolusi informasi” (information revolution), fenomena abad ke-20 sama pentingnya dengan revolusi industri pada abad ke-19. Media elektonik ini bukan hanya terÿÿtaÿÿpadaÿÿegara-negara modern; namun juga telah mempengaruhi budaya-budaya-musik di seluruh dunia.

C. Dunia-Musik
Percampuran budaya-budaya-musik sedang berlangsung di seluruh dunia, dan fakta ini seringkali membuat sulit kita dalam memisahkan gaya-gaya musik tradisional’ tetapi akan salah jika berasumsi bahwa budaya-budaya musik praelektronik tidak berubah. Berbicara tentang Eropa Timur (Eastern Europe) lebih dari setengah abad yang lalu, Zoltan Kodaly berkata:

Tradisi rakyat tidak dianggap sebagai satu keseluruhan yang homogen seragam, namun bervariasi secara mendasar menurut kondisi usia, sosial dan material, pendidikan, distrik, dan gender. Sekitar tahun tahun 1910 perbedaan cukup tajam hadir di antara repertoar-lagu dari tiga usia kehidupan utama. Orang-orang berusia baya dan usia tua di pedesaan bukan hanya tidak menyanyikan lagu-lagu anak muda, tetapi biasanya tidak memahaminya. Juga generasi muda tidak memahami lagu-lagu generasi tua… (Kodaly 1960: 20).

Dengan kata lain, perubahan musik dan kontak-budaya (culture-contact) serta saling-pertukaran tidak dimulai dengan media elektronik. Lagu-lagu pujian Kristen Indian Amerika, misalnya, dihasilkan dari karya misionaris yang dimiliki ketika orang-orang Eropa pertama kali datang ke Benua Amerika. Media telah mempercepat langkah perubahan, dan telah mempengaruhi arahnya demi mendukung budaya-budaya-musik industri. Budaya-budaya musik ini siap mengakses media dan musiknya cenderung mendorong musik pedesaan dan musik suku di bawah tanah atau keluar sama sekali.
Tetapi musik adalah satu unsur budaya yang dinamis dan cair, yang berubah untuk menyesuaikan keinginan ekspresif dan emosional umat manusia, hal yang paling bisa berubah dari hewan-hewan. Seperti semua budaya ekspresif, musik adalah adaptasi manusia yang ganjil dengan kehidupan di atas planet bumi. Setiap budaya-musik ke budaya musik berikutnya, tetapi akan bodoh jika mengatakan bahwa satu budaya-musik “lebih baik” (better) dibanding budaya-musik yang lain. Mengapa? Karena penilaian semacam didasarkan pada kriteria dari dalam budaya-musik tunggal. Menyebut musik suatu budaya-musik “primitif” (primitive) sama dengan memaksakan standarnya yang dimiliki seseorang pada kelompok yang tidak mengenalinya. Etnosentrisme semacam tidak memiliki tempat di dalam studi musik dunia.

Pada tulisan-tulisan di atas, dapat dilihat eksplorasi dari beberapa dunia, di dalam dunia-dunia musik. Meskipun setiap dunia bisa tampak aneh pertama kalinya, namun semuanya diorganisir, penuh tujuan, dan koheren. Setiap dunia bisa dianggap sebagai sebuah ekologis, dengan kekuatan yang berkombinasi untuk menyusun budaya-musik (ide-ide, organisasi sosial, repertoar, gerakan) di dalam keseimbangan yang dinamis. Satu perubahan dalam setiap bagian dari ekosistem mempengaruhi keselruhan darinya. Pada studi musik dunia kami, sering memisahkan bagian-bagian dari budaya-musik dan memberi kesan bahwa inilah cara atau gaya bagian-bagian itu atau bahwa bagian-bagian dari budaya-musik untuk studi adalah penyederhanaan-berlebih; yang terburuk, ketidakbenaran. Tetapi dengan adanya kegiatan kursus dan buku pelajaran, ini hanyalah suatu wacana.


Daftar Pustaka

Bronson, Bertrand, 1969, “The Interdependence of Ballad Tunes and Texts”, in The Ballad as Song, Berkeley: University of California Press.
Kodaly, Zoltan, 1960, Folk Music Hungary, London: Barrie and Rockliff.
Lomax, Alan, 1976, Contometrics: A Method in Music Anthrology, Berkeley: University of California Extension Media Center.
Marriam, Alan P., 1964, The Anthropolgy of Music, Eavston: Northwestern University Press.
Olajubu, Chief Oludare, 1978, “Yoruba Verbal Artists and their Work”, in Journal of Ameican Folklore 19: 675-690.
Sach, Nahoma, 1975, “Music and Meaning: Musical Symbolism in a Macedonia”, Ph.D., dissertasion, Princeton University.
Suhardjo Parto, “Indonesia”, in Ramon P. Santos (General editor), 1995, The Musics of Asean, Philippines: ASEAN Committee on Culture and Information.
Turnbull, Colin, 1962, The Forest People, New York: Clarion Books.





















artikel ini telah dimuat di Harmonia Vol VIII No 1 2006

Read More ..

Sabtu, 28 Maret 2009

Paradigma Baru Penelitian Seni

Hari Martopo
Staf Pengajar Jurusan Musik Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta

Abstrak
Atmosfer penelitian seni di lingkungan perguruan tinggi seni masih terasa kering bila dibandingkan dengan penelitian ilmu-ilmu lain, terutama oleh karena persoalan paradigma dan parameter ilmiah. Paradigma lama yang memandang dikotomis ilmu dan seni sebagai suatu relasi yang berhadap-hadapan sesungguhnya benar-benar telah usang. Pikiran seperti itu perlu segera dikoreksi karena hakikat seni adalah suatu disiplin yang bersifat sains dan filsafat; maka paradigma baru perlu dikembangkan untuk tujuan pembebasan berpikir terutama bagi para peneliti seni. Kebebasan berpikir dan perasaan merdeka sangat mendorong peneliti seni menghasilkan banyak kreativitas, inovasi, dan penemuan-penemuan.

Kata kunci: penelitian, seni, paradigma, kreativitas.


A. Pendahuluan

Penelitian seni atau riset ilmiah tentang seni adalah dharma ke-2 perguruan tinggi yang berperan penting sebagai media pengembangan keilmuan seni di lingkungan perguruan tinggi seni (PTSn). Ironisnya, tradisi menulis karangan ilmiah dan melakukan penelitian di lingkungan PTSn tampaknya belum menggembirakan. Padahal atmosfer akademik seharusnya ditumbuhkan berdasarkan konsep keseimbangan Tri Dharma PT (pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat) baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Jika penelitian kurang diminati oleh mahasiswa maupun dosen, berbagai penyebabnya hingga kini belum pernah dikaji secara mendalam. Publikasi artikel dan penelitian ilmiah memang sudah mulai berkembang, tetapi
jumlahnya tidak sebanding dengan rasio dosen yang ada.
Di lingkungan PTSn kegiatan menulis artikel ilmiah dan melakukan penelitian tak jarang masih dianggap sebagai kegiatan intelektual yang berlawanan dengan kebebasan berekspresi seni, fakta itu menunjukkan kepada kita bahwa meneliti masih digolongkan sebagai kegiatan eksklusif yang berbeda dengan kegiatan seni. Menulis artikel atau meneliti dikategorikan sebagai aktivitas keilmuan yang mengandalkan rasio belaka, sedangkan berkesenian adalah aktivitas kesenimanan yang lebih mengandalkan kekuatan rasa. Paradigma lama yang memandang secara dikotomis ilmu dan seni seperti itu kurang menguntungkan dan perlu dikoreksi demi pengembangan seni sebagai sains agar setara dengan ilmu-ilmu pengetahuan lain. Dosen acapkali semangatnya menjadi kendor jika hendak memulai penelitian, karena penelitian terkesan sangat rumit, memeras otak, penuh resiko, menyita banyak waktu, dan secara finansial kurang menguntungkan. Maka, paradigma baru diperlukan sebagai alternatif, penelitian seni sebaiknya lebih banyak mengeksplorasi rasa daripada rasio. Sekalipun demikian penelitian atau penciptaan seni prosesnya harus tetap rasional.
Penelitian sesungguhnya bisa dimulai dengan cara mudah, bertahap, fleksibel, sebagai proses belajar, pengembangan ilmu, dan tidak menakutkan. Untuk itu calon peneliti harus mengalami sendiri mulai dari menulis proposal, merancang kegiatan, melaksanakan penelitian, maupun membuat evaluasi dan laporan akhir. Artikel ini dimaksudkan untuk membantu bagi siapa saja yang berminat melaksanakan penelitian seni, terutama bagi yang benar-benar belum pernah mengalami dan masih memiliki keraguan besar untuk memulainya. Peneliti harus mulai dengan sikap percaya diri, berpikir kreatif, mencari banyak referensi tentang penelitian, belajar menentukan topik, judul, dan menuliskan abstrak penelitian—untuk menyusun proposal penelitian. Pelaksanaan proyek penelitian seni bisa dilaksanakan sebagai bagian dari belajar ’sambil jalan’, peneliti pemula bisa banyak belajar dari institusi yang mengaturnya, dari para koleganya, atau dari berbagai problem-problem kasuistis yang dihadapinya. Setiap peneliti dengan sendirinya akan memperoleh pengalaman yang berbeda satu dengan lainnya; pengetahuan, strategi, maupun gaya dalam melaksanakan penelitian sifatnya bisa individual.
Atmosfer penelitian seni di lingkungan PTSn hingga kini belum berkembang sesuai harapan karena beberapa masalah: (1) Kesempatan meneliti bagi dosen masih terbatas dibandingkan dengan jumlah mereka; (2) Pengembangan kemampuan meneliti bagi para dosen masih kurang, sekalipun Lembaga Penelitian telah berulang-kali memberikan pelatihan tetapi hasilnya belum sepadan. Transfer pengetahuan dan pengalaman meneliti dari dosen senior kepada yuniornya nyaris tidak berlangsung karena tradisi penelitian kelompok sangat minim; (3) Angka kredit (untuk kenaikan pangkat dosen) dari hasil penelitian amat kecil dibandingkan dengan aktivitas penulisan ilmiah yang dipublikasikan, hal itu menyebabkan dosen enggan melakukan penelitian; (4) Paradigma lama mengatakan bahwa meneliti adalah urusan rasio yang berlawanan dengan kebebaan ekspresi kesenimanan masih berkembang; (5) Keraguan peneliti terkait dengan parameter ’ilmiah’ penelitian, menjadikan kurang percaya diri ketika akan menentukan landasan teori, metodologi, metode, dan teknik analisis data.
Masalah ke-4 dan ke-5 tersebut umum dihadapi para peneliti bidang seni terutama pemula. Pandangan dikotomis atas sains dan seni menjadikan peneliti seni ragu terkait dengan penilaian ilmiah terhadap penelitian mereka. Azas kebenaran ilmiah yang positivistik acapkali diterapkan pada penelitian-penelitian seni termasuk pula perancangan atau penciptaan karya seni. Keindahan yang menjadi azas utama seni dipandang kurang sepadan dengan kebenaran ilmiah dalam kerangka penelitian seni, karena rasa (sense, feeling) dicurigai terlampau mendominasi proses penelitian seni yang terpaksa mengikuti metodologi-metodologi pinjaman.
Terkait dengan metodologi penelitian seni, pada tanggal 7-8 September 2005 bertempat di Denpasar-Bali dilangsungkan suatu diskusi yang membahas masalah-masalah penelitian seni oleh Forum Diskusi Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Bidang Seni yang difasilitasi oleh DP3M Ditjen Dikti. Diskusi berhasil merumuskan dua hal penting terkait dengan penelitian seni, yang pertama menjawab pertanyaan apakah ada metodologi penelitian khusus bidang seni? Jawabnya: Penelitian bidang seni memang khas dan ada teknik-teknik khusus untuk penelitian kesenian, tetapi tidak ada metodologi khusus bidang seni. Penelitian seni dapat didekati secara multidisiplin maupun secara monodisiplin yang terkait dengan metodologinya masing-masing (I Made Bandem, 2005). Bagi peneliti bidang seni jawaban itu tentu sangat mengejutkan, betapa tidak, penelitian seni seakan tidak merdeka dan kurang mandiri terutama dalam menggunakan metodenya. Penelitian seni dianggap layak jika menggunakan metode pendekatan ilmu-ilmu lain agar pantas dikategorikan ilmiah.
Dari semua persoalan penelitian seni, paradigma dan metode penelitian menjadi persoalan paling sering muncul di hadapan peneliti seni. Akademisi seni belum berani mengatakan bahwa penelitian seni sejajar dengan penelitian sains, sikap inferior bahwa seni jauh dari logika sudah saatnya dikoreksi. Seni hakikatnya memang berbeda dari sains seperti dikatakan oleh Melvin Rader (1960: xx): Science describes facts; art expresses values. Sains menjelaskan fakta-fakta, yang benar-benar nyata dan ada, bisa dibuktikan, sesuatu yang permanen, umum, dan terkait dengan pengalaman-pengalaman universal. Sains memang terkait dengan sesuatu yang pasti dan masuk akal (logic); sedangkan seni lebih mengambang, individual, relatif, dan terkait erat dengan nilai-nilai dan rasa (sense). Otonomi seni lebih dari sekadar menggambarkan fakta atau realitas belaka, tetapi menyampaikan pesan-pesan artistik.
Masalah kekurangan informasi terutama literatur dan contoh-contoh penelitian seni juga menjadi sebab atmosfer penelitian tidak berkembang di lingkungan PTSn. Eksplorasi terhadap berbagai masalah terkait dengan penelitian seni bisa dimulai dengan mengembangkan paradigma baru penelitian seni. Para dosen bidang seni kini memiliki kesempatan yang cukup lebar untuk melakukan penelitian seni, mulai dari taraf latihan hingga tingkat mandiri dan bisa memilih berbagai model penelitian yang sesuai dengan minatnya. Tetapi, oleh karena seni dekat dengan filsafat, ilmu-ilmu budaya, dan ilmu pengetahuan sosial; maka paradigma dan metodologi penelitian seni bisa digali dan dikembangkan dengan meminjam teori-teori dan teknik-teknik analisis dari berbagai ilmu pengetahuan tersebut.
Jika para peneliti seni mampu mengadobsi teori-teori dan teknik-teknik analisis dari ilmu-ilmu lain sekaligus mengembangkannya menjadi model-model penelitian seni yang spesifik, maka jalan keluar terbuka lebar. Penelitian seni juga bisa dikembangkan dengan membangun sendiri metodologi dan teknik-teknik analisisnya di atas ilmu pengetahuan seni. Jika upaya-upaya terus dilakukan, maka sangat mungkin paradigma penelitian seni segera terbarui. PTSn pada umumnya menantikan ide-ide kreatif dari para penelitinya, karena ilmu pengetahuan seni bisa berkembang pesat jika school of thought dibangun sebagai fondasi filosofis melalui peningkatan aktivitas ketiga dharma perguruan tinggi secara simultan.

B. Hakikat Penelitian Seni
Penelitian atau riset (research) bermakna mempelajari secara hati-hati (careful study) atau menyelidiki (investigation) khususnya untuk menemukan (to discover) fakta-fakta atau informasi ilmiah baru. Penelitian dilakukan terhadap suatu masalah secara bersistem, kritis, dan ilmiah. Tujuannya ialah untuk meningkatkan pengetahuan dan pengertian, mendapatkan fakta baru, atau melakukan penafsiran lebih baik, dan membentuk ilmu baru. Ilmu dibentuk oleh tiga komponen yang saling terkait: aktivitas manusia, metode tertentu, dan sistem (The Liang Gie, 2000: 88). Oleh karena itu penelitian dapat dikategorikan sebagai aktivitas nyata manusia untuk membangun ilmu pengetahuan dengan menggunakan metode tertentu dan sistematik. Tujuan penelitian pada umumnya untuk menggali, menemukan, memahami, mengoreksi, mengembangkan, dan lain-lain terhadap fakta, fenomena, maupun teori-teori.
Penelitian seni adalah penyelidikan tentang semua hal yang terkait dengan seni seperti: karya seni, seniman, perancangan atau penciptaan seni, teori-teori seni, manajemen seni, sejarah seni, fenomena kesenian, dan lain sebagainya. Pengkajian terhadap karya-karya cipta seni, pengusutan atas adanya fenomena baru dalam kehidupan seni tertentu, pembahasan atas teori-teori seni, pengembangan manajemen seni terutama produksi pameran seni rupa atau konser-konser, penulisan sejarah seni, dan lain sebagainya—adalah jenis-jenis penelitian yang sangat diperlukan bagi pengembangan seni sebagai sains. Ilmu pengetahuan (sains) dewasa ini sering dipandang sebagai proses, produk, dan paradigma etika (Lasiyo, 2004: 1). Jika demikian adanya, bagaimana pula seni bisa dipandang seperti itu? Penelitian seni bisa diartikan sebagai suatu proses untuk membentuk ilmu pengetahuan seni, juga untuk menghasilkan karya cipta sebagai produk final, dan menyajikan paradigma yang memuat nilai-nilai dari objeknya.
Definisi ‘penelitian seni’ atau riset tentang seni adalah penyelidikan, pemeriksaan yang teliti atau cermat—yang berwujud kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data yang dilakukan secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis dalam mengembangkan prinsip-prinsip umum dalam bidang seni. Kata research bermakna mencari secara berulang-ulang, terkait dengan inquiry (penyelidikan), delve (gali), pengusutan, dan probe (menjajaki). Penelitian pada umumnya terkait dengan kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh para sarjana baik di lingkungan perguruan tinggi maupun pada lembaga-lembaga riset lain secara sistematis dan objektif. Untuk itu penelitian ilmiah pada umumnya bermakna mempelajari secara hati-hati atau menyelidiki untuk menemukan adanya fakta-fakta maupun informasi-informasi ilmiah yang baru. Mengacu pada pernyataan Rader tersebut di atas, penelitian seni bisa didefinisikan sebagai upaya sistematis dan objektif untuk menyelidiki, mempelajari, dan menemukan bukan saja fakta-fakta baru dalam seni tetapi berupa fenomena dan nilai-nilai yang terkandung di dalam seni.
Tujuan penelitian seni setara dengan penelitian-penelitian ilmiah lain, seperti untuk meningkatkan pengetahuan dan pengertian, mendapatkan fakta baru, menjelaskan tentang fenomena tertentu, dan penafsiran baru atas nilai-nilai. Penelitian seni bisa dikategorikan sebagai aktivitas ilmiah dan proses untuk membentuk ilmu pengetahuan seni. Pada tataran ini penelitian seni bertujuan bukan sekadar untuk mendapatkan deskripsi tentang objeknya saja, tetapi untuk suatu tujuan yang lebih bervariasi bahkan termasuk di dalamnya perancangan karya-karya seni. Penelitian eksperimental bidang seni memungkinkan sekali hasilnya berupa temuan (invention) yang memenuhi unsur kebaruan (novelty) dan kreativitas (baru dan unik) dari perancangnya. Eksperimen dan eksplorasi seni pada umumnya menghasilkan karya atau produk yang inovatif tetapi bahkan sangat mungkin melahirkan pengetahuan, gaya, atau aliran seni yang baru. Penelitian seni tidak dapat dilawankan begitu saja secara paradoksal terhadap penelitian ilmiah seperti ilmu sosial, ilmu kealaman, dan filsafat. Seni dan ilmu saling melengkapi, bukan berlawanan. Di dalam seni ada sesuatu yang ‘ilmiah’ sekalipun porsinya kecil; demikian pula di dalam sains bisa jadi ada sesuatu yang ‘artistik’. Oleh karena itu penelitian seni harus dilakukan oleh peneliti yang berwatak ilmuwan sekaligus seniman, peneliti yang mampu menggunakan kemampuan berpikir dan merasakan sesuatu secara rasional serta sensitif.
Sekalipun peneliti menggunakan azas utamanya kepekaan rasa seniman, tetapi ia wajib memperhatikan ketajaman rasionya sebagai ilmuwan. Prinsip-prinsip itu bukan baru, filsafat asal Cina mengajarkan prinsip harmoni dalam kosmos; dua sumber yang menjadi prinsip segala eksistensi dan transformasi dalam alam semesta ialah Yin-Yang (To Thi Anh, 1984: 87). Di dalam Yin yang bersifat gelap, tertutup, dingin, dan sifat negatifnya; terdapat pula sifat-sifat sebaliknya yakni Yang. Demikian pula di dalam Yang terdapat sifat terang, terbuka, panas, dan sifat positifnya; juga dilengkapi oleh sifat-sifat Yin. Peneliti seni sebaiknya menggunakan keseimbangan rasio dan rasa dalam melaksanakan penelitian seni, sekalipun dalam menentukan prosentase ia bisa merdeka namun dua aspek tersebut harus digunakan agar saling melengkapi.
Hasil penelitian seni bisa berwujud pemikiran atau teori seni, karya seni, atau deskripsi fakta-fakta atau fenomena baru dalam kesenian. Jika ilmu pengetahuan perlu mendapatkan pengakuan masyarakat ilmiah sebelum dimanfaatkan publik, maka produk penelitian seni juga perlu diakui oleh masyarakat seni sambil disosialisasikan kepada publik. Ada sedikit perbedaan fundamental antara hasil penelitian ilmiah berbagai disiplin selain seni dengan disiplin seni. Yang pertama menyangkut pengetahuan yang sifatnya umum, perlu kepastian, dan sering mengandung resiko-resiko atas penggunaannya; ilmu fisika, kimia, kedokteran, dan matematika—semuanya tidak bisa digunakan secara serampangan sebab jika salah bisa mendatangkan akibat yang sangat fatal. Sebaliknya yang kedua, seni bersifat lebih seperti ‘Yin’ yang mengambang, relatif, dan tidak harus terbuka. Sekalipun demikian penelitian seni merupakan usaha mencari keterangan baru dan bersifat memberikan penerangan terhadap berbagai persoalan seni.
Pada dasarnya kebenaran ilmiah dirumuskan melalui hukum-hukumnya secara objektif, sedangkan keindahan seni bertumpu pada nilai-nilai normatif. Seorang pelukis bisa saja melakukan kesalahan teknis dalam lukisannya, tetapi anehnya bahkan kesalahan itu justeru dipandang sebagai sesuatu yang istimewa, indah, khusus, dan lain sebagainya. Ia tidak perlu cemas seperti seorang arsitek yang gagal dalam mewujudkan bangun arsitekturnya karena konstruksinya salah sehingga terancam ambruk.
Tipe-tipe penelitian sosial (Sotirios Sarantakos, 1998: 6-8) yang bisa diadobsi ke dalam penelitian seni: Penelitian dasar (Basic research), Penelitian terapan (Applied research), Penelitian kualitatif (Qualitative research), Penelitian deskriptif (Descriptive research), Penelitian klasifikasi (Classification research), Penelitian komparatif (Comparative research), Penelitian eksploratoris (Exploratory research), Penelitian eksplanatoris (Explanatory research), Penelitian kausal (Causal research), Penelitian uji-teori (Theory-testing research), Penelitian pengembangan-teori (Theory-building research), Penelitian kaji-tindak (Action research), Penelitian partisipatori-aktif (PAR: Participatory action research), dan Penelitian Kuantitatif (Quantitative research).

C. Metodologi Penelitian Seni
Dibentuk dari gabungan kata ‘metode’ (cara sistematis) dan ‘logi’ (ilmu, sains)—yang bermakna umum sebagai ilmu tentang metode dan berwujud uraian tentang metode-metode yang umum digunakan dalam melakukan penelitian ilmiah. Tetapi makna yang lebih khusus adalah semacam kerangka kerja (frame work) yang berisi antara lain tata-kerja (procedure) ilmiah. Sesuai dengan makna kedua, metodologi penelitian seni dapat digambarkan sebagai konsep besar (grand design) yang memuat rencana kerja dan semua hal terkait dengan penelitian, terutama prosedur meneliti secara ilmiah. Menurut Tejoyuwono (1991) dalam Ida Bagoes Mantra (2004: 5-6), metodologi penelitian ialah suatu ilmu tentang kerangka kerja melaksanakan penelitian yang bersistem. Metode-metode penelitian seni bisa dikaitkan dengan makna pertama dan kedua itu, maka semua pihak diharapkan bisa memahami secara benar tentang metodologi penelitian seni.
Sebenarnya kata ’metode’ tidak selalu terkait dengan proyek penelitian ilmiah saja tetapi digunakan secara sangat luas menyangkut pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya objektif, memerlukan keteraturan, dan tujuannya jelas. Metode bermakna upaya atau prosedur-prosedur yang digunakan untuk mencapai tujuan akhir tertentu. Kata method terkait dengan sejumlah sinonim seperti fashion (membentuk), mode (gaya, wahana), system (susunan, tata), technique (teknik), way (cara, jalan, langgam), dan wise (arif, bijak). Secara lebih khusus kata itu terkait dengan kata-kata: rencana, disain, skema, kerangka, modus operandi, dan praktik. Metodologi menurut arti kedua adalah kerangka kerja ilmiah yang berupa prosedur sistematis dan memenuhi kaidah-kaidah ilmu seperti masuk akal, netral, dan bijaksana.
Seniman seperti halnya seorang filsuf yang bekerja dengan pikiran sistematis, biasanya melakukan suatu proses yang cukup lengkap dalam mencipta karya seni. Jika seorang peneliti bekerja dengan mengumpulkan data melalui studi pustaka, wawancara, observasi dan lain sebagainya; maka seniman lebih banyak melakukan pengamatan langsung pada objek sebagai sumber penciptaan, atau justru melakukan kontemplasi diri dalam mencari inspirasi untuk karya seninya. Seniman perlu waktu melakukan ‘studi rasa’ sebelum mulai merancang hingga mewujudkan konsep artistiknya menjadi karya seni yang final.
Metodologi penelitian seni perlu dibangun dengan memperhatikan hakikat seni yang khusus. But Muchtar dan Soedarsono berpendapat, seni adalah aktivitas yang terjadi oleh proses cipta, rasa, dan karsa; seni memang berbeda dari sains dan teknologi, maka aspek ‘cipta’ dalam seni mengandung pengertian terpadu antara kreativitas, penemuan (invention), dan inovasi (innovation) yang kesemuanya sangat dipengaruhi oleh kepekaan rasa atau emotion, feeling (Bandem, 2005). Metodologi penelitian seni tepat digunakan untuk menjelaskan hal itu, terutama terkait dengan aspek rasio dalam setiap penelitian seni yang dekat sekali dengan aspek rasa. Perihal rasa, But Muchtar dan Soedarsono menjelaskan lebih lanjut, logika dan daya nalar mengimbangi rasa dari waktu ke waktu dalam kadar yang cukup tinggi. Rasa timbul karena dorongan kehendak naluri yang disebut ‘karsa’. Karsa dapat bersifat personal atau kolektif, tergantung dari lingkungan serta budaya masyarakat (Ibid.).
Di lingkungan bidang seni metode penelitian acapkali masih menjadi persoalan dan menimbulkan perdebatan antar para pakar dan peneliti. Tidak sedikit peneliti seakan tidak berani membangun metode penelitiannya sendiri karena merasa kurang referensi, takut salah jika ide-ide kreatifnya dianggap tidak masuk akal (logic), dan merasa tidak memiliki model yang bisa dicontohnya. Peringatan (warning) mengenai hal itu sebenarnya telah lama disampaikan Soedarsono (1999: vi) bahwa seni pertunjukan Indonesia masih memerlukan uluran tangan dari disiplin lain terutama terkait dengan pendekatan, metode, teori, konsep, dan lain sebagainya. Terkait dengan rasa prihatinnya dan untuk memberikan referensi kepada para peneliti seni, Soedarsono memberikan ilustrasi model-model penelitian seni pertunjukan dan seni rupa terutama yang menggunakan berbagai metode pendekatan (approach method): ilmu komunikasi, antropologis, sosiologis, linguistik dan filologis, arkeologis, musikologis, etnomusikologis, historis, semiotik, psikologis, metalurgis, dan multi disiplin (Ibid.: 2-11).
Penelitian seni dapat dipastikan kelak akan menemukan sendiri metode-metodenya melalui berbagai eksplorasi dan praktik-praktik penelitian baik yang langsung maupun yang menggunakan berbagai macam pendekatan. Peneliti seni harus belajar dari bidang sejarah, karena para ahli sejarah pun pernah bimbang terkait dengan penelitian-penelitian mereka; apakah sejarah merupakan ilmu pengetahuan yang otonom atau harus dipandang secara multi-dimensi; hal itu dijawab oleh Louis Gottschalk, bahwa sejarah berdimensi tiga, karena mempunyai sifat ilmu, seni, dan filsafat (Nugroho Notosusanto, 1975: v). Sejarah dapat dipandang sebagai metode yang berpegangan kepada aturan-aturan keras untuk menetapkan fakta yang dapat diverifikasi. Sejarah bisa dikategorikan sebagai penyajian dan cerita, maka sejarah menuntut adanya imajinasi, selera sastra, dan ukuran-ukuran kritis. Tetapi, sejarah juga bisa digunakan untuk menjelaskan tentang hidup, untuk itu ia menuntut adanya wawasan dan pertimbangan seorang filsuf (Ibid.).

D. Paradigma Baru Penelitian Seni
Peneliti pada dasarnya seperti seorang penjelajah yang harus mengembara ke seluruh pelosok dunia dan bahkan hingga ke dunia ’lain’ penuh misteri baginya. Maka ia harus percaya diri, cerdas dan berpengetahuan, berani menghadapi berbagai tantangan, penuh ide kreatif, memiliki ketrampilan teknis, berwatak jujur, sabar dan rendah hati, serta berhati mulia. Jika dibandingkan dengan jenius, orang yang sangat pintar di atas rata-rata umum; peneliti adalah seseorang yang memiliki tugas utama memecahkan problem-problem yang tidak sederhana. Peneliti dan jenius memiliki banyak kesamaan karakter dan tugas-tugasnya; tentang jenius, James Joyce menyatakan: ’A man of genius makes no mistakes. His errors are volitional and are the portals of discovery’ (Buzan dan Keene, 1994: 8). Bagi seorang peneliti terutama pemula, sangat penting untuk membangun karakter seperti tersebut di atas dan jika perlu tidak usah malu berperilaku seperti seorang jenius.
Peneliti pemula harus membangun rasa percaya diri sedemikian rupa melalui berbagai caranya masing-masing. Sebagian cukup belajar dari koleganya yang telah berpengalaman meneliti, sebagian belajar dari buku-buku, dan yang lain mencoba-coba (trial and error) hingga mengerti dan mampu melaksanakan penelitian. Semua usaha itu dapat dilakukan jika peneliti mengerahkan segala potensinya seperti energi, memori, kreativitas, dan lain sebagainya. Albert Einstein, adalah contoh jenius dalam bidang fisika yang mengajukan teorinya melalui rumus E = mc² (terdapat kaitan antara energi, massa, dan kecepatan cahaya dalam realitas fisik dunia) yang tampak sederhana, tidak rumit, dan seakan mudah sekali dipahami orang. Rumus itu oleh Buzan dan Keene (Ibid.) diadobsi menjadi e M = C∞ (energi plus memori menghasilkan kreativitas tak terhingga) untuk tujuan menyadarkan dan mengajarkan kepada semua orang agar mau mengoptimalkan potensi diri menjadi jenius setara dengan Einstein.
Peneliti dan jenius dalam usahanya menemukan sesuatu atau bekerja secara kritis, sama-sama harus mengembangkan daya kreasinya. Kreativitas (creativity = creative + activity) bermakna aktivitas kreatif. Kata kreatif bersumber dari kata creare (bhs. Latin) yang berarti mencipta. Kreativitas (perihal kreatif) adalah kualitas yang paling banyak dikaitkan dengan jenius yang unggul dalam menggunakan kekuatan rasio dan memorinya untuk menghasilkan karya-karya besar baik dalam bidang sains maupun seni. Sesungguhnya ada banyak definisi kreativitas, antara lain menurut Kreitner dan Kinicki (2001: 364-5), kreativitas didefinisikan sebagai suatu proses yang menggunakan imajinasi dan ketrampilan dalam mengembangkan sebuah produk, benda, proses, atau pikiran yang baru dan unik. Kreativitas adalah proses dalam mengembangkan sesuatu yang baru atau unik. Ada lima tahapan proses kreatif: (1) persiapan, (2) konsentrasi, (3) inkubasi, (4) iluminasi, dan (5) verifikasi.
Peneliti bisa banyak belajar dari para seniman, jenius, dan penemu-penemu sepanjang sejarah. Leonardo da Vinci (1452-1519) adalah jenius nomor satu dari seratus jenius sepanjang masa menurut penelitian Buzan dan Keene (Ibid.: 236); ia terkenal sebagai pelukis Mona Lisa, pemahat, musisi yang mencipta instrumen, komposisi, dan memainkan musik; tetapi juga dikenal luas dalam berbagai lapangan ilmu-ilmu kealaman seperti botani, geologi, geografi, dan anatomi. Sebagai insinyur Leonardo dikenal dalam bidang hidraulik, penggagas mesin untuk terbang, ilmu kemiliteran, dan akuanautika. Vincent van Gogh melukis The Starry Night (1889) yang menggambarkan malam gelap penuh bintang dan tak beraturan, lukisannya ternyata cocok dengan foto-foto kosmos yang dibawa pulang para astronaut satu abad kemudian. Fakta bahwa kondisi jagat raya sangat dinamis dan tidak kekal, maka lukisan itu cocok dengan teori-teori modern pulsar, nova, super nova, dan black hole.
Penemu serba bisa Thomas Alva Edison lahir tahun 1847 di kota Milan, Ohio, Amerika Serikat bisa dijadikan contoh. Edison adalah jenius yang semula dianggap bodoh, tetapi dapat membuktikan bahwa ide-ide kreatifnya terbukti bermanfaat besar bagi dunia. Ia hanya sempat memperoleh pendidikan formal selama tiga tahun, karena sesudah itu dikeluarkan dari sekolah oleh si guru yang menganggapnya sebagai anak dungu. Edison bukan orang pertama yang menciptakan sistem penerangan listrik, sebelumnya lampu listrik telah digunakan sebagai lampu penerangan jalan di Paris. Tetapi, Edison menyempurnakan sistem penerangan listrik dengan menciptakan bola pijar listrik agar lebih praktis digunakan pada rumah-rumah. Tahun 1882, perusahaannya mulai memproduksi listrik untuk rumah-rumah di New York, dan dalam tempo singkat sudah tersebar ke seluruh penjuru dunia. Penemuan bola lampu pijar Edison bersifat menyempurnakan dan menjawab kebutuhan masyarakat luas bukan hanya di Amerika tetapi ke seluruh dunia.
Era Klasik Abad ke-18 dalam Sejarah Musik ditandai oleh aliran Klasik Wina yang ditopang tiga komposer besar Haydn, Mozart, dan Beethoven. Mereka berjasa dalam mengembangkan simfoni dan konserto terkait dengan bentuk musik sonata. Mozart dikenal sebagai jenius atau anak ajaib karena kemampuan memori dan bakat musiknya yang sangat fenomenal sejak dini. Reputasinya sebagai musisi yang cerdik terbukti ketika Mozart mencipta musik sinfonia konsertante bergaya campuran antara simfoni dan konserto. Konserto groso kala itu sudah ditolak umum, karena pencinta musik lebih suka simfoni yang dianggap lebih homofonis dan agung. Demi memenuhi hasrat mencipta musik dengan kekuatan solistis, kontrapungtis, dan responsorial seperti konserto groso tetapi juga sekaligus memuaskan penggemarnya, maka Mozart mengambil jalan tengah tersebut. Era Romantik Abad ke-19 dimulai oleh jenius Beethoven sebagai komposer Wina paling berpengaruh sepanjang zaman. Ia memperjuangkan kebebasan atas tirani, sensorsip, penindasan, dan ekspresi artistik—usahanya diwujudkan melalui Simfoni Eroica, Overture Egmont, Opera Fidelio, dan Simfoni No. 9 yang sangat spektakuler. Beethoven menjadi ujung tombak bagi dimulainya romantikisme dalam musik yang ingin meninggalkan keseimbangan rasio dan rasa klasik menuju kebebasan ekspresi romantik. Pergolakan batin, penyelidikannya, spirit kreatif, dan cita-citanya mematahkan bentuk-bentuk tradisional klasik akhirnya tercapai. Beethoven mempelopori gaya musik yang lebih universal dengan melampaui batas-batas gaya Eropa seperti ciptaan-ciptaan Haydn dan Mozart.
Plato dan banyak filsuf lain melakukan penelitian bidang seni yang menghasilkan teori-teori seni; para seniman seperti Leonardo da Vinci bahkan melakukan penelitian terapan yang sangat penting bagi ilmu-ilmu pengetahuan lain di luar seni; kini kita banyak menyaksikan orang-orang cerdas dan gigih yang berusaha mencari terobosan dalam mengembangkan kesenian seperti Suzuki. Mereka adalah para peneliti seni yang berhasil membebaskan dirinya dari keterikatan atas paradigma lama pada masanya sendiri. Jauh sebelum para komposer dan kritikus musik berdebat tentang hakikat keindahan musik, para peneliti seni telah bekerja meletakkan dasar bagi perkembangan musik Barat. Filsuf era mistik Pythagoras melakukan eksperimen akustik dengan membanding-bandingkan secara matematis relasi nada-nada atau yang kini dikenal dengan istilah interval nada. Ia mencermati kualitas bunyi yang ternyata ada yang enak didengar (concord) dan yang lain tidak enak didengar (discord). Interval-interval temuan Penelitian seni yang menghasilkan teori atau penemuan baru bisa jadi tanpa disadari segera membentuk paradigma baru. Contohnya dalam kancah pendidikan musik, Shinichi Suzuki menghasilkan Metode Suzuki (Suzuki Violin Method) pada pertengahan abad keduapuluh yang disambut baik bukan saja di Jepang dan Asia tetapi bahkan di Amerika dan negara-negara Barat lainnya seperti Inggris, Kanada, hingga Selandia Baru. Tesis Suzuki tentang bakat, metode pembelajaran, dan filsafat pendidikan musik, dapat dikatakan mencapai tujuannya yakni merevisi pandangan klasik Barat sebelumnya. Hasil-hasil penelitian Suzuki yang pada awalnya terkesan kontradiktif dengan umum ternyata segera terbukti benar dan diakui secara luas. Menurutnya, bakat bukan turunan dari orangtua tetapi bisa diajarkan kepada murid yang sebelumnya tidak berbakat sedikitpun. Metode Suzuki bertujuan membantu semua anak tanpa terkecuali bisa belajar musik secara mudah dan sedini mungkin. Anak-anak usia pra-sekolah tanpa bakat musik, yang belum bisa membaca abjad maupun notasi musik, bisa mulai belajar musik dengan cara menirukan bunyi (imitatif). Anak-anak harus belajar musik atau seni lainnya agar mereka memiliki kepekaan rasa dan kelak menjadi orang-orang yang baik budi (fine character). Metode pembelajaran musiknya yang dinamakan Metode Ibu (Mother-tongue method) segera mendapatkan respon positif dari para orangtua di Jepang. Di bawah semua upayanya melakukan penelitian yang tak kenal lelah itu, Suzuki perlu membangun fondasi pemikirannya tentang pendidikan musik melalui filsafatnya Nurtured by Love yang segera menjadi acuan banyak guru musik di seluruh dunia, mereka tergerak turut mengubah paradigma lama kepada pembelajaran musik yang modern, alami, penuh cinta-kasih, dan menyenangkan sesuai dengan dunia anak-anak.
Penelitian musik oleh Wei Tsin Fu, pendiri ANTIM (Academy of Networked Thinking in Music), dipublikasikan sebagai Sistem Pembelajaran Musik Wei Tsin Fu yang bertujuan mencerdaskan semua orang dengan meningkatkan potensi jenial khususnya kecerdasan IQ dan EQ. Wei melakukan terobosan penting terkait dengan efisiensi belajar dan menciptakan jenius-jenius melalui musik dalam waktu singkat. Penelitian yang diklaim sendiri sebagai satu-satunya di dunia itu mulai dikembangkan di Jerman melalui penyelidikan fungsi otak selama 30 tahun. Suzuki berpengalaman sebagai musisi, guru musik, dan sebagai seorang humanitarian untuk melakukan pendekatan seni, pedagogik, sosial, dan psikologi; sedangkan Wei belajar dari kondisi fisiknya yang lemah pada waktu mudanya untuk melakukan penelitian intensif tentang fungsi otak dan musik dengan memanfaatkan laboratorium dan teknologi modern.
Kreativitas adalah kemampuan (seseorang) untuk mengenal (mengidentifikasi) masalah secara tepat dan memberikan jawaban yang tepat terhadap masalah itu (Saini KM, 2001: 26). Seorang peneliti seni pada dasarnya adalah peneliti yang sekaligus seniman atau sebaliknya, seseorang yang harus memiliki kepekaan ilmiah dan seni secara seimbang serta mampu menggunakan kemampuannya secara simultan dalam meneliti atau mencipta karya seni. Jika peneliti seni berusaha melakukan pendekatan teoretik terhadap permasalahan kesenian, maka seniman berorientasi pada realitas-realitas dalam mencipta. Saini KM (Ibid.: 49) mengatakan, bahwa kesadaran seniman adalah pikiran, perasaan, dan khayal seniman; tetapi kesadaran itu sebelumnya sudah bersinggungan dengan berbagai realitas. Para penemu, seniman, maupun peneliti seperti tersebut di atas adalah orang-orang yang selain jenius tetapi juga unggul dalam menggunakan kreatibilitas atau daya kreatifnya mengenali realitas dan memberikan solusi yang tepat.
Kreativitas biasanya dikaitkan dengan seni, ilmu pengetahuan, dan perkembangan teknologi dalam konteks mengembangkan ketiga bidang itu (Toeti Heraty Noerhadi, 1983: 10-13). Menurutnya, kreativitas adalah suatu fungsi biologis manusia yang berbeda dengan mahluk-mahluk lain seperti hewan, kreativitas didefinisikan sebagai restrukturasi kreatif, kemampuan seseorang untuk mengatasi masalah atau tatanan lama dan menggantinya dengan tatanan baru. Kemudian, Edward de Bono (1996: i) berpendapat, untuk menghasilkan ide-ide baru seseorang harus menggunakan kekuatan berpikirnya yang ’lain’ (The power of lateral thinking). Seseorang tidak mungkin bisa menemukan ide-ide kreatif jika hanya mengandalkan cara berpikir yang sekalipun logis tetapi tetap linear. Ia memberikan ilustrasi seperti berikut:
If I were to sit down and say myself, ”I need a new idea here (insert actual need area),” what should I do?
I could do research and try to work out a new idea logically.
I could borrow or steal an idea used by someone else.
I could sit and twiddle my thumbs and hope for inspiration.
I could ask a creative person to produce an idea for me.
I could hastily convene a brainstorming group.
Or I could quietly and systematically apply a deliberate technique of lateral thinking (such as the random word technique), and in 10 to 20 seconds I should have some new ideas.

Paradigma baru seni atau khususnya dalam penelitian seni hanya bisa dilahirkan oleh para seniman, pendidik, dan peneliti bidang seni jika mereka terus-menerus menggunakan persepsinya terhadap lingkungan dan daya kreativitasnya dalam bekerja untuk melampaui batas-batas paradigma lama yang mulai dirasakan tidak cocok lagi. Dunia pendidikan seni, sebagai contoh, sudah saatnya memikirkan kembali paradigmanya yang selama ini digunakan, masih cocok dengan kondisi dan dinamika sekarang atau perlukah diganti dengan yang baru. Untuk itu peneliti seni sebaiknya belajar dari sejarah paradigma ilmu pengetahuan (termasuk bidang penelitian) sebelum menyadari sikap paradigmatiknya, atau memilih paradigma barunya. Sejarah itu meliputi Renaisans abad ke-16 dan ke-17 yang melahirkan paradigma rasionalisme versus empirisme; kemudian puncak prestasi ilmu pengetahuan abad ke-19 yang melahirkan paradigma positivisme dan bahkan sebagian masih diagung-agungkan hingga kini; abad ke-20 yang dianggap memberikan jawaban melalui fenomenologi dan metode keilmuan, atau kini dengan antipositivisme sebagai paradigma baru yang berusaha mengoreksi prinsip-prinsip mencapai kebenaran sebelumnya. Semua paradigma itu sejak mula hingga kini dikembangkan demi mencapai kebenaran ilmiah semata.
Paradigma adalah semacam ”payung fantasi” yang menaungi setiap orang, terutama ilmuwan, seniman, dan peneliti seni—yang secara sadar maupun tidak sadar menggunakan sebagai landasan atau pedoman berpikir, bekerja, dan mengambil keputusan. Dalam konteks menjelaskan pemikiran Thomas Samuel Kuhn, Gahral Adian Donny (2000: 86) mengatakan, paradigma menjadi kerangka konseptual dalam mempersepsi semesta. Artinya, tidak ada observasi yang netral. Semua pengalaman perseptual kita selalu dibentuk oleh kerangka konseptual yang kita gunakan. Thomas Kuhn berpendapat, perkembangan ilmu pengetahuan terjadi secara revolusioner, artinya paradigma lama (yang dahulu juga memperbarui paradigma sebelumnya) selalu ditantang oleh adanya anomali (kondisi ketidakcocokan antara fenomena dengan paradigma yang sedang berlangsung) yang melahirkan paradigma baru. Donny memberikan contoh, Aristoteles melihat gerak benda jatuh sebagai garis lurus, sedangkan Newton mempersepsinya sebagai gerak pendulum. Menurut Kuhn, keduanya sama-sama melihat alam semesta secara ontologis tetapi menggunakan paradigma yang berbeda (Ibid.).
Dalam seni khususnya musik, Mozart dan Beethoven telah menjadi sedikit contoh dari mereka sebagai jenius-jenius kreatif yang mampu melahirkan paradigma baru musik pada zamannya masing-masing. Penelitian Shinichi Suzuki di Jepang bahkan kemudian diterima secara mendunia sekaligus melahirkan paradigma baru sebagai alternatif daripada model-model pendidikan musik Barat yang lebih mapan sebelumnya. Mozart, Beethoven, dan Suzuki; semuanya berhasil melampaui anomalinya masing-masing dan melalui karya-karya monumentalnya telah membentuk paradigma baru. Jika Mozart mampu merespon selera zamannya dengan cerdas melalui karya sinfonia konsertante, maka lebih dari itu Beethoven berprestasi melahirkan musik bergaya universal lebih dari karya-karya Haydn dan Mozart serta melampaui batas-batas kultur Eropa. Ia juga berani menunjukkan persepsinya terhadap Napoleon sebagai Kaisar Perancis yang dianggapnya ’keterlaluan’ melalui Simfoni Eroica.

E. Penutup
Seni adalah sains yang bersifat ilmu dan filsafat, bahkan kini sangat dekat dengan teknologi. Maka, penelitian seni adalah penelitian ilmiah yang bersifat luas dan bahkan bisa dilaksanakan secara modern menggunakan alat-alat bantu teknologi. Metodologi dan metode-metode penelitian seni akan berkembang jika atmosfer penelitian di lingkungan PTSn ditumbuhkan secara harmonis dengan dharma pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat.
Paradigma baru yang memandang seni sebagai sains perlu terus dikembangkan agar menjadi landasan berpikir yang bebas dan memberikan perasaan merdeka para peneliti seni baik akademisi maupun seniman. Paradigma baru penelitian seni bisa dibangun di atas kebebasan berpikir dan berkreasi seniman, pendidik seni, dan peneliti seni. Oleh karena itu diperlukan pembebasan diri dari model-model, sistem berpikir, atau tradisi-tradisi ilmiah dalam lingkup kesenian secara bertanggung-jawab. Pembebasan itu bukan semata-mata harus mengganyang paradigma lama dan sekadar mengganti dengan yang baru; tetapi seniman, pendidik seni, dan peneliti seni perlu melakukan perenungan berulangkali terkait dengan kemungkinan adanya anomali-anomali, kemudian baru bekerja untuk menghasilkan sesuatu yang memang baru dan cocok dengan idealismenya sekarang.
Paradigma baru penelitian seni harus diupayakan oleh semua pihak, seperti seniman, pendidik seni, dan peneliti seni khususnya di lingkungan PTSn agar ilmu pengetahuan seni berkembang serta melahirkan karya-karya seni sebagai model-model yang berguna bagi masyarakat. Teori perkembangan ilmu pengetahuan Thomas Kuhn yang menyatakan paradigma baru menggantikan paradigma lama setelah mempertimbangkan anomali-anomali, ternyata sesuai dengan hakikat-hakikat perkembangan seni khususnya musik. Jauh sebelum Kuhn, para komposer telah berkarya atas dasar prinsip-prinsip tersebut dengan menggunakan kreativitas mereka secara sangat hebat. Mereka adalah seniman sekaligus peneliti, sekalipun hasil kerjanya berupa karya-karya seni dan bukan laporan penelitian.

Daftar Pustaka
Anh, To Thi. 1984. Nilai Budaya Timur dan Barat: Konflik atau Harmoni?, diterjemahkan oleh John Yap Pareira, Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Bandem, I Made. 2005. “Kekhasan Penelitian Bidang Seni”, makalah ilmiah disajikan dalam Forum Diskusi Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Bidang Seni, DP3M Ditjen Dikti Depdiknas 7-9 September 2005 di Denpasar-Bali.
Bono, Edward de. 1996. Serious Creativity: Using Power of Lateral Thinking to Create New Ideas, London: HarperCollinsBusiness.
Buzan, Tony and Raymond Keene, 1994. Buzan’s Book of Genius: And how to unleash your own, London: Stanley Paul.
Donny, Gahral Adian. 2000. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Teraju.
Gie, The Liang. 2000. Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIB).
Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah: Pengantar Metode Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto dari judul asli Understanding History: A Primer of Historical Method, 2nd edition 1969, Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia.
Heraty Noerhadi, Toeti. 1983. ”Kreativitas, Suatu Tinjauan Filsafat” dalam Kreativitas, S. Takdir Alisjahbana (ed.), Jakarta: Akademi Jakarta dan Penebit PT Dian Rakyat.
Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, Yogyakarta: Penerbit ”Paradigma”.
Kreitner, Robert and Angelo Kinicki. 2001. Organizational Behavior, 5th Edition, New York: Irwin/McGraw-Hill.
Lasiyo, 2004. “Logika Dalam Penelitian”, makalah pada Program Pra S3 Ilmu Filsafat Angkatan IV Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Mantra, Ida Bagoes. 2004. Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Artikel ini telah dimuat di Harmonia Vol. VII no2 /2007

Read More ..

Peranan Komunitas Mangkunegaran dalam Pengembangan Tari Gaya Mangkunegaran

Malarsih
Dosen Jurusan Sendratasik FBS Universitas Negeri Semarang

Abstrak

Tari gaya Mangkunagaran merupakan jenis tari klasik Jawa yang masih banyak digunakan untuk berbagai kepentingan oleh masyarakat pendukungnya. Komunitas Mangkunagaran diprediksi mempunyai andil besar dalam menjaga keeksistensian tari gaya Mangkunagaran tersebut. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini, adalah bagaimana peranan komunitas Mangkunagaran dalam memperkembangkan tari gaya Mangkunagaran. Metode penelitian yang diterapkan adalah kualitatif deskriptif. Lokasi penelitian, Pura Mangkunagaran. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Teknik analisis data yang digunakan adalah analilisis interaktif mengikuti alur analisis Miles dan Huberman.



Hasil penelitian menunjukkan, komunitas Mangkunagaran berperan penting dalam usaha memperkembangkan tari gaya Mangkunagaran. Usaha memperkembangkan utamanya berkait dengan fungsi dan materi tari gaya Mangkunagaran, yaitu tari itu sebagai sarana upacara perkawinan bagi masyarakat umum, penyambutan tamu, pariwisata, festival, dan pertukaran budaya dengan negara sahabat. Perkembangan materi dilakukan dengan cara mencipta materi tarian baru namun pijakan garapannya menggunakan sebagian dari unsur tari gaya Mangkunagaran. Selain itu, juga melakukan pelatihan-pelatihan pada masyarakat umum. Berdasar hasil penelitian, disarankan: (1) hendaknya komunitas Mangkunagaran dalam memperkembangkan tari gaya Mangkunagaran tetap menggunakan pijakan tari gaya Mangkunagaran yang asli, (2) perlu adanya regenerasi untuk pelatih dan juga penari tari gaya Mangkunaran yang loyal terhadap perkembangan tari gaya Mangkunagaran.

Kata kunci: peranan, gaya tari, komunitas, fungsi tari, interaksi.


A. Pendahuluan
Mangkunagaran adalah sebuah pemerintahan setingkat kadipaten, akan tetapi konsep kekuasaan yang digunakan pada saat itu berorientasi pada konsep raja. Untuk itu ia dalam menjalankan pemerintahannya tidak ada bedanya dengan pemerintahan yang dipegang oleh raja secara langsung. Senyatanya ia oleh rakyatnya juga dianggap sebagai raja, dalam arti orang yang didewakan dengan kekuatan menghukum dan menguasai seluruh dunia (Moertono dalam Suharji, 2001: 45). Dengan inilah Pura Mangkunagaran mempunyai ciri tersendiri yang sangat berbeda dengan kadipaten-kadipaten lain.
Dalam perkembangan lebih lanjut semenjak pemerintahan Sri Mangkunagara VII Pura Mangkunagaran juga mempunyai kesenian dengan ciri tersendiri yang berbeda dengan daerah-daerah lain, dan juga berbeda dengan keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta. Kesenian yang dimaksud adalah seni tari, yang sampai saat sekarang orang mengenalnya dengan sebutan tari gaya Mangkunagaran. Wujud tarinya merupakan perpaduan antara tari gaya Yogyakarta dengan tari gaya Surakarta, yang memang berdasar sejarahnya tari tersebut diciptakan oleh para penari Mangkunagaran yang mempelajari tari gaya Yogyakarta dan tari gaya Surakarta.
Dengan ini lah Pura Mangkunagaran memiliki jenis tari khusus yang dianggap sebagai milik Mangkunagaran. Tari ini memang oleh pihak Pura Mangkunagaran sendiri dan atau masyarakat umum biasa dikenal dengan sebutan tari gaya Mangkunagaran. Tari gaya Mangkunagaran mempunyai gerak khas, yang dilihat dari jenisnya ada jenis tari putri, tari putra halus, dan tari putra gagah (Suharti, 1990: 91). Pembedaan ketiga jenis tari tersebut terdapat pada volume geraknya. Volume gerak tari putri adalah sempit, tari putra halus adalah sedang, dan tari putra gagah adalah lebar. Unsur kesamaan dari ketiga jenis tari tersebut terdapat pada sikap dan teknik geraknya.
Tari gaya Mangkunagaran mestinya sampai saat sekarang masih dikenal oleh masyarakat pendukungnya secara umum. Namun demikian karena perubahan kondisi sosial budaya dan makin banyaknya jenis kesenian yang hidup saat ini, mungkin tari gaya Mangkunagaran saat sekarang hanya menonjol dikalangan Pura atau komunitas Mangkunagaran saja.
Sekalipun demikian kita masih mengerti bahwa, masyarakat pendukung masih ada yang mempelajari dan bahkan juga masih ada yang menjadikannya sebagai sarana berksenian sehari-hari, atau setidaknya digunakan sebagai sarana berkesenian pada acara-acara tertentu. Ini semua tampaknya di samping karena diambil nilai estetika serta keluhungannya yang dirasa sangat bermanfaat, juga karena Pura Mangkunagaran beserta komunitasnya sendiri masih aktif tetap melestarikan seni tari gaya Mangkunagaran ini. Keaktifan pelestarian itu salah satunya dapat kita lihat dengan masih digunakannya tari gaya Mangkunagaran sebagai sarana upacara-upacara ritual di Pura Mangkunagaran serta keperluan-keperluan lain baik di dalam maupun di luar Pura Mangkunagaran.

Berkait dengan itu semua, tampaknya menjadi daya tarik tersendiri untuk kita kaji secara lebih jauh mengenai peranan komunitas Mangkunagaran sendiri dalam usaha memperkembangkan tari gaya Mangkunagaran ini sehingga tari gaya Mangkunagaran sampai saat sekarang keberadaannya masih tetap diakui oleh masyarakat umum. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah “Bagaimana peranan komunitas Mangkunagaran dalam memperkembangkan tari gaya Mangkunagaran?”
Berdasar pada rumusan masalah yang dikemukakan, dapat dikemukakan tujuan dari penelitian ini, yakni untuk menggambarkan peranan komunitas Mangkunagaran dalam memperkembangkan tari gaya Mangkunagaran. Sesuai dengan tujuan penelitian yang dikemukakan, maka penelitian ini diharapkan mempunyai kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yang dapat dikemukakan sebagai berikut :
1) Kegunaan teoritis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan untuk dikaji lebih dalam mengenai peranan komunitas Mangkunagaran dalam memperkembangkan tari gaya Mangkunagaran.
2) Kegunaan praktis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memperoleh masukan berupa informasi khususnya mengenai peranan komunitas Mangkunagaran dalam memperkembangkan tari gaya Mangkunagaran, untuk kemudian dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk keperluan berbagai hal yang berkait dengan usaha memperkembangkan kesenian daerah.
Peranan adalah pola kelakuan yang dikaitkan dengan status atau kedudukan. Status dan peranan individu maupun kelompok senantiasa muncul dalam pelbagai bentuk perikelakuan. Di dalam kehidupan sehari-hari, manusia juga mempunyai pelbagai peranan, yang tidak jarang saling bertentangan. Unsur-unsur pokok dari suatu peranan adalah: (a) peranan yang diharapkan dari masyarakat, (b) peranan sebagaimana dianggap oleh masing-masing individu, dan (c) peranan yang dijalankan di dalam kenyataan (Soekanto, 1993: 54-55). Peranan merupakan aspek dinamis kedudukan. Payung Bangun (dalam Taneko, 1994: 136) mengemukakan, kedudukan dalam pelapisan sosial mempunyai pengaruh dalam perikehidupan para anggota masyarakat. Pengaruh tersebut setidak-tidaknya terlihat dalam tingkah laku, sosialisasi, partisipasi dalam kehidupan kemasyarakatan dan gaya hidup.

Menurut Soekanto ( 1990: 268) apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan suatu peranan. Keduanya tak dapat dipisah-pisahkan, karena yang satu tergantung dengan yang lain dan sebaliknya. Tak ada peranan tanpa kedudukan atau kedudukan tanpa peranan. Sebagaimana halnya dengan kedudukan, peranan juga mempunyai dua arti. Setiap orang mempunyai macam-macam peranan yang berasal dari pola-pola pergaulan hidupnya. Hal itu sekaligus berarti bahwa peranan menentukan apa yang diperbuatnya bagi masyarakat atau kelompok masyarakat atau komunitas suatu masyarakat serta kesempatan-kesempatan apa yang diberikan oleh masyarakat atau kelompok masyarakat atau suatu komunitas kepadanya.
Tidak berbeda dengan pengertian peranan yang telah diuraikan secara panjang lebar di atas, dijelaskan pula oleh Garna (1996: 172) bahwa, jika berbicara mengenai peranan yang berkait dengan hubungan antar individu atau kelompok masyarakat atau masyarakat secara umum, berarti yang dimaksudkan adalah suatu peranan sosial. Di sini mengandung pengertian sebagai suatu pola tingkah laku yang diharapkan, yang terkait dengan status sosial seseorang dalam suatu kelompok atau dalam suatu situasi sosial tertentu. Masyarakat itu menurut Garna dilihat sebagai suatu sistem interaksi sosial yang pola interaksinya berdasar pada ketentuan timbal balik para pelaku sosialnya. Setiap status itu memiliki hak dan kewajibannya, karena itu seseorang akan memainkan peranannya dalam melaksanakan hak dan kewajiban tersebut. Dengan demikian status dan peranan adalah dua cara yang terkait erat serta saling tergantung untuk menunjukkan suatu situasi yang sama.

Berkait dengan pengertian peranan adalah pengertian tentang komunitas dalam hubungannya dengan peranan Komunitas Mangkunnagaran dalam memperkembangkan tari gaya Mangkunagaran. Dikemukakan oleh Osborn dan Neumeyer dalam Taneko (1993: 59) bahwa komunitas lebih bisa dimengertiÿÿebÿÿaiÿÿuatuÿÿelompok sosial yang dapat dinyatakan sebagai “masyarakat setempat”, suatu kelompok yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu dengan batas-batas tertentu pula, yang kelompok itu dapat memenuhi kebutuhan hidup dan dilingkupi oleh perasaan kelompok serta interaksi yang lebih besar di antara para anggotanya. Dengan demikian pemahaman terhadap komunitas Mangkunagaran di sini setidaknya bisa dimengerti adanya perasaan kelompok sesama orang Mangkunagaran sekalipun untuk saat sekarang bisa tinggal berjauhan dan tidak harus selingkup.

Lepas dengan konsep atau pengertian tentang peranan dan komunitas, perlu dipaparkan pula di sini tentang konsep tari berpijak dari difinisi dan pengertian tari yang dikemukakan oleh para ahli tari. Menurut Lois Ellfelat (1977: 3) yang dimaksud dengan tari, adalah gerak-gerak yang mengandung daya hidup, indah, dan kadang-kadang aneh. Dalam banyak hal ia menggambarkan gerakan-gerakan yang direncanakan secara ritmis. Soedarsono (1976 : 10) berpendapat bahwa tari adalah ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan dengan gerak-gerak ritmis yang indah. Curt Sachs (1975 : 3) mengemukakan tari adalah gerak yang ritmis. Berpijak dari pendapat para tokoh tari tersebut, Najamuddin (1983: 13) akhirnya berpendapat bahwa, pada prinsipnya tari mempunyai elemen yang mendasar, yakni gerak, ritme, dan keindahan. Dalam bahasa yang lain Najamuddin mengungkapkan, tari adalah tekanan emosi dalam tubuh dan ekspresi jiwa manusia yang diproyeksikan melalui keteraturan gerak tubuh yang ritmis serta indah yang disesuaikan dengan irama iringan musik di dalam suatu ruang dan waktu tertentu.

Tari tidak akan dapat dipisahkan dari gerak. Dikatakan demikian, karena substansi baku dari tari adalah gerak (Soedarsono, 1976 : 31). Gerak yang dimaksud di sini adalah gerak-gerak yang telah mendapat pengolahan secara khusus berdasarkan perasaan, fantasi, persepsi, interpretasi atau gerak-gerak yang merupakan hasil dari perpaduan pengalaman estetis dengan intelektualitasnya. Dari penelaahan ini dapat dijelaskan bahwa tari adalah gerak-gerak yang telah digayakan (distilir) dan ritmis. Gerak-gerak yang telah digayakan ada dua macam bentuk. Pertama gerak murni, yaitu gerak dari hasil olahan gerak wantah yang dalam pengungkapannya tidak memperhitungkan pada gerak tarinya saja. Kedua gerak maknawi, yaitu gerak wantah yang telah diolah menjadi suatu gerak tari yang dalam pengungkapannya mengandung pengertian atau maksud, di samping keindahan gerak tarinya. Selanjutnya, Sasmintamardawa (1983:9) menjelaskan bahwa tari merupa-kan salah satu cabang seni yang dilukiskan dalam bentuk gerak yang berirama, serta dipancarkan menggunakan ekspresi muka yang disesuaikan dengan isi atau maksud yang diungkapkan dalam tari. Jadi tari mengandung tiga unsur pokok atau aspek dasar, yaitu wiraga, wirama, dan wirasa. Wiraga adalah gerak seluruh anggota badan yang serasi antara sikap gerak, perubahan gerak, dan perpindahan geraknya. Wirama adalah gerak yang teratur dan selaras dengan pola iringan atau musik. Wirasa adalah persesuaian antara wiraga dengan ekspresi dalam mengungkapkan isi tari yang dibawakan.
Dalam cakupan yang lebih luas, di dalam suatu tampilan tari, dikenal adanya gaya tari. Pengertian gaya secara umum mengacu pada pengertian kesenian yang menampilkan ciri-ciri individual maupun kelompok, yang dihasilkan dalam periode tertentu dan kawasan geografis tertentu. Dalam pengertian ini dapat dimengerti bahwa, gaya berarti cara-cara yang tidak sama yang membedakan dan membawa ciri antara satu dengan yang lain (Murgiyanto, 1985: 23).

Pada umumnya kata gaya dipergunakan dalam tiga aspek, yaitu gaya perseorangan, gaya zaman, dan gaya nasional kebangsaan atau kedaerahan (Sumaryo, 1978: 69). Namun gaya dapat merupakan sifat tersendiri dari perwujudan seni yang terlepas dari penilaian-penilaian estetis yang dipakai untuk menghasilkan seni, dan juga terlepas dari tujuannya. Apakah seni itu indah atau tidak indah bukanlah masalah. Gaya dalam seni biasanya ditentukan dengan tiga macam kriteria, yaitu : 1) gaya dalam tempo, adalah sifat/ watak seni yang menunjukkan persamaan suatu waktu tertentu dalam sejarah. Misalnya di Indonesia ada seni waktu penjajahan Belanda, Jepang, dan zaman perjuangan tahun ’45; 2) gaya daerah, adalah sifat-sifat seni yang menunjukkan daerah tertentu, seperti di Indonesia terdapat gamelan Jawa, Bali, Sunda dan sebagainya; 3) gaya perseorangan (individu) adalah sifat-sifat dari seni yang menunjukkan seorang pencipta atau pelaku tertentu yang terlepas dari tanda-tanda gaya dalam tempo maupun gaya kedaerahan atau nasional (Pasaribu, 1983: 2-3).

Dalam hubungannya dengan itu yang dimaksud dengan Gaya tari di sini adalah sifat pembawaan tari, menyangkut cara-cara bergerak tertentu yang merupakan ciri pengenal dari gaya yang bersangkutan. Misalnya, dapat dibedakan gaya Yogyakarta dan gaya Surakarta karena ada sejumlah gerak khas terdapat dalam tari Yogyakarta yang tidak terdapat dalam tari Surakarta, dan demikian pula sebaliknya (Sedyawati, 1981: 4). Dengan demikian pula pengertian tari gaya Mangkunagaran di sini bisa dimengerti sebagai adanya ciri yang khas yang ada dan melekat pada tari gaya Mangkunagaran dan tidak dimiliki sama persis oleh gaya tari di luar gaya Mangkunagaran.

B. Metode
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Lokasi penelitian, sasaran kajian, teknik pengambilan data, tekik analisis data, dan keabsahan data sebagai berikut :
1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah Mangkunagaran Surakarta. Alasan pemilihan tempat ini karena Tari Gaya Mangkunagaran adalah berada/ milik istana Mangkunagaran yang banyak digunakan untuk kepentingan Pura Mangkunagaran. Selain itu Mangkunagaran dianggap sebagai domisili mayoritas komunitas Mangkunagaran yang nota bene sebagai pendukung seni budaya Mangkunagaran termasuk seni tari gaya Mangkunagaran ini.
2. Sasaran Kajian
Sasaran kajian dalam penelitian ini adalah mengenai peranan komunitas Mangkunagaran dalam memperkembangkan tari gaya Mangkunagaran. Tari gaya Mangkunnagaran di sini dalam fokus pengembangan fungsi dan pengembangan materi termasuk penyebarluasan materi.

3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan dokumentasi. Dalam wawancara ini yang diwawancarai adalah sebagian dari para kerabat dan abdi dalem yang terlibat dalam struktur organisasi dan aktif dalam kepengurusan di Pura Mangkunagaran serta sebagian dari komunitas Mangkunagaran yang tidak ikut terlibat secara langsung dalam struktur organisasi resmi di Pura Mangkunagaran.
Observasi dilaksanakan saat latihan dan persiapan serta pementasan tari gaya Mangkunagaran berlangsung di Pura Mangkunagaran. Selain itu observasi juga dilakukan saat para abdi dalem yang berhubungan dengan pengembangan seni tari gaya Mangkunagaran melakukan kegiatan sehari-hari sesuai dengan tugasnya.
Dokumentasi diambil dari gambar-gambar, catatan-catatan, dan rekaman masa lalu yang berkait dengan kegiatan di Pura Mangkunagaran dalam hubungannya dengan pementasan tari gaya Mangkunagaran di Pura Mangkunagaran.

4. Analisis Data dan Keabsahan Data
Analisis data yang diterapkan adalah analisis interaktif sebagaimana dilakukan oleh Miles dan Huberman dalam Rohidi (1992). Proses kerja analisisnya dimulai dari pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan Verifikasi/ penarikan kesimpulan. Keabsahan data dilakukan dengan cara melakukan kroscek data dari hasil data yang dikumpulkan oleh tim, yaitu ketua dan anggota sebagai bentuk triangulasi data dan kemudian ditunjukkan kepada informan/ subjek penelitian agar dicermati kebenarannya. Selain itu dilakukan pula konsultasi dengan para pakar agar kebenaran data-data tersebut dapat dipertanggung-jawabkan secara akademik sampai hasil penelitiannya. Semua ini ditempuh agar peneliti betul-betul menggunakan data-data yang benar, cermat terhadap setiap data yang didapat, sumber datanya jelas, dan tidak salah menginterpretasi data.


C. Hasil dan Pembahasan
Pada sesi bagian hasil penelitian dan pembahasan ini, antara hasil penelitian dan pembahasan tidak di pisah. Di sini mengandung pengertian, pembahasan hanya akan tampak implisit dalam uraian hasil penelitian tersebut. Berikut adalah hasil penelitian dan pembahasan berkait dengan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, yakni bagaimana peranan komunitas Mangkunagaran dalam mengembangkan tari gaya Mangkunagaran, baik berkait dengan fungsi maupun materi.
1. Pengembangan Fungsi Tari
Dalam usaha memperkembangkan fungsi tari gaya Mangkunagaran agar tari gaya Mangkunagaran dapat dimanfaatkan oleh masyarakat seluas-luasnya, pihak Pura Mangkunagaran menyerahkan sepenuhnya pada komunitas Mangkunagaran sendiri utamanya melalui sub struktur Pura Mangkunagaran yang diserahi mengurusi bidang seni budaya. Sub struktur seni budaya yang langsung mengurusi seni tari itu sendiri adalah Reksa Budaya. Pihak Reksa Budaya tidak mungkin bisa bekerja sendiri tanpa melibatka pihak lain atau sub struktur yang lain dalam “pemerintahan Pura mangkunagaran”. Di dalam struktur Reksa Budaya ada sub bidang yang disebut Langen Praja. Pada sub bidang Langen Praja ini lah seni tari gaya Mangkunagaran ditumbuh-kembangkan lebih luas.

Usaha Langen Praja memperkembangkan tari gaya Mangkunagaran tersebut, beberapa di antaranya dilakukan dengan cara, yang semula tari gaya Mangkunagaran hanya dipergunakan atau difungsikan untuk upacara-upacara adat di dalam Pura, seperti jumenengan, suran, dan perkawinan, saat sekarang telah diperkembangkan misalnya untuk sajian wisata sekalipun sedang tidak ada upacara adat resmi di Pura. Selain itu saat sekarang di luar Pura, tari gaya Mangkunagaran jauh lebih banyak dipergunakan oleh masyarakat, seperti untuk kepentingan upacara perkawinan, tontonan atau hiburan, festival, dan juga pertukaran budaya.
Bergeser dan berkembangnya fungsi tari gaya Mangkunagaran yang semula hanya dipergunakan untuk kepentingan upacara di Pura dan sekarang telah melebar untuk berbagai kepentingan baik di dalam Pura maupun di luar Pura, membuktikan bahwa tari gaya Mangkunagaran itu benar-benar telah mengalami perkembangan fungsi. Berkembangnya fungsi ini bisa menjadi lebih luas tentunya karena tari gaya Mangkunagaran oleh komunitas atau para pendukungnya bisa digunakan untuk berbagai kepentingan.

Dalam pemikiran lebih luas dapat dimengerti bahwa, tari gaya Mangkunagaran itu sampai dimanfaatkan oleh masyarakat umum tentu tidak lepas dari peranan komunitas Mangkunagaran dalam memperkembangkan seni tari gaya Mangkunagaran itu setidaknya dari sisi fungsinya. Buktinya dari fungsi ritual di Pura bisa digunakan juga untuk fungsi ritual bagi masyarakat umum. Di sini pihak Pura membuka luas kepada masyarakat umum tentang apa yang dimiliki oleh Pura untuk dimiliki pula oleh masyarakat umum. Dari segi materi tari yang disajikan, tentunya juga tidak lepas dari peranan warga komunitas Mangkunagaran utamanya para penari atau pelatih tari yang berjasa sampai materi itu bisa disebarluaskan ke masyarakat umum.
Masih ada hubungannya dengan penggunaan tari itu sebagai upacara perkawinan baik di dalam Pura maupun di luar Pura sebagai sesuatu yang bersifat sakral, adalah unsur hiburan atau tontonan yang melekat pada sajian tari itu. Di sini mengandung arti bahwa selain tari itu disajikan untuk kepentingan upacara yang diambil kesakralannya, juga dibalik kesakralan itu ada aspek lain yang melekat pada tari itu, yaitu keindahan untuk dinikmati oleh penikmat atau penonton. Di luar Pura utamanya di lingkungan masyarakat umum, kesakralan itu justru tidak terlalu penting. Kepentingan masyarakat umum menggunakan tari ini justru diutamakan sebagai tontonan atau hiburan.

Selain tari gaya Mangkunagaran difungsikan untuk berbagai kepentingan seperti untuk kepentingan upacara-upacara tertentu yang bersifat sakral, suguhan wisata, dan hiburan atau tontonan seperti yang telah dikemukakan di atas, tari gaya Mangkunagaran ini juga banyak dimanfaatkan oleh komunitas Mangkunagaran dan para pendukung budaya Mangkunagaran untuk festival dan pertukaran budaya. Ini dilakukan oleh komunitas dan para pendukung budaya Mangkunagaran karena seni tari gaya Mangkunagaran itu dilihatnya sebagai sesuatu seni tari yang indah dan enak dinikmati, dapat menyentuh rasa bagi para pemirsa, membangkitkan imajinasi, dan merupakan suatu ekspresi budaya masyarakat yang bernilai.


2. Pengembangan dan penyebarluasan materi tari

Dalam hal materi tari, komunitas Mangkunagaran juga banyak me-manfaatkan gaya luar Mangkunagaran dikembangkan menjadi gaya Mangkunagaran. Sebagai misal tari Golek Sulung Dayung, dan tari Bondan gaya Surakarta diubah menjadi gaya Mangkunagaran. Ada pula yang membuat garapan baru berbentuk wireng berjudul Bisma dan Srikandi. Bentuk garapannya menggunakan materi campuran, yakni gaya Mangkunagaran dan Surakarta. Ini membuktikan Mangkunagaran tidak menutup diciptakannya tari baru dengan nuansa gaya Mangkunagaran sebagai bentuk cerapan dari gaya lain luar Mangkunagaran.

Usaha lain yang dilakukan oleh komunitas Mangkunagaran utamanya melalui organisasi resmi Langen Praja adalah dengan cara membuat tulisan dalam bentuk deskripsi tari. Satu-satunya bagian atau kantor yang sampai saat ini membantu menyebarluaskan tari gaya Mangkunagaran dalam bentuk tulisan atau deskripsi tari adalah Kantor Reksa Pustaka/ perpustakaan Pura Mangkunagaran. Penyebarluasan dalam bentuk penyajian dan pelatihan atau pembelajaran materi tari juga banyak dilakukan oleh komunitas Mangkunagaran. Misalnya, pihak Pura menyuguhkan seni tari gaya Mangkunagaran ini dalam suatu sajian wisata di Pura Mangkunagaran. Berangkat dari ini akhirnya tari gaya Mangkunagaran menjadi dikenal oleh pewisata atau masyarakat luas yang menyaksikan. Penyebarluasan yang dilakukan oleh pihak Pura dan komunitasnya tidak sebatas di dalam Pura tetapi meluas dari sekup Pura sampai ke banyak negara.
Penyebarluasan dalam bentuk penyajian kadang lebih sering dilakukan berkait dengan tari itu difungsikan untuk kepentingan upacara perkawinan dan penyambutan tamu. Lain halnya jika penyebarluasan dalam bentuk penyajian ini dilakukan di luar Negeri. Pengalaman yang telah banyak dilakukan oleh pihak Pura, penyajian di luar Negeri lebih banyak sebagai bentuk pertukaran budaya. Penyebarluasan dalam bentuk pelatihan juga banyak dilakukan oleh Pura Mangkunagaran dan komunitasnya. Pelatihan, utamanya dilakukan oleh para tetindih tari dan para penari. Pelatihan tari yang dilakukan oleh tetindih, ada yang bersifat perorangan, ada pula yang berbentuk kelompok. Tujuan pelatihan yang bersifat perorangan biasanya digunakan untuk bekal mengajar di tempat lain. Oleh karena itu, biasanya mereka minta latihan yang tidak terlalu memakan waktu atau tidak terlalu lama namun dapat menguasai materi cukup banyak. Selain itu mereka juga ingin menguasai teknik belajar tari gaya Mangkunagaran dengan baik dan benar, serta cukup detail.

Pelatihan bersifat perorangan tidak hanya datang dari masyarakat sekitar Mangkunagaran tapi juga banyak yang dari Mancanegara. Mereka tahu dan membutuhkan tari gaya Mangkunagaran itu berdasar dari interaksinya dengan orang lain, seperti melihat penyajian tari gaya Mangkunagaran sampai mereka merasa perlu membutuhkan belajar tari ini secara khusus. Selain itu juga informasi-informasi berkait dengan keberadaan tari gaya Mangkunagaran ini, yang semuanya disadari bahwa ini mewujudkan suatu nilai budaya yang tinggi dengan bukti sedemikian banyak orang mempelajari jenis tari ini yang banyak disajikan dimana-mana. Keindahan dan atau keartistikan tari gaya Mangkunagaran juga menjadi daya tarik tersendiri sebagai satu jenis tari yang enak dinikmati.

Pelatihan tari secara kelompok juga dilatihkan oleh tetindih bersama-sama dengan para penari yang sudah mempunyai kemampuan untuk menjadi pelatih, baik di dalam Pura maupun di luar Pura. Pelatihan ini diselenggarakan oleh pihak Pura Mangkunagaran tetapi ada juga yang diselenggarakan oleh pihak Luar Pura Mangkunagaran. Animo masyarakat cukup banyak yang belajar tari gaya Mangkunagaran ini sekalipun dalam bentuk kelompok. Khusus bagi penyelenggara, pelatihan dalam bentuk kelompok ini dimaksudkan agar masyarakat luas dapat belajar tari gaya Mangkunagaran ini dengan lebih semarak serta sekali latihan dapat menangani orang banyak.
Penyebarluasan dalam bentuk pembelajaran tari secara formal juga dilakukan oleh para penari Mangkunagaran. Tentang ini misalnya materi tari gaya Mangkunagaran ini dijadikan materi pelajaran di sekolah seni yang khusus mempelajari seni tari seperti yang dilakukan di SMKI (sekarang SMK) dan diberikan pula sebagai salah satu mata kuliah praktek tari di STSI Surakarta. Lembaga resmi seperti SMKI dan STSI menjadikan tari gaya Mangkunagaran ini sebagai materi yang diajarkan, tentu karena tari tersebut dianggap sebagai suatu materi yang mengandung nilai artistik serta nilai budaya yang luhur serta secara teknik dilihat sebagai seni yang tinggi.

D. Simpulan dan Saran

Berdasar hasil penelitian yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan dan disarankan sebagai berikut :
1. Simpulan
Komunitas Mangkunagaran berperanan penting dalam usaha mem-perkembangkan tari Gaya Mangkunagaran. Dalam usaha memperkembangkan fungsi, dapat dilihat misalnya di dalam Pura Mangkunagaran sendiri. Semula di dalam Pura, tari gaya Mangkunagaran hanya dipergunakan untuk upacara-upacara adat seperti jumenengan, suran, dan perkawinan, sekarang pihak Pura telah memperkembangkannya misalnya untuk sajian wisata sekalipun sedang tidak ada upacara-upacara tertentu.
Di luar Pura Mangkunagaran, tari gaya Mangkunagaran benar-benar telah jauh dipergunakan untuk berbagai kepentingan, baik itu yang mempergunakan pihak Pura sendiri atau bagian dari komunitasnya atau pun masyarakat umum di luar Pura. Kepentingan-kepentingan itu, seperti untuk upacara perkawinan, tontonan, hiburan, dan festival. Dalam banyak kesempatan tari gaya Mangkunagaran juga dipertunjukkan di Mancanegara. Ini antara lain merupakan bentuk penyebarluasan tari gaya Mangkunagaran yang bisa dilakukan oleh pihak Pura Mangkunagaran dan komunitas Mangkunagaran secara umum.
Mengenai materi tari, pihak Pura Mangkunagaran telah berusaha kuat mempertahankan melalui pelatihan-pelatihan dan sajian yang dilakukakan oleh pihak Pura melalui sub struktur yang membidangi, yakni Langen Praja. Sekalipun keasliannya dipertahankan namun juga berusaha diperkembangkan agar yang asli tetap ada namun juga muncul yang lain dalam bentuk pengembangan.

2. Saran
Berdasarkan simpulan yang ada mengenai peranan komunitas Mangkunagaran dalam memperkembangkan tari gaya Mangkunagaran dapat disarankan, hendaknya komunitas Mangkunagaran dalam memperkembangkan tari gaya Mangkunagaran tetap menggunakan pijakan tari gaya Mangkunagaran yang asli. Selain itu perlu adanya regenerasi untuk pelatih dan juga penari tari gaya Mangkunagaran yang loyal terhadap perkembangan tari gaya Mangkunagaran.

Daftar Pustaka
Ellfelat, Lois. 1977. Pedoman Dasar Penata Tari. Sal Murgiyanto (terj). Jakarta: Lembaga Kesenian Jakarta.
Garna, Judistira K. 1996. Ilmu-ilmu Sosial: Dasar – Konsep – Posisi. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung.
Mardawa, Sasminta. 1983. Tuntunan Pelajaran Tari Klasik Gaya Yogyakarta. Yogyakarta: Ikatan Keluarga SMKI “KONRI”.
Matthew B, Miles, A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Tjetjep Rohendi R (terj). Jakarta: UI Press.
Murgiyanto, Sal. 1985. Koreografi. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Najamuddin, Munasiah. 1983. Tari Tradisional Sulawesi Selatan. SulawesI: Bhakti Baru
Pasaribu, Amir. 1983. Riwayat Musik dan Musisi. Jakarta: Gunung Agung.
Sach, Curt. 1975. Seni Tari. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.
Soedarsono, 1976. Pengantar Pengetahuan Tari. Yogyakarta: Akademi Seni tari Indonesia.
Soekanto, Soejono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
_______. 1993. Beberapa Teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Suharji. 2001. Bedhaya Suryasumirat Di Pura Mangkunegaran Surakarta. Sebuah tesis untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana S-2 Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Suharti, Theresia. 1990. Tari Di Mangkunegaran Suatu Pengaruh Bentuk dan Gaya Dalam Dimensi Kultural 1916-1988. Sebuah tesis untuk memenuhi sebagian persyaratan yntuk mencapai derajar Sarjana S-2 Program Studi Sejarah Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Sumaryo, LE. 1978. Komponis, Pemain Musik, dan Publik. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Taneko, Soleman B. 1993 Struktur dan Proses Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Pers

Artikel ini telah dimuat dalam Harmonia Vol. VIII No. 1/ 2007

Read More ..

Sejarah Harmonia

Harmonia, ISSN 1411-5115, berdiri tahun 2001. Pada tahun 2004 telah terakreditasi oleh DIKTI. Karena diberlakuan aturan dan format baru pada tahun 2006, pada tahun 2007 tidak lagi terakreditasi, karena mendapat nilai cukup (C).
File : index Harmonia

Sumbangan Naskah

Redaksi menerima artikel, baik berupa artikel konseptual maupun hasil penelitian. Naskah berupa print out dan soft file dikirim ke alamat redaksi Harmonia. Naskah dapat pula dikirim melalui attachment file e-mail.

Dari Redaksi

Artikel-artikel yang dipublikasikan lewat web ini telah diterbitkan di jurnal Harmonia. Pemuatan dalam web ini adalah untuk lebih menyebarkan penerbitan tersebut terutama melalui media yang berbeda, dunia maya. Di masa mendatang, hanya abstrak artikel yang ditampilkan.

Web Disigned by Suharto, Blog Template by ourblogtemplate.com

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP