Welcome to

HARMONIA : Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni

Senin, 03 Agustus 2009

PENDIDIKAN ESTETIKA MELALUI SENI BUDAYA DI FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

Oleh :

Malarsih dan Wadiyo


Dosen Seni Tari dan seni Musik, FBS, UNNES



ABSTRACT


This research aims to give an image of aesthetic education implementation through art in Languages and Arts Faculty in Semarang State University. Applied method in this research is qualitative method. Data collection techniques are done by observation, inter view, and documentation. Analyzing data is done by using interactive analysis. Technique of checking relevance data done by using triangulation. The result of this research shows that aesthetic education implementation through art in Languages and Arts Faculty are done in form of formal and non-formal aesthetics. Formal aesthetic education are done by all of students in languages and arts faculty through art materials. Non-formal aesthetics education are done by academic consists of students, lecturers, employees, as well as the head of faculty. Non-formal esthetics education mainly are done as a coordinating institution of students’ activity unit. Aesthetics education for lecturers, employees, as well as the head of faculty mainly done through art appreciation and creation by watching art exhibition, watching art performances, doing art activities which held by faculties and majors events.

Kata kunci : seni budaya, estetika, pendidikan, apresiasi, kreasi



PENDAHULUAN
Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang merupakan satu-satunya fakultas di Universitas Negeri Semarang yang menyelenggarakan pendidikan seni budaya. Di Fakultas Bahasa dan Seni ini lah berdiri program-progran jenjang S-1 seni, yakni Pendidikan Seni Rupa, Pendidikan Seni Drama, Tari, dan Musik, dan ada juga Sastra Bahasa. Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah “Bagaimana pendidikan estetika melalui seni budaya dilaksanakan di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang?”
Pendidikan estetik merupakan jenis pendidikan yang tidak berbeda dengan jenis pendidikan lain pada umumnya. Artinya dalam pendidikan itu juga diperlukan macam-macam aspek seperti aspek afektif, psikomotorik, dan kognitif. Perbedaan yang menonjol antara pendidikan estetika dengan jenis pendidikan lain adalah, pendidikan estetika lebih menonjolkan aspek afektif dan psikomotorik untuk mendapatkan apa yang dinamakan pengalaman estetik. Jelasnya, pendidikan estetika merupakan pendidikan yang mengutamakan didapatkannya pengalaman estetik melalui proses berkesenian.
Berdasar konsep dasarnya, istilah estetika menurut The Liang Gie (1976) dan Anwar (1985) secara umum berarti keindahan. Namun demikian secara khusus bisa diartikan sebagai filsafat keindahan. Berkait dengan itu, menurut Triyanto (2002) arti yang pertama bersifat teknis sedangkan arti yang kedua lebih bersifat filosofis. Dalam konteks ini, baik estetika diartikan sebagai keindahan atau estetika diartikan sebagai filsafat keindahan, dua-duanya digunakan sebagai landasan pelaksanaan pendidikan estetika.
Pendidikan estetika melalui seni budaya hanya bisa tercapai jika pelaksanaan pendidikannya dilakukan melalui apresiasi dan kreasi/ ekspresi. Berkenaan dengan itu maka diperlukan konsep apresiasi dan konsep kreasi/ ekspresi yang jelas agar dapat digunakan sebagai landasan dalam menjalankan pendidikan apresiasi dan kreasi/ekspresi tersebut menuju tercapainya pendidikan estetika yang optimal. Lebih lanjut untuk memahamkan estetika dalam dunia seni secara khusus atau filsafat keindahan, dijelaskan oleh Triyanto (2002) bahwa, keindahan itu menunjuk pada suatu kualitas nilai fisik objek tertentu.
Suatu objek dikatakan memiliki kualitas nilai keindahan karena dalam objek itu terdapat ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang menjadikannya indah. Read (1973); The Liang Gie (1976); Sahman (1993); Sutrisno SJ dan Verhaak SJ (1993) mengemukakan, ada sejumlah syarat tertentu suatu objek/benda dikatakan bernilai estetis atau indah, yakni manakala objek/benda itu ada perimbangan antara bagian-bagiannya. Pengertian perimbangan di sini, secara artistik menunjuk pada terpenuhinya azas-azas komposisi. Secara umum azas komposisi itu antara lain meliputi, tema, harmoni, irama, variasi, dan proporsi.
Pengertian estetika seperti yang telah dikemukakan secara panjang lebar tadi, biasanya secara sempit dipergunakan untuk mengkaji atau menganalisis kualitas suatu keindahan dalam fenomena satu objek tertentu. Namun demikian dalam hubungannya dengan berkesenian sebagai suatu tujuan pendidikan estetik, yang lebih dipentingkan adalah merasakan dan/ atau proses membuat “benda” indah.
Dijelaskan oleh Sutrisno dan Christ Verhaak (1993), berkesenian adalah salah satu ekspresi proses kebudayaan yang berkait dengan pandangan jagat/dunia orang-orang dari kebudayaan itu. Berkait dengan itu, Sedyawati menurut Sutrisno dan Christ Verhaak (1993) juga mendukung pendapatnya dengan mengemukakan, suatu keindahan tidak harus berlaku umum sebab keindahan lebih mengacu pada pandangan/ perasaan individu berdasar pada budaya yang dijadikan acuan oleh individu tersebut.
Berkait dengan apresiasi dan ekspresi seni budaya menuju tercapainya pendidikan estetika, bahwa apresiasi itu sendiri secara konsep menurut Gove dalam Dostia dan Aminudin (1987) adalah suatu pengenalan seni melalui perasaan dan kepekaan batin terhadap seni yang diperkenalkan sampai kememahami serta mengakui terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan oleh seniman. Berkait dengan itu, menurut Sutopo (1985) yang mengambil pendapat B.O Smith, bahwa apresiasi merupakan proses pengenalan dan pemahaman nilai karya seni, untuk menghargainya, dan menafsir makna yang terkandung di dalamnya.
Dalam menjadikan seni sebagai alat pendidikan estetika, setelah memahami konsep apresiasi, selanjutnya harus memahami konsep ekspresi. Biasanya antara konsep ekspresi dengan konsep kreasi dipahami/dimengerti, rancu. Kerancuan ini bisa dimengerti sebab dalam dunia seni, berekspresi dalam bentuk mewujudkan sebuah karya seni bisa dimengerti sebagai berkreasi namun berekpresi dalam bentuk penjiwaan dan/atau pembawaan sebuah karya seni tanpa menghasilkan wujud karya seni baru tertentu, hanya bisa dimengerti sebagai berapresiasi. Dengan demikian, konsep ekspresi bisa dimengerti sebagai suatu penjiwan dan/atau pembawaan dalam sebuah tataran apresiasi, namun juga bisa dimengerti sebagai sebuah bentuk berkreasi manakala ekspresi tersebut sampai ketataran mewujudkan sebuah karya seni (lihat Prier 1986; Rohidi 1993; dan Surjobrongto 1982).
Dalam hubungannya dengan kepentingan berkesenian/berekspresi seni sebagai alat pendidikan estetika, lebih lanjut diperlukan pemahaman tentang konsep kreasi secara khusus. Secara harafiah atau khusus dari sisi kebahasaan, kreasi dapat dimengerti sebagai hasil dari sebuah kreativitas. Lebih lanjut Santrock dalam Sumaryanto (2001) mengemukakan, kreativitas adalah kemampuan berpikir tentang sesuatu dengan cara yang baru untuk dapat menemukan pemecahan masalah yang unik. Vogel dalam Sumaryanto (2001) mengambil pendapat Guilfort, bahwa paling sedikit terdapat dua kemampuan yang terlibat dalam berpikir kreatif, yaitu kemampuan produksi divergen dan kemampuan transformasi. Menurut Vogel, kreativitas tampaknya berkorelasi dengan fleksibilitas dalam proses berpikir, yaitu adanya gagasan-gagasan yang lebih mengarah pada kompleksitas berpikir. Berhubungan dengan itu, Vogel demikian menurut Sumaryanto, mendefinisikan kreativitas sebagai proses berpikir yang menghasilkan konsep-konsep baru atau pemecahan masalah.
Horlock dalam Munandar (1987) mengemukakan, kreativitas berkait dengan daya cipta seseorang yang menghasilkan sesuatu dalam wujud/bentuk baru dan/atau berbeda dengan yang lain, dan ini bisa bersifat verbal, non verbal, nyata, atau abstrak. Hadirnya kreativitas menurut Ross (1973); Lowenfeld dan Brittain (1982) ditandai oleh beberapa indikator, antara lain memiliki kepekaan terhadap masalah, memiliki ide yang lancar, memiliki keluwesan dalam menyesuaikan diri, memiliki keaslian dalam menanggapi dan memecahkan masalah yang dihadapi, bebas dalam mengungkapkan gagasan, mampu memecahkan masalah dengan cara yang berbeda dengan yang dilakukan oleh orang lain, memiliki kemampuan menyusun ulang situasi, serta memiliki kemampuan dalam analisis dan sintesis.
Bertolak dari konsep dan/atau pemahaman tentang apresiasi dan ekspresi/kreasi seperti yang telah dikemukakan, jika dihubungkan dengan seni dalam hubungannya dengan pencapaian pendidikan estetika, tampaknya akan menjadi sarana ketersampaiannya. Alasan dari pemikiran ini adalah, dalam berapresiasi, seni mengandung kepekaan estetik, begitu pula dalam berekspresi seni juga mengandung kepekaan estetik, dan dalam berkreasi seni juga bergulat dengan keestetikaan. Proses yang demikian ini akan menjadikan pengalaman estetik bagi orang yang berkesenian sesuai dengan keinginan bagi kepentingan pendidikan estetika.

METODE
Metode penelitian yang diterapkan pada penelitian ini adalah metode kualitatif.
Lokasi penelitian ini adalah Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang. Sasaran penelitian berkait tentang pelaksanaan pendidikan estetika melalui seni budaya di lingkungan Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, baik seni budaya Jawa, seni musik umum, seni rupa, maupun seni sastra.
Alat pengumpul data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan studi dokumen. Observasi dilakukan dengan melihat aktivitas sivitas akademika Fakultas Bahasa dan Seni dalam berkesenian, baik berapresiasi maupun berkreasi. Wawancara dilakukan pada individu-individu yang dipilih sebagai informan yang dianggap terlibat dalam kegiatan berkesenian di lingkungan kampus Fakultas Bahasa dan Seni. Studi dokumen dilakukan dengan melihat dokumen-dokumen, baik dalam elektronik seperti yang ada pada rekaman-rekaman, tulisan/catatan-catatan, maupun gambar.
Analisis data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah analisis data model interaktif, sebagaimana yang dikembangkan oleh Milles dan Huberman (dalam Rohidi terj. 1992); Nasution (1996); dan Moleong (1996). Analisis dimulai sejak pengumpulan data, dilanjutkan reduksi data, penyajian data, dan verifikasi yang berputar secara terus menerus hingga masalah penelitian ditemukan jawabannya sampai pada pemaknaannya yang mendalam.

Teknik keabsahan data yang diterapkan dalam penelitian ini, utama sekali adalah triangulasi data (Moleong 1996; Patton 1987). Triangulasi data yang dimaksud oleh Moleong dan Patten itu setidaknya dalam penelitian harus dilakukan dengan mencocokkan data hasil wawancara, Observasi, dan studi dokumen, keajegan jawaban dari sumber yang sama dalam memberi keterangan dari waktu ke waktu atau dalam waktu yang berbeda, kesamaan keterangan antara sumber satu dengan yang lain, dan ketekunan serta ketelitian peneliti dalam mengamati kegiatan yang aplikasinya dalam penelitian ini adalah kegiatan berkesenian yang dilakukan oleh sivitas akademika Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang di lingkungan kampus Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada sesi ini, akan disampaikan hasil penelitian dan pembahasan. Hasil penelitian dan pembahasan akan disampaikan secara menyatu yang pembahasannya hanya akan tampak implisit dalam hasil penelitian ini. Hasil penelitian akan menjawab permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, yakni tentang “Bagaimana pelaksanaan pendidikan estetika melalui seni budaya di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang”. Pendidikan estetika melalui seni budaya di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang dalam penelitian ini akan dilihat dari kegiatan-kegiatan berkesenian sivitas akademika, baik pada tataran apresiasi maupun tataran kreasi formal maupun non formal.

Apresiasi dan Kreasi Formal
Apresiasi dan kreasi sebagai suatu bentuk pendidikan estetika yang dalam konteks penelitian ini dikatakan dengan istilah formal, oleh fakultas diserahkan sepenuhnya kepada jurusan-jurusan seni dan sastra. Jurusan-jurusan seni dan sastra, melakukan kegiatan apresiasi dan kreasi yang eksplisit dan implisit di dalam proses pembelajaran atau masuk dalam mata kuliah-mata kuliah. Di dalam mata kuliah-mata kuliah yang berhubungan dengan seni dan sastra semuanya selalu ada aspek apresiasi dan kreasinya yang dengan demikian pendidikan estetika, baik secara eksplisit dan/ atau pun implisit ada di dalamnya.
Jurusan pendidikan seni drama, tari, dan musik, untuk seluruh mahasiswanya diwajibkan mendapatkan mata kuliah seni drama. Dengan demikian apresiasi dan kreasi seni drama sebagai wujud pendidikan estetika ada pada proses belajar mengajar seni drama tersebut. Berbeda dengan mata kuliah seni drama, mata kuliah seni tari dan musik hanya diwajibkan pada mahasiswa yang mengambil bidang studi tari dan musik tersebut. Pendeknya, untuk mahasiswa Program seni tari, mata kuliah bidang studi yang diberikan hampir semuanya adalah berkait dengan seni tari dan karawitan. Seni musik diberikan untuk mahasiswa program seni tari hanya sekedar untuk apresiasi ringan dan tidak dituntut kreasi yang berstandar sebagai kreator musik.
Berbeda dengan program studi seni tari adalah program studi seni musik. Untuk seni musik, pelajaran seni tari juga hanya dimasukkan sebagai pendidikan apresiasi dengan tidak dituntut berkreasi tari seperti seorang kreator tari. Bidang studi pendidikan seni musik, diberikan pendidikan estetika hanya sebagai suatu implementasi dari mata kuliah-mata kuliah seni musik yang diberikan sebagai mata kuliah wajib.
Berbeda dengan Jurusan Seni Drama, Tari, dan Musik, yang memberikan pendidikan estetika melalui mata kuliah-mata kuliah yang berhubungan dengan seni drama, tari, dan musik adalah Jurusan Seni Rupa. Jurusan seni rupa ini ada yang jurusan kependidikan namun juga ada yang non kependidikan. Lepas dari jurusan kependidikan maupun jurusan non kependidikan, untuk jurusan seni rupa ini memberikan pendidikan estetika kepada para mahasiswanya juga melalui mata kuliah-mata kuliah kesenirupaan. Apa yang diberikan pada mata kuliah-mata kuliah kesenirupaan, baik secara eksplisit maupun implisit semuanya mengandung unsur pendidikan estetika.
Dilihat dari struktur programnya, pendidikan estetika melalui seni budaya yang ada pada Program Studi Seni Tari masuk pada mata kuliah-mata kuliah seperti sejarah tari, tari surakarta, tari kreasi, tari bali, tari sunda, tari nusantara, kreativitas tari, komposisi tari, karawitan, dan pergelaran. Pendidikan estetika melalui seni budaya yang ada pada Program Studi Seni Musik masuk pada mata kuliah-mata kuliah seperti sejarah musik, musik daerah, musik masa kini, musik keroncong, musik band, dan praktek-praktek instrumen musik seperti musik gesek, musik tiup, musik gesek, dan musik petik. Pendidikan estetika melalui seni budaya yang ada pada Program Studi Seni Rupa masuk pada mata kuliah-mata kuliah seperti ornamen nusantara, seni lukis, seni patung, seni grafis, seni keramik, seni ukir, desain, dan lain-lain yang diambil oleh mahasiswa yang struktur programnya memang ada mata kuliah tersebut.
Di luar dari seni tari, seni musik, dan seni rupa pun juga ada pendidikan estetika yang lain, yaitu seni sastra. Seni sastra ada seni sastra Jawa, Nusantara/Indonesia, dan asing. Seni sastra ini yang paling menonjol dan dipahami oleh umum, misalnya seperti puisi, prosa, sajak, sandiwara/ drama, dan juga tembang dan karawitan bagi mahasiswa jurusan pendidikan bahasa Jawa. Seluruh seni-seni yang ada seperti seni tari, seni msik, seni rupa, dan seni sastra ini diajarkan pada program-program studi yang relevan dengan program studi yang ada di Fakultas Bahasa dan Seni universitas Negeri Semarang ini. Untuk itu lah, pendidikan estetika melalui seni budaya dalam tataran apresiasi dan kreasi yang bersifat formal menjadi terwujud.

Apresiasi dan Kreasi Ekstra/ Non Formal
Pendidikan estetika melalui seni budaya yang dilakukan melalui apresiasi dan kreasi sebagai bentuk pengembangan bakat dan minat mahasiswa juga diselenggarakan oleh Fakultas Bahasa dan Seni di bawah universitas. Sebenarnya bentuk pengembangan bakat dan minat ini boleh diikuti oleh seluruh mahasiswa Universitas Negeri Semarang dari seluruh fakultas yang ada di Universitas Negeri Semarang. Namun demikian, yang mengambil seni sebagai pilihan pengembangan bakat dan minat ini sebagian besar juga dari para mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni.
Wujud kegiatan sebagai bentuk pendidikan estetika melalui seni budaya yang di bawah langsung universitas adalah unit kegiatan mahasiswa atau biasa disingkat dengan UKM. Untuk kesenian ditangani melalui kegiatan yang dikoordinir oleh pembantu dekan bidang kemahasiswaan. Nama kegiatannya ada karawitan, panembromo, kethoprak, dan tari. Untuk saat ini kegiatan itu bekerjasama menjadi satu dalam bentuk forum UKM Kesenian Jawa.
Selain kesenian Jawa ada juga unit kegiatan mahasiswa atau UKM yang lain, yakni seni musik dan seni rupa. Seni musik ini ada paduan suara, band, marching band, campursari, dan rebana. Seni rupa ada kerajinan, lukis, patung, ukir-ukiran, dan desain. Pada kegiatan seni musik dan seni rupa ini lah pendidikan estetika melalui seni budaya juga secara eksplisit dan implisit terbentuk di dalamnya karena mereka berapresiasi dan berkreasi dengan seni tersebut.
Jalannya kegiatan untuk unit kegiatan mahasiswa ini atas dasar pilihan masing-masing dari para mahasiswa untuk pengembangan bakat dan minatnya yang tidak ada kewajiban bagi mahasiswa untuk harus mengikutinya. Setiap satu unit kegiatan didampingi satu dosen yang dipandang mampu mengkoordinir, sebagai tugas dari universitas. Sekalipun kegiatan ini hanya bersifat kokurikuler/ekstra kurikuler/pilihan yang tidak ada ikatannya, namun ternyata telah menghasilkan kreator-kreator yang sangat berguna bagi kepentingan kampus dan masyarakat luas.
Mereka selalu melayani permintaan pementasan, baik untuk kalangan kampus sendiri maupun dari masyarakat luar. Di kalangan kampus sendiri, kegiatan ini juga mementaskan ketoprak untuk acara Bulan Bahasa dan mementaskan kethoprak, karawitan, tari, panembromo menjadi satu dalam acara awal tahun. Upacara Dies Natalis juga menyajikan karawitan, tari, dan panembromo. Acara Wara Kawuri dan Halal Bihalal, menyajikan karawitan.
Selain apa yang telah dikemukakan itu, di Fakultas Bahasa dan Seni juga menyelenggarakan Sanggar Seni Puspita Sekaran yang merupakan singkatan dari pusat pelatihan seni tari dan karawitan, untuk keluarga Fakultas Bahasa dan Seni dan masyarakat sekitar. Pada setiap malam rabu legi juga diadakan pendidikan estetika melalui seni budaya yang implisit terbungkus dalam acara Sarasehan Budaya. Penyelenggaraannya bertempat di gasebo bahasa Jawa yang dalam acara saresehan itu juga selalu diisi dengan sajian seni Jawa.
Seni Jawa yang banyak digunakan untuk mengisi itu paling banyak adalah seni geguritan dan tari fragmen. Pernah juga tari ritual yang menceritakan manusia menyembah Tuhan atau tari ritual yang diberi judul Mahas ing Asamun atau Semedi. Di acara itu juga bersama dengan kelompok dari luar Fakultas Bahasa dan Seni mementaskan Wayang Dongeng.
Seni Jawa yang lain yang dilatih di dalam Fakultas Bahasa dan Seni dan menjadi satu dengan UKM karawitan adalah seni daerah Semarang yang bernama Gambang Semarang. Gambang Semarang ini paling banyak dipentaskan di luar kampus karena seni Gambang Semarang merupakan cirri khas seni Semarangan sehingga sangat sering diminta untuk mengisi acara-acara dalam kaitannya dengan kegiatan di Kota Semarang. Pementasan seni Gambang Semarang ini tampaknya untuk menunjukkan bahwa di Semarang mempunyai seni yang khas, yaitu seni Gambang Semarang.
Pendidikan estetika melalui seni budaya di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang tidak cukup hanya itu. Melalui kegiatan di luar UKM ada juga sebuah kursus pranata cara, yang diberi nama Pawiyatan Krida Madu. Di dalam kursus ini di olah lah basa, sastra, dan tembang yang pengolahannya tidak hanya ditangani oleh personal-personal dari dalam kampus namun juga melibatkan orang luar kampus utamanya mereka-mereka yang kompeten dalam bidang olah basa, sastra, dan tembang. Peserta kursus bukan saja orang-orang dari dalam kampus namun banyak juga peserta dari luar kampus.
Ada seni Jawa, ada pula seni musik umum. Di dalam unit kegiatan mahasiswa seperti yang telah dikemukakan, ada UKM paduan suara, band, marsing band, campursari, dan rebana. Sekalipun kegiatan ini hanya sebagai pengembangan bakat dan minat, banyak juga kegiatan-kegiatan yang dijalani dan prestasi-prestasi yang diraih oleh kegiatan seni musik ini. Untuk paduan suara dan band misalnya, hampir tidak terlewatkan selalu digunakan untuk acara wisuda universitas dan fakultas. Selain acara wisuda, biasanya digunakan juga seperti jika ada acara Putra Putri Kampus.
Kejuaraan-kejuaraan seni musik melaui wadah UKM seni musik, juga mendapatkan banyak penghargaan dari kegiatan-kegitan kemahasiswaan, seperti pernah sebagai juara lomba vokal group antar mahasiswa tingkat Jawa Tengah dan juara tingkat nasional. Juara juga nyanyi lagu pop, seriosa, dan keroncong tingkat Jawa tengah dan Nasional. Semua ini merupakan bentuk keberhasilan pendidikan estetika melalui seni budaya di lingkungan kampus Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang, yang tentunya tidak sekadar mendapat juaranya yang kita hargai, namun lebih dari itu, adalah pendidikan estetikanya yang dalam hal ini pendidikan estetika melalui seni budaya.
Dalam kegiatan kesenirupaan, banyak juga dilakukan oleh para mahasiswa hingga mendapat kejuaraan setidaknya di tingkat Jawa Tengah dan pernah juga ada yang mendapat juara I sampai tingkat nasional, yaitu Ilustrasi. Selebihnya dari itu seperti lomba poster, animasi, dan fotografi adalah juara tingkat Jawa Tengah. Pameran-pameran kesenirupaan juga diselenggarakan tidak hanya di dalam kampus, namun juga di luar kampus. Pameran di dalam kampus biasanya untuk ujian Tugas Akhir mahasiswa tetapi ada juga pameran yang tidak saja karya mahasiswa tetapi juga karya dosen. Itu lah bentuk pendidikan estetika melalui seni budaya untuk sivitas akademika Fakultas Bahasa dan Seni. Pendidikan estetika tidak hanya dalam bentuk berkarya seni namun juga mengapresiasi karya seni.
Jika Jurusan Seni Rupa mengadakan pameran untuk sivitas akademika yang akhirnya dapat dimengerti menjadi bentuk pendidikan estetika, begitu pula tidak berbeda untuk Jurusan Seni Drama, Tari, dan Musik. Di dalam mata kuliah pergelaran, para mahasiswa juga mempergelarkan karya seni tari dan musik untuk tidak saja diambil nilainya oleh dosen, namun juga untuk dipertontonkan pada sivitas akademika yang berminat.
Pendidikan estetika sebagai kegiatan berkesenian tidak saja dilakukan oleh mahasiswa, namun juga dosen dan karyawan yang dipelopori oleh pimpinan fakultas/ dekan. Dekan Fakultas Bahasa dan Seni sangat getol mengadakan acara nyanyi bersama yang diberi label Nyanyi Bersama Lagu Tembang Kenangan. Di dalam acara Tembang Kenangan juga diisi berbagai jenis musik dan irama musik yang siapa saja bisa ikut terlibat berkesenian di acara itu.
Tidak hanya tingkat fakultas yang dilibatkan dalam acara-acara seperti ini, namun juga kadang sampai ke tingkat universitas. Pembantu rektor bidang kerjasama, pembantu rektor bidang kemahasiswaan, para dekan, dosen, karyawan, dan bahkan darma wanita juga diajak berkesenian dalam acara-acara berkesenian dalam bungkus tembang kenangan ini. Usaha memancing kegairahan seluruh sivitas akademika untuk berkesenian semacam ini, Dekan Fakultas Bahasa dan Seni mengambil pemain musik dan pelatih tari untuk menarikan lagu-lagu tembang kenangan ini dalam bentuk tari modern berdasar irama musiknya.
Pendidikan estetika melalui seni budaya yang dilakukan oleh fakultas tidak cukup hanya sampai di situ. Berbagai cara dilakukan, bahkan sampai pada kewajiban senam setiap hari jumat pagi juga menghadirkan pelatih senam dari luar kampus yang dalam acara senam itu tidak hanya mementingkan kesegaran fisik. Kesegaran estetik juga diusahakan bahkan menjadi sama utamanya dengan kesegaran fisik. Acara senam bersama seluruh dosen dan karyawan, dipilih lagu-lagu yang berirama dinamis dan menyenangkan. Dalam acara senam ini pula, tidak hanya bunyi irama musik untuk memancing gerak yang dipentingkan, lebih dari itu digunakan pula lagu-lagu yang enak dinyanyikan sambil bersenam sehingga suasana dan keadaan badan menjadi sehat segar.
Karyawan dalam bekerja menggunakan komputer juga dilengkapi dengan berbagai lagu. Melalui compact disk room dapat disetel lagu-lagu untuk mengantarkan kegairahan kerja. Ibarat sambil berdendang nasi masak. Sambil menikmati lagu-lagu dan sekali-kali ikut menyanyikan, pekerjaan selesai dengan baik. Ketegangan kerja, kejenuhan, kebosanan seolah tidak ada karena dalam bekerja diselipkan bentuk ungkapan rasa melalui lagu yang dinikmati. Kadang juga sekali-kali pada jam-jam tertentu bisa menikmati tayangan kesenian melalui televisi yang dipajang di ruang kerja karyawan sehingga membuat karyawan dalam bekerja terasa bagai di rumah sendiri. Itu lah bentuk pendidikan estetika melalui seni budaya yang dilakukan di Fakultas Bahasa dan Seni. Mahasiswa, dosen, karyawan, dan seluruh jajaran pimpinan fakultas, semuanya berkesempatan mendapatkan pengalaman estetik.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasar hasil penelitian yang dikemukakan, disimpulkan bahwa pendidikan estetika melalui seni budaya pada Fakultas bahasa dan Seni dilakukan dalam bentuk pendidikan estetika formal dan non formal. Pendidikan estetika formal, dilakukan pada seluruh mahasiswa program seni dan sastra melalui kuliah-kuliah yang bermaterikan seni. Pendidikan estetika non formal dilakukan oleh seluruh sivitas akademika, baik mahasiswa, dosen, karyawan, maupun pimpinan fakultas. Pendidikan estetika non formal untuk mahasiswa utama sekali dilakukan melalui wadah unit kegiatan mahasiswa (UKM) seni yang dipilih mahasiswa berdasar minatnya. Pendidikan estetika melalui seni budaya untuk para dosen, karyawan, dan pimpinan fakultas utama sekali dilakukan melalui kegiatan berapresiasi seni dalam bentuk seperti menyaksikan pameran seni rupa di fakultas, menyaksikan pergelaran seni yang dilakukan oleh sivitas akademika, dan melakukan kegiatan berkesenian sendiri berdasar minatnya yang difasilitasi oleh fakultas.

Saran
Berdasar simpulan yang telah dikemukakan disarankan, seluruh sivitas akademika Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang hendaknya selalu mengembangkan potensi diri dalam berkesenian dalam rangka mewujudkan tercapainya pendidikan estetika melalui seni budaya yang optimal. Harapan ke depan dapat menjadi pendidik-pendidik seni bagi masyarakat luas melalui jalur apa pun sehingga terwujud manusia-manusia Indonesia yang humanis dan senantiasa kreatif dalam menghadapi segala tantangan kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA

Aminudin, Dostia. 1987. Pengantar Apresiasi. Bandung: CV. Sinar Baru
Anwar, W. 1985. Filsafat Estetika. Yogyakarta: Penerbit Nur Cahaya
Lowenfeld, V & Brittain, WL. 1982. Creative and Mental Growth. New York: Macmillan
Matthew B, Miles, A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Tjetjep Rohendi Rohidi (terj). Jakarta: UI Press.
Moleong, Lexy J. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Munandar, Utami. 1988. Kreativitas Sepanjang Masa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Patton, Michael Quinn. 1987. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Methods. Beverly Hills: Sage Publications.
Prier, Karl Edmund SJ. 1996. Menjadi Dirigen Jilid I. Teknik Memberi Aba-aba. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi.
Read, Habert. 1973. The Meaning of Art. London: Faber & Faber.
Rohidi, TR. 1993. “Ekspresi Seni Orang Miskin: Adaptasi Simbolik terhadap Kemiskinan”. Disertasi Doktor UI Jakarta.
Ross, Maleom. 1978. The Creative Art. London: Heinemann Educational Books Ltd.
Sahman, H. 1993. Estetika: Telaah Sistemik dan Historik. Semarang: IKIP Semarang Press.
Sumaryanto, Totok. 2001. “Pemupukan Kreativitas Anak Melalui Pembelajaran Musik” dalam Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni Harmonia Vol.2 No. 3/ Januari – April 2001.
Suryobrongto. 1982. Nilai-nilai Keindahan Tari. Yogyakarta: Depdikbud.
Sutopo, HB. 1989. Peranan Pendidikan Seni Masa Kini. Makalah dalam Seminar Pendidikan Seni Rupa di IKIP Semarang.
Sutrisno, Mudji SJ & Verhaak, Christ SJ. 1993. Estetika Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Kanisius.

The Liang Gie. 1996. Filsafat Seni. Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIB).
This article is taken from Harmonia Vol. IX No. 1 June 2009

Read More ..

FUNGSI DAN MAKNA KESENIAN BARONGSAI BAGI MASYARAKAT ETNIS CINA

Oleh :

Bintang Hanggoro Putra


DosenSeni Tari, FBS, UNNES,


email : bintang_hp@yahoo.com



Abstract
Barongsai is a traditional art of Chinese ethnic in Semarang, which comes from China. That art still exists and develop until nowadays although have lot of pressures both from Orde Lama and Orde Baru. Research studies were: (1) origin of Barongsai, (2) form of Barongsai art performance, (3) function of Barongsai art, (4) meaning of Barongsai art for Chinese ethnic in Semarang. Applied research method is qualitative method. Techniques of data collection are observation, interview, and documentation studies. Technique of data analysis are reducing, clarifying, decrypting, concluding, and interpreting all information selectively. Techniques of checking relevance data were dependability and conformability. Research result shows that Barongsai is an art comes from China entered Semarang by Chinese merchant. Form of Barongsai performance are divided into three stages, those are flag play, Barongsai play, and ending. Function of Barongsai art for Chinese ethnic in Semarang are ritual, entertainment, and politic function. Whereas meaning of Barongsai art for Chinese ethnic in Semarang is symbolic meaning and strategy meaning.

Kata Kunci : kesenian barongsai, fungsi, makna, masyarakat etnis Cina


PENDAHULUAN
Barongsai adalah kesenian masyarakat etnis Cina di Indonesia yang dalam perkembangannya mengalami pasang surut karena tekanan politik yang kuat sejak pemerintahan Orde Lama sampai dengan Orde Baru. Berbagai peraturan pemerintah dikeluarkan, salah satunya adalah Instruksi Presiden no. 14 th 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina yang diberlakukan mulai tanggal 6 Desember 1967. Segala ritual budaya dan keagamaan bagi kalangan orang Tionghoa dilarang untuk diselenggarakan di tempat umum. Masyarakat etnis Cina tidak lagi bisa secara bebas merayakan ritual-ritual Konghucu, merayakan Imlek dengan menggelar pertunjukan Liong, Barongsai, dan mengarak Toapekong di tempat-tempat umum. Koran-koran beraksara Cina dilarang terbit dan sekolah-sekolah Tionghoa yang mengajarkan bahasa dan kebudayaan Cina pun ditutup. Bahkan, pembatasan dan pelarangan terhadap etnik Tionghoa sampai pada hal yang bersifat pribadi, yaitu mengenai nama. Mereka harus mengganti nama dengan nama Indonesia.
Pelarangan semacam itu tidak sungguh-sungguh mampu menghilangkan, apalagi mematikan berbagai kegiatan kultural itu. Secara tidak terbuka, orang Tionghoa masih terus melakukan kegiatan ritual, memainkan kesenian dan nama-nama Indonesia yang digunakan juga masih bunyi asli Cina. Pada setiap perayaan baru Imlek, kesenian Liong dan Barongsai masih selalu dipergelarkan di gedung-gedung yang tertutup atau tempat lain yang bersifat eksklusif.
Runtuhnya masa Orde baru yang ditandai dengan lengsernya presiden Soeharto diganti dengan pemerintahan Gus Dur. Masa pemerintahan Gus Dur membawa pencerahan bagi masyarakat etnis Cina yaitu dengan dicabutnya Instruksi Presiden RI No. 14/1967 yang tadinya membatasi perayaan adat-istiadat dan agama Tionghoa di lingkungan keluarga saja. Akibat dari euforia, banyak orang berani memunculkan hal-hal yang tadinya dilarang, seperti kesenian Barongsai dan Liong, kesusasteraan berbahasa Tionghoa, pengajaran bahasa Tionghoa, dan budaya Tionghoa lainnya.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, permasalahan dalam penelitian ini difokuskan pada asal usul dan bentuk kesenian Barongsai di Kota Semarang. Berkait dengan itu, dipermasalahkan juga fungsi dan makna Kesenian Barongsai bagi masyarakat etnis Cina Semarang.
Fungsi Kesenian Barongsai bagi masyarakat etnis Cina dapat dipahami dengan menggunakan pendekatan teori struktural fungsional Talcott Parsons dan Radcliffe-Brown. Teori Struktural Fungsional imperatif yang dikemukakan oleh Talcott Parsons mengetengahkan konsep-konsep sebagai berikut. Pertama, sebagai sistem yang terikat dan terbatas, masyarakat mengatur dirinya sendiri dan cenderung menjadi suatu sistem yang tetap serta serasi. Kedua, sebagai suatu sistem yang mengatur dirinya sendiri yang sama dengan suatu organisme, masyarakat mungkin mempunyai berbagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, apabila keserasiannya ingin dipertahankan. Ketiga, analisis sosiologis terhadap sistem yang mengatur dirinya sendiri dengan segala kebutuhannya harus dipusatkan pada fungsi bagian-bagian dalam memenuhi kebutuhan dan memelihara keserasiannya. Keempat, dalam sistem-sistem dengan berbagai kebutuhan, mungkin tipe-tipe struktur tertentu harus ada untuk menjamin ketahanannya (Soekanto 1986: 5). Perspektif struktural fungsional Parsons, berkaitan pula dengan tujuan untuk mewujudkan keutuhan suatu struktural sosial masyarakat (lihat Parsons dalam Hoogvelt 1995: 82).
Radcliffe-Brown merasa bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tetapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial dari suatu masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada. Menurut Radcliffe-Brown, struktur merupakan bentuk susunan unsur-unsur yang teratur. Unsur-unsur dalam struktur sosial yang terdiri atas orang-orang, yang memenuhi syarat untuk menduduki posisi dalam struktur sosial, sehingga dapat dipahamkan berfungsi kepada strukturnya. Asumsi dasar kelompok fungsional-struktural ini adalah mengekalkan keadaannya dalam jangka waktu lama, berada dalam keadaan seimbang, yaitu dalam bentuk hubungan antar anggotanya yang memiliki kepaduan tinggi. Jadi, konsep fungsi seperti ini melibatkan struktur yang terjadi dari satu rangkaian hubungan di antara unit, manakala penerusan struktur itu dapat dikekalkan melalui proses kehidupan yang terjadi dari aktivitas unit yang terdapat di dalamnya (Radcliffe-Brown 1980: 206-209).
Emile Durkheim, menekankan perhatiannya pada fenomena solidaritas sosial yang terdapat di antara para anggota masyarakat. Solidaritas sosial itu belum membentuk, yaitu hubungan diantara orang-orang di dalam suatu lingkungan kehidupan hanya bersifat kadangkala maka, tidak akan ditemukan pengaturan yang terperinci. Persoalan yang kemudian dikemukakan oleh Durkheim adalah bagaimana mengukur solidaritas itu. Fenomena tidak dapat dilihat dan diukur secara pasti, namun mempunyai lambang yang dapat ditangkap, yaitu hukum. Bertolak dari ungkapan ini selanjutnya ia melihat adanya pertalian antara jenis-jenis hukum tertentu dengan sifat solidaritas sosial (Rahardjo 1986: 103).
Hubungan antara hukum dan perubahan sosial, Weber sangat memperhatikan hubungan antara sifat kekuasaan politik di dalam suatu negara dengan hukumnya. Cara-cara penyelenggaraan hukum dan peradilan pada masa lalu menurut Weber bersumber pada cara-cara perukunan (conciliatory) antara kelompok-kelompok suku yang bersengketa. Apabila kekuasaan politik di dalam menjalankan roda pemerintahan semakin bersifat rasional maka, akan semakin besar pula kemungkinannya proses hukum di dalam masyarakat yang dijalankan secara rasional pula. Sesuai dengan semakin meningkatnya sifat-sifat rasional pengorganisasian maka, bentuk-bentuk irasional yang dipakai semakin ditinggalkan, sedangkan hukum material akan mengalami sistematisasi, yang berarti keseluruhan bidang hukum mengalami rasionalisasai (Rahardjo 1986: 105).
Konsep-konsep tersebut melandasi teori, bahwa kesenian Barongsai sebagai sistem kesenian tradisi Cina di Semarang terikat dan terbatas sebagai kesenian milik etnis Cina. Kehidupannya dalam masyarakat diatur oleh fungsinya sebagai kesenian ritual ataupun sekuler, dipengaruhi maknanya oleh struktur sosial dan politik.

METODE
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sistem sosial-budaya, antropologi, sejarah, dan politik. Pendekatan-pendekatan itu menganalisis data kualitatif dengan metode etnografi. Fokus penelitian adalah fungsi dan makna Kesenian Barongsai bagi masyarakat etnis Cina Semarang. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, studi dokumen, wawancara mendalam, dan observasi, sebagaimana yang utama digunakan dalam metode etnografi. Proses analisis data yang berlangsung selama proses penelitian ditempuh melalui tiga jalur kegiatan sebagai suatu sistem, yaitu (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) verifikasi/penarikan kesimpulan (Milles dan Huberman 1992).
Langkah terakhir dari analisis data dalam penelitian ini adalah verifikasi atau pemeriksaan keabsahan data. Pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini memakai dependabilitas dan konfirmabilitas (Lincoln dan Guba dalam Jazuli 2001: 34). Data yang didapat dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi selanjutnya ditafsirkan hingga penarikan kesimpulan lewat pembimbing dalam proses penelitian, dan melakukan pengecekan serta pengkajian silang dengan pakar atau teman sejawat, serta menggunakan member checking, yakni meminta pengecekan dari informan, pemain dan penonton.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian meliputi: asal usul Barongsai di Semarang, bentuk pertunjukan Barongsai, fungsi Barongsai bagi masyarakat etnis Cina Semarang, makna Barongsai bagi Masyarakat Cina di Semarang.


Asal Usul Barongsai di Semarang
Menelusuri asal-usul kesenian Barongsai, tidak dapat terlepas dari sejarah kedatangan bangsa Cina di Indonesia, khususnya di kota Semarang. Di kalangan warga Cina di Semarang tersiar cerita mengenai kedatangan armada Zheng He di Semarang. Seperti yang diceritakan oleh Alex Wicaksono (wawancara 10 Agustus 2008) bahwa pada pertengahan abad ke-15, Kaisar Zhu Di Dinasti Ming Tiongkok mengutus suatu armada raksasa untuk mengadakan kunjungan muhibah ke Laut Selatan. Armada itu dipimpin oleh Laksamana Zheng He (Sam Po Kong) dibantu oleh Wang Jinghong (Ong King Hong) sebagai orang kedua. Ketika armada berlayar di daerah pantai utara Jawa, Wang Jinghong mendadak sakit keras. Menurut perintah Zheng He, armada itu singgah di pelabuhan Simongan Semarang. Setelah mendarat Zheng He dan awak kapalnya menemukan sebuah gua. Gua itulah kemudian dijadikan suatu tangsi untuk sementara. Kemudian dibuatlah pondok kecil di luar gua untuk tempat peristirahatan dan pengobatan bagi Wang Jinghong. Setelah Wang Jinghong agak sembuh, Zheng He melanjutkan pelayarannya ke barat dengan meninggalkan Wang Jinghong beserta 10 orang awak kapal untuk menemaninya sambil menunggu pemulihan kesehatannya. Setelah sembuh, ternyata Wang Jinghong menjadi senang tinggal di Semarang. Akhirnya dia memimpin anak buahnya membuka lahan dan membangun rumah. Bahkan, para anak buahnya akhirnya menikah dengan orang-orang pribumi. Selain itu mereka mengembangkan usaha perdagangan di daerah pantai Semarang.
Guna menghormati Laksamana Zheng He, Wang Jinghong membuat patung Zheng He dan diletakkannya di dalam gua. Kemudian patung itu banyak disembah orang. Sejak saat itu setiap tanggal 1 bulan Imlek (Sincia) dan tanggal 15 bulan Imlek (Cap Go Meh) orang berbondong-bondong menyembah patung Sam Po Kong di gua Sam Po yang dimeriahkan dengan arak-arakan kesenian Cina berupa Liong dan Samsi (Barongsai). Beberapa tahun kemudian di tempat itu dibangunlah sebuah kelenteng yang dinamakan Gedong Batu.
Pada pertengahan kedua abad ke-19, kawasan Simongan (sekarang Gedong Batu) dikuasai oleh Johanes, seorang tuan tanah keturunan Yahudi. Yohanes menjadikan kawasan itu sebagai sumber keuntungan dengan menarik pajak yang tinggi bagi warga Cina yang akan bersembahyang di Kelenteng Gedong Batu. Demi kelanjutan kegiatan penyembahan di kelenteng Sam Po Kong Gedong Batu maka, Yayasan Sam Po Kong mengumpulkan dana untuk membuat tiruan patung Cheng Ho dan diletakkannya di Tay Kak Sie (Kelenteng Keinsyafan Besar) yang dibangun tahun 1771 di Gang Lombok, sebuah perkampungan masyarakat Cina di Semarang.
Setelah kawasan Gedong Batu jatuh ke tangan Oei Tjie Sien, ayah Oei Tiong Ham, saudagar kaya yang dikenal dengan julukan ‘Si Raja Gula’ di Indonesia, muncullah acara baru, yaitu setiap tahun baru Imlek mengarak patung duplikat dari kelenteng Tay Kak Sie di Gang Lombok ke Gedong Batu untuk meminta mukjizat dari patung aslinya. Arak-arakan yang melewati jalan-jalan besar kota Semarang tampak meriah dengan hadirnya Liong dan Samsi. Bisa diduga dari acara inilah masyarakat Semarang mengenal kesenian Barongsai.
Nama Barongsai yang dikenal di Indonesia sebenarnya berasal dari nama Samsi atau Say yang dipercaya memberi lambang pembaruan dan keselamatan. Samsi atau singa Cina ini juga dikenal sebagai Ki Lin atau Lung Ma, berasal dari masa kaisar Hok Hie sekitar tahun 4000 SM yang menerima wahyu pertama berupa Sian Thian Pat Kwa (delapan ajaran mulia wahyu Tuhan) dari seekor Lung Ma. Dari titik inilah kehidupan rakyat mulai berubah sebab mulai diperkenalkan aksara dan peradaban hingga negara dapat lebih tertib, aman, dan makmur. Seni Barongsai mengacu pada ceritera klasik Cina, yaitu Sam Kok (ceritera tiga kerajaan). Oleh karena itu Topeng Barongsai pun menggambarkan tiga temperamen, yaitu: 1) Liu Pei, Barongsai berwarna kuning dengan bulu tengkuk putih, 2) Kwan Kong, berwajah merah dengan bulu tengkuk hitam, 3) Zhang Fei, berwarna hitam atau biru berbulu tengkuk hitam atau biru (Panorama 2000: 53). Wujud topeng Barongsai yang asli (di Cina), adalah telinga seperti kerang, alis seperti ikan, dan pipi seperti ular. Wujud topeng merupakan perwujudan binatang dewa (Suhu Khong A Djong wawancara 15 Agustus 2008).

Bentuk Pertunjukan Barongsai
Pertunjukan Barongsai pada dasarnya merupakan seni pertunjukan arak-arakan, tidak menutup kemungkinan pertunjukan Barongsai berupa demonstrasi atraksi di suatu tempat. Pertunjukan Barongsai selalu diawali dengan penghormatan, dilanjutkan permainan bendera, permainan Barongsai, dan penutup. Masing-masing bagian merupakan bagian yang menyatu dan saling mendukung.

Penghormatan
Penghormatan merupakan bagian paling awal dalam setiap pertunjukan Barongsai. Penghormatan dilakukan oleh pemandu atau ketua tim kepada sesepuh Kelenteng (apabila permainan Barongsai dilakukan di Kelenteng) atau kepada pemilik rumah yang memberi derma berupa angpau serta kepada penonton di tengah arena. Sikap penghormatan pemandu atau ketua tim dilakukan dengan cara membungkukkan badan dan menelangkupkan kedua tangan di depan dada. Anggukan dengan membungkukkan badan, dilakukan tiga kali berturut-turut, yang dilanjutkan oleh pemain bendera. Sikap penghormatan pemain bendera adalah dengan memegang bendera dengan kedua tangan kemudian berjongkok. Tangkai bendera disentuhkan pada tanah dan menundukkan kepala tiga kali. Penghormatan berikutnya dilakukan oleh Barongsai dengan cara berjalan ke tengah arena. Sesampai di tengah arena, Barongsai menganggukkan kepala sambil menggerakkan kaki kanan depan tiga kali, kemudian mundur, dan meninggalkan arena.
Penghormatan pemandu barongsai dilakukan dengan tujuan memberikan rasa hormat kepada penonton, pimpinan kelenteng, atau pemberi derma. Penghormatan juga ditujukan kepada para leluhur dengan harapan agar permainan Barongsai dapat berjalan lancar tanpa gangguan.

Permainan Bendera
Permainan bendera dilakukan oleh satu atau dua orang pemain bendera. Bendera yang dibawa dan dikibarkan yang terikat pada tongkat adalah bendera perguruan atau bendera simbol masing-masing grup Barongsai yang kebanyakan berwarna dasar hitam dan berbentuk segitiga sama sisi dengan rumbai-rumbai yang berada di tepi alas segi tiga. Selain bendera perguruan, biasanya dimainkan pula bendera Persatuan Seni dan Olah Raga Barongsai Indonesia (PERSOBARIN). Bendera PERSOBARIN juga berbentuk segi tiga sama sisi dengan warna dasar merah.
Permainan bendera dilakukan dengan melakukan gerakan-gerakan cepat dan dinamis. Bendera diputar-putar dengan kedua tangan di depan dada, kemudian secara cepat dipegang tangan kanan melingkari punggung dan ditangkap oleh tangan kiri. Gerakan-gerakan cepat juga dilakukan dengan memutar bendera melingkari kaki, punggung, dan dada.

Permainan Barongsai
Bagian inti dalam pertunjukan Barongsai adalah permainan Barongsai. Pada bagian permainan ditampilkan atraksi Barongsai baik di lantai maupun di atas tonggak. Permainan Barongsai di lantai adalah atraksi-atraksi yang dimainkan oleh para pemain Barongsai tanpa menggunakan alat peraga bantu. Demonstrasi gerak di lantai biasanya dilakukan dengan gerak singa berdiri, yaitu sebuah atraksi yang dilakukan dengan mengangkat pemain bagian depan yang memegang kepala oleh pemain belakang yang menjadi badan dan ekor. Gerakan berguling, yaitu pemain depan dan belakang berguling bersama-sama ke arah yang sama, sehingga terlihat seperti singa yang sedang berguling-guling. Atraksi-atraksi di lantai divariasikan dengan pameran gerakan ekspresif, yang dilakukan dengan posisi diam, dan hanya kepala yang sedikit bergerak sambil kelopak matanya berkedip-kedip serta telinga yang digerak-gerakkan. Variasi ini dapat menghidupkan suasana karena apabila pemain Barongsai itu trampil maka, penonton akan melihat seolah-olah benar-benar seperti seekor singa yang sedang duduk, atau jongkok bahkan, dapat berkesan seperti singa yang sedang merunduk akan menangkap mangsanya.
Permainan Barongsai di atas tonggak adalah permainan yang menggunakan alat peraga bantu berupa tonggak-tonggak besi yang dijajarkan. Kadangkala antara tonggak-tonggak diberi tali berukuran besar yang digunakan untuk meniti. Permainan Barongsai di atas tonggak, dituntut adanya keterampilan pemain, kedisiplinan gerak, serta kekompakan kedua pemain depan dan belakang.
Permainan Barongsai di atas tonggak menunjukkan gerakan akrobatik dengan melompat di antara tonggak-tonggak yang berketinggian satu meter sampai tiga meter. Variasi yang sering dilakukan dalam permainan ini adalah meniti seutas tali.

Penutup
Penutup pertunjukan Barongsai, biasanya ditampilkan gerakan singa berdiri dan berjalan berkeliling arena pentas. Bagian penutup sebagai tanda, bahwa grup Barongsai itu mohon diri, mohon pamit kepada penonton maupun para sesepuh kelenteng.


Fungsi Barongsai Bagi Masyarakat Etnis Cina Semarang
Secara rinci fungsi kesenian Barongsai bagi masyarakat etnis Cina Semarang adalah ritual, hiburan dan politik.

Fungsi Ritual
Barongsai sebagai kesenian khas etnis Cina, pertumbuhan dan perkembangannya dipengaruhi oleh sistem nilai yang ada pada kelompok masyarakat pendukungnya, yaitu masyarakat Cina. termasuk nilai-nilai ritual keagamaan dan adat. Dalam konteks kehidupan ritual keagamaan, masyarakat Cina di Indonesia sebagian besar menganut ajaran Confucianisme. Confucianisme adalah suatu ajaran dari seorang nabi yang bernama Khong Hu Tju atau Kung Fu Tze. Ajaran penting dalam Confucianisme adalah lima kebajikan yang disebut Ngo Siang, yaitu: Cinta kasih (Jien), adil dan bijaksana (Gie), susila dan sopan santun (Lee), cerdas dan waspada (Tie), jujur dan ikhlas (Sien). Ajaran mengenai delapan kewajiban insan, yaitu iman dan kewajiban yang disebut Pat Tik, meliputi, berbakti (haw), rendah hati (tee), satya (tiong), susila (lee), menjunjung kebenaran, keadilan, kewajiban dan kepantasan (gie), suci hati (lian), dapat dipercaya (sien), tahu malu atau mengenal rasa harga diri (thee).
Menurut ajaran Taoisme, pada hakekatnya yang memerintah kerajaan di dunia adalah Tuhan (Thien). Hanya saja dalam pelaksanaannya diserahkan kepada Putra Tuhan sebagai perantara dunia fana dan dunia alam baka. Putra Tuhan itu adalah Yao dan Shun. Praktek ritual, kedua Putra Tuhan (Yao dan Shun) dilambangkan dengan binatang mitologi Naga dan Singa. Lambang dari kedua Putra Tuhan itulah, kemudian muncul protoptipe Naga atau Liong dan singa atau Samsi atau Barongsai.
Berdasar latar belakang kehidupan ritual masyarakat Cina, dapat diketahui, bahwa kemunculan kesenian Barongsai berawal dari kebutuhan ritual, oleh sebab itu, setiap hari raya Imlek selalu dipertunjukan Samsi dan Liong. Meskipun bentuk pertunjukannya sama dengan ketika dipertunjukkan untuk keperluan hiburan tetapi pelaksanaannya agak berbeda. Perbedaan itu terletak pada sebelum pertunjukan dimulai, biasanya topeng Barongsai itu disembahyangkan dahulu di klenteng dan diberi (ditempel) Hoo (kertas kuning bertulisan Cina, yang dipercaya dapat memberikan keselamatan (perlindungan) kepada yang memakainya) pada dahinya (Suhu Khong A Djong, wawancara 15 Agustus 2008). Berdasar uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa fungsi ritual Barongsai tetap dipertahankan kelangsungannya oleh masyarakat Cina di Semarang.

Fungsi Hiburan
Kehidupan Barongsai di Era Reformasi lebih didominasi oleh fungsinya sebagai hiburan. Barongsai sebagai seni hiburan dikemas berbeda dengan sajian ritual. Barongsai untuk upacara ritual, biasanya Barongsainya hanya satu, itupun sebelumnya harus disembahyangkan dahulu di Kelenteng dan dikasih hoo. Barongsai untuk hiburan masyarakat biasanya lebih dari satu, bisa dua sampai lima dan yang penting atraksinya, yaitu pertunjukan keterampilan pemain dalam mempertunjukkan gerakan-gerakan atraktif dan akrobatik baik di lantai maupun di tonggak. Bahkan, kadang-kadang ditambah dengan tarian-tarian.
Yosodiharjo (Yauw Ping Kwie) (wawancara 20 Agustus 2008), Ketua Perguruan Barongsai Budi Luhur yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Himpunan Liong-Samsi Jawa Tengah, mengatakan bahwa pada Era Reformasi ini kesenian Barongsai semakin berkembang penyajiannya. Perkembangan dapat dilihat dari semakin bervariasinya olah gerak yang dibawakan, warna, dan bentuk kostum. Perkembangan penyajian Barongsai tidak hanya dipentaskan pada hari besar Imlek saja, melainkan bisa dilakukan di luar Imlek seperti pesta pernikahan, peluncuran suatu produk baru sebuah perusahaan, ulang tahun suatu instansi, dan lain-lain.

Fungsi Politik
Barongsai di Era Reformasi juga tidak lepas dari kehidupan politik. Bahkan, dapat dikatakan maraknya kembali Barongsai diawali dengan tampilnya kesenian etnis Cina pada Deklarasi Partai Amanat Nasional (PAN) di Surakarta bulan Mei 1998, sekaligus sebagai ajang kampanye partai PAN dalam menghadapi Pemilihan Umum tahun 1999. Muncullah Barongsai pada kegiatan-kegiatan kampanye yang dilaksanakan oleh partai-partai lain, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan lain-lain. Salah satu bukti aktivitas Barongsai pada dunia politik adalah berdirinya kelompok Barongsai di desa Gabahan, kecamatan Semarang Tengah yang diprakarsai oleh DPC PDI-P pada tahun 2000.
Barongsai sebagai alat propaganda politik, pada dasarnya penampilan Barongsai sama dengan ketika ditampilkan sebagai hiburan. Perbedaannya hanya pada warna busana yang disesuaikan dengan simbol warna partai. Secara kebetulan warna-warna simbol partai itu secara tradisional telah ada pada permainan Barongsai, seperti warna merah, biru atau hijau. Penampilan Barongsai itu berkaitan dengan propaganda politik salah satu partai, maka hanya akan memakai warna simbol partai bersangkutan yang dipakai.

Makna Barongsai Bagi Masyarakat Cina di Semarang
Barongsai bagi masyarkat etnis Cina mempunyai makna simbolik dan makna strategis.

Makna Simbolis
Eksistensi Barongsai merupakan bagian integral dari kebutuhan simbolisasi masyarakat Cina di Indonesia. Barongsai bukan sekedar sebagai alat pernyataan diri tetapi juga sebagai bentuk pernyataan diri. Kesenian khas ‘ras’ Cina, Barongsai dipertahankan demi eksistensi kelompok, yang dibuktikan selama 32 tahun tidak diperbolehkan menampakkan diri tetapi ternyata tidak mati. Santosa (Khong Fan Shen) mengatakan, bahwa pada masa Orde Baru, walaupun Barongsai dilarang tampil di muka umum, di Semarang masih terdapat enam grup besar yang tetap bertahan. Enam grup Barongsai itu adalah: Djin Hoo Tong, Hoo Haap, Dharma Asih, Porsigap, Budi Luhur, dan Ju Djie. Pada masa itu mereka hanya tampil untuk kepentingan upacara di kelenteng seperti Sampoo, yaitu peringatan datangnya Sampoo Tay Jien ke Semarang, biasanya pada bulan Agustus (Santosa wawancara 20 Agustus 2008). Begitu datang kebebasan melalui Era Reformasi, maka Barongsai langsung bermunculan, bahkan cenderung merebak memenuhi khazanah kesenian tradisional ‘baru’. Santosa juga mengatakan, bahwa Barongsai bagi masyarakat Cina khususnya di Semarang merupakan lambang keberuntungan. Masyarakat Cina di Semarang percaya, jika masyarakat Cina memberikan angpau kepada Barongsai, kelak akan mendapat limpahan rejeki dari dewa, oleh sebab itu saat dilaksanakan arak-arakan Barongsai pada hari raya Imlek atau Cap Go Meh, mereka berusaha untuk memasukkan angpau ke mulut Barongsai.

Makna Strategis
Makna strategis Barongsai adalah sebagai sarana interaksi sosial antara masyarakat Cina dan pribumi. Interaksi sosial berfungsi menjaga norma-norma sosial di dalam dan di luar komunitas Cina sebagai golongan minoritas. Sumber utama dari permasalahan golongan minoritas Cina di Semarang adalah tata kehidupan yang berlaku dalam tradisi masyarakatnya, terutama sikap fanatisme terhadap tradisi negara leluhurnya.
Keyakinan masyarakat Cina secara tradisional adalah bagaimana seharusnya manusia hidup bermasyarakat dengan konsep Tao. Akibatnya, orang-orang Cina yang tinggal di Semarang membentuk suatu kelompok yang saling mendukung antar anggota kelompok, sehingga masyarakat pribumi (Indonesia asli) dengan jelas dapat membedakan orang pribumi dan non pribumi atau keturunan, demikian pula dengan kehidupan kebudayaannya, termasuk kesenian Barongsai yang dianggap hanya milik masyarakat non pribumi.
Kenyataannya, ternyata kehidupan Barongsai justru memiliki makna strategis dalam menghilangkan anggapan itu karena Barongsai dapat mendekatkan diri pada tujuan pembauran masyarakat Cina dengan masyarakat pribumi. Handoyo (Wawancara 20 Agustus 2008) mengatakan, anggota grup-grup Barongsai di Semarang kebanyakan orang pribumi. Hal ini terutama banyaknya anak-anak yang tertarik dengan permainan Barongsai yang sekaligus mereka dibekali ilmu bela diri Wu-shu.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Barongsai adalah sebuah kesenian yang berasal dari Cina yang masuk ke Indonesia khususnya di Semarang yang dibawa oleh para sudagar Cina. Bentuk pertunjukan Barongsai terbagi ke dalam tiga tahap, yaitu permainan bendera, permainan Barongsai, dan penutup. Fungsi kesenian Barongsai bagi masyarakat etnis Cina Semarang adalah fungsi ritual, fungsi hiburan dan fungsi politik. Makna kesenian Barongsai bagi masyarakat etnis Cina Semarang adalah makna simbolik dan makna strategis.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian, saran-saran yang dapat disampaikan adalah :
1. Bagi pemerintah Kota Semarang, diharapkan untuk lebih memperhatikan keberadaan kesenian Barongsai dengan cara memberikan tempat, waktu dan kesempatan kesenian Barongsai untuk berkembang.
2. Bagi masyarakat umum, diharapkan untuk lebih dapat memberikan apresiasi yang positif kepada kelompok kesenian Barongsai.
3. Bagi kelompok kesenian Barongsai, diharapkan untuk lebih dapat mengembangkan diri dengan cara mengemas kesenian tersebut menjadi lebih menarik sehingga mampu diterima oleh masyarakat umum.



DAFTAR PUSTAKA
De Graf , H. J. 1998. Cina Muslim di Jawa abad XV dan XVI antara Historistas dan mitos. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Halim, Budi Haliman. 1999. "Kisah Haji Ong Keng". Harian Suara merdeka terbitan 19 September 1999. Semarang: Suara Merdeka Press.
Hayakawa. S.I. 1949. Language in Throught and Action. New York: Hancourt, Brace and Company.
Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Terj. Soedarsono, Bandung: MSPI.
Hoogvelt. Ankie M. M. 1995. Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Jazuli, M. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Semarang: Universitas Negeri Semarang Press.
Miles, M. B. Dan A. M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Terj. Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press.
Oetomo, Dede. 2000. Sang Naga dan Budaya Tionghoa Menuju Indonesia Baru. Jurnal Budaya dan Filsafat Mitra, Edisi 04. Bandung .
Parsons. Talcott. 1986. Fungsionalisme Imperatif. Terj. Soerjono Soekanto, Jakarta: CV Rajawali.

Radcliffe- Brown, A. R. 1980. Struktur dan Fungsi dalam Masyarakat Primitif. Terj. E.E. Evans-Pritchard dan Fred Eggan, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Rahardjo, Satjipto. 1986. Hukum dan Masyarakat. Bandung: Angkasa.
Rahmanto, B. 1992. Simbolisme Dalam Seni. Yogyakarta: BASIS, Jawanisasi Kebudayaan Indonesia edisi Maret 1992-XLI-no.3.
Rohidi, Tjetjep Rohendi. 1994. Pendekatan Sosial Budaya Dalam Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Press.
------------------------------. 2000. Ekspresi Seni Orang Miskin, Adaptasi Simbolik terhadap Kemiskinan. Bandung: Penerbit Nuansa.
Sastroatmodjo, Sudiono. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press.
Soekanto, Soerjono. 1991. Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Triyanto. 2001. Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus. Semarang: Kelompok Studi Mekar.
Wibowo, Wibisono. I. Ed. 1977. Simbol Menurut Sussanne K. Langer. Dari Sudut-Sudut Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
------------------------------..1999. Restrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah. Cina. Jakarta: PT Gramedia.
Yahya, Junus. 1998. ”Masalah Tionghoa di Indonesia” dalam Masalah dalam Kapok Jadi Nonpri : Warga Tionghoa Mencari Keadilan. Alfian Hamzah (ed). Bandung: Zaman Wacana.

This article is taken from Harmonia Vol IX No 1, June 2009)

Read More ..

SENI PEMBEBASAN : ESTETIKA SEBAGAI MEDIA PENYADARAN

Oleh :



Ahmad Zaenuri (Dosen STIKES Muhammadiyah Gombong)


dan Wahyu Lestari (Dosen Jurusan Seni Tari Unnes)



ABSTRACK
Aesthetic is not only presents beauty that give pleasure without any interest of the sense, but also gives an recognition for people in terms of developing social, economic, politic, and culture phenomenon. Aesthetic which gives beauty has essence of recognition social and culture phenomenon changes system and culture, changes value system in society. Reality life is imagination, fantasy, and absurd dreams, whereas the truth and kindness of beauty only occur in ideas which create beauty of life management and the value of culture system itself. Art as a media of freedom is an effective alternative as a means of massage delivery about situation of social life that grow attempts of policies of decision maker and global capitalism who create system of culture value in society for capitalist interest.

Kata Kunci : estetika, penyadaran, seni, pembebasan



PENDAHULUAN
Estetika yang dipahami selama ini hanya sebuah keindahan yang muncul akibat dari pencerapan indera dan tidak berkepentingan sehingga menimbulkan sebuah kesenangan tanpa kepentingan (disinterested pleasure). Estetika tidak menghadirkan sesuatu yang lain dari sebuah keindahan dari pencerapan indera tanpa tendensi. Perkembangan seni tidak melulu pada estetika yang positivistik, namun lebih dari itu, keindahan dalam arti universal yang menilai sesuatu dapat ditinjau dari segi manapun. Estetika sebagai usaha pendidikan dan dekonstruksi atas ideologi dominan dan membangkitkan rasa keadilan.
Postmodernisme merubah cara pandang estetika dari keindahan yang memiliki batasan-batasan estetis berdasar hukum estetika dari keindahan yang memiliki batasan-batasan estetis berdasar hukum estetika menjadi estetika sebagai keindahan dalam pandangan yang multidimensional dan multikultural.
Estetika memiliki nilai keindahan dalam berbagai segi, nilai, struktur, esensi dan lain sebagainya dalam tinjauan dari berbagai sisi estetika dan cara pandangnya. Estetika merupakan media yang efektif sebagai proses penyadaran bagi masyarakat akan fenomena yang sedang terjadi. Estetika mampu menghadirkan fenomena pertentangan antara yang menindas dan yang tertindas dengan menggunakan ideologi dan kebudayaan tanpa kekerasan lebih berarti sebagai perjuangan menuju pada pembebasan dari ketidakadilan.
Seni pembebasan merupakan bentuk ekspresi dari segala bentuk tekanan psikis alam tidak sadar dalam diri individu ataupun tekanan dalam lingkungan masyarakat sebagai sebuah fenomena. Ekspresi seni menjadi media penting bagi tersampaikannya pesan-pesan sosial maupun individual. Seni dapat sebagai media penyadaran bagi masyarakat sosial terhadap fenomena atau kebijakan-kebijakan nilai dalam kehidupan masyarakat. Ekspresi seni tidak saja berdimensi pada pemberian makna terhadap realitas sosial tetapi lebih sebagai media pembangkitan kesadaran kritis dan aksi perubahan.
Kesadaran masyarakat akan arti penting peran masyarakat terhadap suatu fenomena sosial dan budaya dalam masyarakat yang berkembang perlu proses pemahaman suatu fenomena budaya yang sedang terjadi di dalamnya. Proses penyadaran dapat dilakukan melalui perenungan yang dilakukan oleh individu ataupun secara kolektif. Sachari (2000: 122) mengatakan :
Pergeseran nilai estetik yang dipahami sebagai suatu penyadaran (concientization) merupakan proses pemahaman suatu fenomena budaya, dan pengambilan tindakan untuk memilih unsur-unsur positif dari terjadinya pergeseran-pergeseran tersebut. Penyadaran dapat dilakukan melalui perenungan yang dilakukan oleh pribadi-pribadi, maupun sikap kritis terhadap fenomena yang terjadi.

Estetika yang sudah mengalami pergeseran, bukan lagi milik sekelompok elit perancang atau seniman yang berbakat (elitis), tetapi estetika merupakan milik masyarakat sebagai bentuk kekayaan budaya dan media ekspresi dari kehidupan sosial masyarakat. Penyadaran melalui media seni dalam lingkungan masyarakat melibatkan seniman sebagai mediator antara gejala dalam masyarakat dan penentu kebijakan sistem dan budaya. Freire (Sachari 2002: 27) mengatakan bahwa berekspresi melalui kesenian, hakekatnya juga memberi pendidikan kepada masyarakat secara lebih bermakna.
Nilai-nilai estetika sering hanya sebagai kreativitas seniman melalui media seni, namun dibalik itu, seni memiliki sisi lain yang penting bagi masyarakat, karena seni dapat memberi inspirasi, pemahaman, apresiasi, dan pengalaman estetis yang esensial dalam proses penyadaran. Dalam kerangka teori sosial dan kebudayaan kritis, aktivitas seniman dapat dipahami tidak hanya sebagai aktivitas ritual, namun yang dilakukan seniman yang oleh Freire (Sachari 2002: 27) dikatakan sebagai “aksi kultural” untuk pembebasan. Seni lebih berpihak pada rakyat atau lebih dikatakan seni kerakyatan, menganalisis secara kritis segala bentuk kebijakan, fenomena masyarakat sosial dan budaya serta sistem yang ada untuk diperjuangkan agar lebih berpihak pada rakyat bukan sebagai “rekayasa budaya” yang membuat rakyat tunduk pada struktur yang ada.


KESADARAN SOSIAL DAN BUDAYA DALAM SENI PEMBEBASAN

Seni sebagai buah karya cipta manusia yang menampilkan keindahan sebagai hasil realisasi dari ide, imajinasi, fantasi, mimpi, dan/atau bentuk neurosis, tekanan mental, psikis, ketergantungan, ketidakberdayaan, kecemasan (anxiety), ketakutan (phobia), dan segala bentuk gangguan psikologis lainnya, mampu memberikan kontribusi bagi masyarakat dalam konteks sosial dan budaya. Ide-ide kreatif dalam karya seni adalah manifestasi dari kejeniusan seniman mensublimasikan bentuk represi sehingga menjadi sebuah karya seni yang indah. Perkembangan seni tidak hanya pada tataran keindahan tanpa makna, tetapi lebih jauh pada esensi yang terkandung dalam karya seni yang diciptakan, jadi bukan hanya bentuk fisik yang menampilkan keindahan estetis, namun dibalik karya seni memiliki roh yang mampu memberikan pencerahan yang mempengaruhi perenungan bagi penikmat atau audiensi untuk mencapai kesadaran estetis.
Estetika tidak lagi bersifat eksklusif dan elit karena masyarakat memiliki peran penting di dalamnya. Estetika, dalam perkembangannya tidak lagi menjadi monopoli, milik segelintir orang saja dalam masyarakat karena sebagian besar masyarakat mampu memiliki dan menikmati hasil-hasil karya seni (Marcuse dalam Sachari 2002: 31). Estetika seni dapat menjadi proses penyadaran bagi masyarakat pada tingkatan kesadaran dalam analisis Freire (Fakih dalam Moelyono 1997: xv), yaitu kesadaran yang magis (magical consciousness) yang tidak mampu melihat keterkaitan kemiskinan dengan sistem politik dan kebudayaan dan kesadaran kebudayaan naïf (naifal consciousness) memandang “aspek manusia” yang menjadi akar penyebab masalah masyarakat, timbulnya kemiskinan disebabkan “salah” masyarakat sendiri sehingga kebudayaan dan kesenian tidak mempertanyakan sistem dan struktur karena sudah dianggap baik dan benar merupakan faktor given, menuju pada perubahan sosial pada kesadaran kritis.
Analisis Hubermas membagi paradigma pengetahuan yang berlaku dalam kebudayaan terbagi dalam tiga aliran. Pertama, kebudayaan instrumental, ekspresi budaya dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi obyeknya, yang dimaksudkan sebagai paradigma Positivisme-istilah yang diberikan Comte. Positivisme, pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari pandangan, metode dan teknik ilmu alam dalam memahami realitas dan bahwa hukum alam mengendalikan manusia dan gejala sosial dapat dipergunakan sebagai dasar untuk melakukan pembaruan-pembaruan sosial dan politik untuk menyelaraskan institusi-institusi masyarakat dengan hukum-hukum itu (Johnson 1986: 80). Positivisme mengambil ilmu alam menguasai obyeknya dengan kepercayaan adanya universalisme dan generlisasi melalui metode determinasi fixed law atau kumpulan hukum teori. Positivisme percaya bahwa strategi budaya harus didekati dengan ilmiah, obyektif, bebas nilai, dan bersifat universal, yang mensyaratkan pemisahan fakta dan nilai demi obyektivitas. Obyektivitas, empiris, tidak memihak, detachment, rasional dan bebas nilai mempengaruhi strategi budaya yang dominan. Ekspresi kebudayaan bersifat fabrikasi yang mekanistik dalam suatu kerangka “industri kesenian” dan sangat tidak toleran terhadap segala bentuk budaya non-modernisasi dan disebut tradisional. Kebudayaan dominan bersifat a-historis dengan mengolaborasi model masyarakat dengan mengisolasi banyak variabel. Dasar asumsi budaya dominan bahwa sesungguhnya tidak ada masalah dalam sistem yang ada, masalahnya terletak pada mentalitas, kreativitas, motivasi, keterampilan teknis, serta kecerdasan rakyat (Fakih dalam Moelyono: XV).
Tradisi liberal juga berpengaruh pada kebudayaan dominan dan menguat bersamaan dengan dominannya globalisasi ekonomi “liberal” kapitalisme. Kebudayan liberal menjadi bagian dari ideologi budaya modernisasi, dengan asumsi bahwa keterbelakangan budaya rakyat disebabkan oleh mentalitas budaya rakyat yang tidak sesuai dengan modernisasi dan kapitalisme. Kebudayaan dominan semakin melanggengkan kelas, penindasan, dominansi gender dan gagal mentransformasikan struktur dan sistem yang ada untuk lebih adil.
Paradigma pengetahuan kedua adalah paradigma interpretatif (fenomenology) yang setara dengan paradigma dominatif kesadaran naïf-nya Freire. Menurut paradigma interpretatif bahwa sosial maupun kebudayaan selayaknya lebih ditujukan untuk memahami obyek seni dan budaya sebaik mungkin. Ungkapan ketidakpuasan terhadap positivisme dengan menggunakan semboyan “biarkan realitas berbicara tentang diri mereka sendiri”, tanpa suatu rekayasa, campur tangan, dan tafsiran. Aksi kultural dalam aliran ini lebih sebagai “konservasi” terhadap budaya tradisional, etnik, dan estetika lokal dari suatu ekspresi budaya, dalam hal ini seni dimaksudkan sebagai proteksi dan apresiasi. Seniman dapat menganggap bahwa kehidupan sebagai sebuah mimpi atau alam yang abstrak dari harapan dan cita-cita akan realitas kebenaran. Seniman mengharapkan adanya kebenaran yang nyata dalam kehidupan bukan hanya kebenaran yang fiktif, dan kebenaran yang nyata hanya dalam dunia realitas cuma suatu khayalan, yang kita julukkan pada realitas dengan imajinasi kita.
Seni tidak sekadar menampilkan nilai estetik, tetapi terkandung kepentingan untuk menguasai (Freire dalam Sachari 2002: 27). Seni, dalam hal ini merupakan media untuk melihat realitas kehidupan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya melalui karya yang estetis, namun demikian karya seni mengandung hasrat untuk berkuasa agar terjadi perubahan dalam kehidupan sosial dari dehumanisasi. Proses “memanusiakan manusia” sebagai gagasan Feire, melihat kebudayaan sebagai bagian dari sistem masyarakat yang justru melanggengkan dehumanisasi. Tugas seniman adalah menolak sistem dehumanisasi yang memandang rendah manusia melalui media seni. Camus (Sachari 2002: 25) mengatakan :
Dalam menciptakan karya seni, seorang seniman hendak menghadirkan dunia tidak sebagaimana adanya, tetapi sebagaimana yang dirasakan dan dipahaminya, dunia yang diinginkannya meskipun fenomena ini absurd. Menjadi seniman dan kemudian menciptakan karya seni, hakekatnya telah melakukan pemberontakan terhadap absurditas. Pemberontak adalah seorang yang kreatif.

Seniman, dalam berkarya seni menampilkan dunia yang absurd dari alam bawah sadar dan disimbolisasikan dalam karya seninya. Penggambaran alam pikiran bawah sadar menjadi obyek yang imajinatif dan fantastik merupakan salah satu metode sublimasi atas dorongan psikis yang telah mengalami represi. Karya seni merupakan gambaran dari harapan, mimpi, imajinasi dan fantasi dan atau bahkan merupakan bentuk pengungkapan emosi yang neurosis, kecemasan, ketakutan dan lain sebagainya. Freud (dNelson (ed) 2003: 164-165) mengatakan dalam teori psikoanalisisnya bahwa seni lahir hasil dari neurosis karena proses imajinasi kreatif dalam bentuk simbol, sedangkan simptom neurosis juga berbentuk simbol. Energi neurosis dibelokkan dari masalah realistis untuk menangani konflik batin. Hasil karya seni yang besar diciptakan oleh seniman neurotik, tapi keberhasilannya menunjukkan kekuatan genius untuk mengalahkan penyakit. Seni merupakan proses simbolisasi oleh seniman dari dorongan psikisnya. Fantasi akan menjadi seni jika diungkapkan dan dikontrol oleh ego yang bertanggungjawab, realistis dan logis. Camus (Sachari 2001: 26) mengatakan bahwa di luar bingkai, seniman adalah orang yang menolak dan sekaligus menerima dunia. Seniman juga ingin mengubah dunia menjadi lebih indah, lebih teratur, dan lebih bermakna.

SENI SEBAGAI KRITIK SOSIAL
Seni memiliki arti penting dalam kehidupan sebagai media kritik terhadap realitas sosial baik dilakukan oleh individu maupun secara kolektif oleh sekelompok seniman. Langer (The Liang Gie 1996: 30) mengatakan :
Seni merupakan ujung tombak dari perkembangan manusia, sosial, dan individual. Usaha merendahkan seni merupakan gejala yang paling pasti dari kemerosotan suku bangsa. Pertumbuhan suatu seni baru atau bahkan suatu gaya yang besar dan radikal senantiasa memperlihatkan suatu budi pikiran yang muda dan penuh semangat, secara kolektif atau sendirian.

Perkembangan manusia dalam kehidupan sosial tidak pernah lepas dari estetika, karena estetika merupakan bagian yang erat kaitannya dengan kehidupan manusia baik secara individual maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Estetika, dalam kehidupan manusia tampak dalam berbagai desain suatu benda baik yang menonjolkan sifat estetisnya-keindahan sebagai sebuah kesenangan atas obyek indra-maupun berdasarkan fungsinya yang tetap tidak akan meninggalkan nilai-nilai estetis.
Seniman, dalam menciptakan karya seni tidak hanya menggambarkan sebuah realitas kehidupan, tetapi lebih dari itu melukiskan harapan yang menjadi impian dari realitas kehidupan agar dapat mengalami perubahan. Dalam hal ini, seniman melukiskan mimpinya akan realitas kehidupan yang menjadi harapan bagi seniman dan masyarakat luas. Klee (Lash 2004: 107) mengatakan bahwa melukis tidak untuk menafsirkan yang kelihatan, melainkan menerjemahkan agar menjadi kelihatan.
Seni pembebasan pada dasarnya memiliki makna ganda, yaitu seni berfungsi sebagai sublimasi dari bentuk tekanan energi psikis yang bersifat individual dan diekspresikan dalam karya seni; dan seni sebagai bentuk penyadaran bagi masyarakat terhadap fenomena sosial dari kepekaan sosial terhadap situasi kehidupan sosial dan budaya yang berkembang, dalam hal ini seni berfungsi sebagai media kritik terhadap kenyataan agar terjadi perubahan dalam sistem sosial dan budaya dalam masyarakat yang sesuai dengan harapan. Realitas sosial menjadi obyek bagi seniman untuk dikritisi atas segala kekurangan, ketidakadilan, penindasan, gender, dan lain sebagainya yang sedang terjadi dalam kehidupan sosial budaya sebagai akibat dari kekuasaan kaum kapitalis.
Media kritik sosial yang paling efektif dan efisien serta mampu menampilkan keindahan estetis akan sangat menarik bagi masyarakat untuk merespon keindahan pada tampilan awal untuk kemudian memberikan apresiasinya dengan pemahaman dan perenungannya akan karya seni yang ditampilkan, dan akhirnya menimbulkan kesan yang mendalam bagi audiens. Kesadaran masyarakat terhadap nilai budaya yang berkembang akan mempengaruhi sistem nilai dalam masyarakat dan kebijakan-kebijakan dalam pembentukan struktur sistem budaya oleh pihak-pihak penentu kebijakan.
Kesadaran seni sebagai media pembebasan diharapkan mampu mencapai tingkatan kesadaran ketiga dalam pendapat Freire, yaitu kesadaran budaya kritis. Kesadaran menurut Freire (Fakih dalam Moelyono 1997: xvii) sebagai kesadaran budaya kritis yang pada dasarnya melihat kaitan antara ideologi dan struktur sosial sebagai sumber masalah yang menganalisis secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi, gender, dan budaya serta akibatnya pada masyarakat. Paradigma kritis mampu mengindentifikasi “ketidakadilan” dalam sistem yang ada yang kemudian mampu menganalisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana mengubahnya.
Kebudayaan kritis menciptakan ruang agar rakyat terlibat dalam menciptakan struktur yang secara fundamentas baru dan lebih baik sebagai sebuah bentuk pembebasan manusia. Kebudayaan kritis memberikan legitimasi terhadap seni resistensi dan pembebasan yang dianggap “tidak estetik”, dan berfungsi sebagai kritik terhadap paradigma kebudayaan modernisasi. Aksi kultural dari kebudayaan kritis mentransformasi hubungan seniman dan rakyat menjadi hubungan yang lebih adil. Seniman, melalui media karya seninya harus kritis terhadap fenomena masyarakat dan budaya yang semakin didominasi oleh kapitalis dan penguasa dengan memperalat budaya sebagai sistem untuk mengendalikan kehidupan sosial.

SENI PEMBEBASAN
Estetika merupakan hal yang paling dekat dengan kehidupan manusia sehingga proses penyadaran melalui media estetika sangat mudah mempengaruhi kehidupan dan kebudayan dalam masyarakat. Proses penyadaran dalam kehidupan sosial lebih mudah melalui media seni, karena pemahaman masyarakat akan seni masih bersifat positivistik sehingga perlu adanya pemberian pengalaman estetis yang lebih mendalam bahwa estetika tidak hanya menampilkan keindahan namun dibalik keindahan yang ditampilkan memiliki filosofi dan esensi yang lebih dalam.
Seni sebagai media komunikasi antara seniman dengan audiens, dalam hal ini seniman mengungkapkan segala bentuk tekanan psikisnya lewat karyanya sehingga audiens dapat memahami apa yang disampaikan oleh seniman. Proses pemahaman terhadap karya seni tergantung dari pengalaman estetis audiens terhadap karya seni. Seni memberi seniman dan audiens denyut kesadaran baik atas keinginan manusia dan realita yang menghalangi dan memenuhi mereka (Freud dalam Nelson 2003: 166).
Seni pembebasan berperan sebagai media pembebasan dari segala bentuk ketertindasan, kebijakan yang menekan dan memperalat masyarakat, dan sebagai media komunikasi dari berbagai fenomena yang muncul dalam masyarakat sehingga terbangun kesadaran terhadap budaya masyarakat yang adil. Karya seni adalah karya kreatif. Tetapi apa yang diciptakan oleh karya seni bukanlah obyek, melainkan sebuah hasil kritis mengenai segala sesuatu yang ada (Soetomo 2003: 14). Tugas seniman adalah bersikap kritis terhadap realitas kehidupan, ketidakadilan, ekploitasi, dan segala bentuk penindasan baik oleh penentu kebijakan maupun kapitalis. Hegel (Soetomo 2003: 14) mengenai status dan fungsi seni, mengatakan bahwa seni bersikap kritis terhadap dunia untuk menciptakan rasa rindu akan perasaan keindahan yang mampu menyingkirkan segala yang buruk dan tercela dalam realitas politik praktis. Mimpi, fantasi, harapan, keinginan, dan imajinasi akan keindahan kehidupan dunia, yaitu kehidupan yang demokratis, adil, tidak ada pembatasan kelas, dan sebagainya akan menjadi kenyataan jika masyarakat kritis dalam menghadapi situasi sosial dan budaya agar sesuai dengan harapan.
Krisis kultural yang terjadi akibat dari kegagalan dari fungsi seni dalam memainkan posisi kritis sehingga gagal memperjuangkan keindahan sebagai alternatif historis terhadap irrasionalitas yang buruk dari dunia. Karya seni tidak melulu sebagai media ungkapan pribadi seniman tanpa kepekaan sosial terhadap fenomena di lingkungan masyarakat dan budaya yang berkembang. Nilai-nilai seni yang dihadirkan tidak hanya sebagai media komunikasi pribadi yang tidak memperdulikan lingkungan sosialnya.
Seni pembebasan merupakan upaya memberikan penyadaran kepada masyarakat akan arti penting dalam kehidupan, keindahan dalam perilaku, keseimbangan hidup tanpa penindasan, persamaan hak dan kewajiban. Siahaan (Miklouho-Maklai 1997: 107) merumuskan bahwa seni pembebasan itu kemerdekaan individual bagi pembebasan mayoritas kemanusiaan.
Karya-karya seni yang hanya menampilkan keindahan, meromantisasi kemiskinan telah merusak nilai-nilai yang membawa semangat pembaruan kemanusiaan bagi seni, karena kemanusiaanlah yang sesungguhnya menderita karena diracuni oleh kebodohan oleh penipuan minoritas yang menyangkal nilai dan hak apapun bagi mayoritas (Siahaan dalam Miklouho-Maklai 1997: 106). Karya seni sebagai media pengungkapan dari bentuk realitas atas pemahaman seniman memberikan penyadaran bagi kehidupan nyata dan mengkritisi begaimana caranya untuk menciptakan sebuah keindahan sebagaimana harapan, mimpi, dan perubahan yang diharapkan pada realitas sosial. Seni, tanpa kepekaan sosial memiskinkan nilai-nilai estetika.
Proses penyadaran kepada masyarakat tentang fenomena dalam lingkungan politik, sosial, ekonomi, dan budaya menjadi tugas yang berat karena sistem yang ada adalah produk dari kebijakan orang yang berkuasa dan kapitalis. Penindasan, pemiskinan, patriarkal, dan segala bentuk perendahan nilai-nilai kemanusiaan terus berlanjut selama kekuasaan berada di pihak penentu kebijakan dan kapitalis. Marx (Brown 2005: 23) melihat para buruh semakin dimiskinkan seperti yang dilakukan oleh kaum kapitalis. Pemiskinan ini belum mencapai perkembangan yang lengkap dalam kaitannya dengan kekuatan perjuangan kelas pekerja yang seluruhnya merupakan sejarah kapitalisme.
Perjuangan masyarakat melawan penindasan, kemiskinan, ketidakadilan, patriarki, dan lain sebagainya merupakan usaha untuk melakukan perubahan dalam sistem budaya yang diterapkan oleh penguasa sebagai alat dalam menentukan kebijakan-kebijakan politiknya dan kaum kapitalis yang menciptakan budak-budak dari rakyat kecil demi kepentingannya dan pemodal dari kaum kapitalis. Penindasan melalui budaya sifatnya perlahan-lahan yang berupa hal-hal yang tidak disadari, seperti budaya konsumtif, mode, ketimpangan sosial, budaya kelas dengan pembodohan, ketidakadilan, kebijakan, eksploitasi dan lain sebagainya yang lambat laun mempengaruhi budaya merasa agar menjadi obyek untuk permainan bagi kaum kapitalis dan penentu kebijakan sebagai pemegang kekuasaan.
Penyadaran pada masyarakat menjadi hal yang esensial untuk mengkritisi realita sosial agar terjadi perubahan karena dalam perilaku ketidaksadaran manusia sudah menjadi budak bagi kaum penindas demi kepentingannya. Proses penyadaran melalui media seni perlu adanya kepekaan sosial dan keberanian dari seniman dan masyarakat-sebagai audiens-secara umum untuk mengungkapkan segala bentuk tekanan psikologis dalam jiwa masyarakat. Karya seni adalah kompleks dari berbagai fenomena rasa yang memberikan pengaruh dan membentuk “ada”nya (Benjamin dalam Soetomo 2003: 17).
Soetomo (2003: 27) mengatakan bahwa kebudayaan, di bawah kapitalisme menjadi salah satu fungsi industri. Berbeda dengan industri-industri yang lain, industri kebudayaan menjadi pilar untuk terus memelihara sistem kapitalisme. Kapitalisme melalui budaya mengubah sistem menjadi keberpihakan terhadap budaya kapitalistik dan dalam ketidaksadarannya, masyarakat sudah menjadi budak kepentingan kapitalis. Kebudayaan industri telah menghasilkan kebudayaan massa yang mediocre. Hiburan sudah menjadi prinsip kebudayaan massa. Kebudayaan industri menciptakan isi hiburan yang digunakan untuk melangsungkan dirinya sendiri tanpa mempedulikan pengaruhnya bagi perkembangan masyarakat karena tendensi kepentingan.
Realitas yang terjadi adalah bahwa karya seni mengalami krisis, seni tidak bebas lagi memainkan peranannya untuk menyebarkan keindahan, melainkan tergantung pada banyak aspek sehingga seni menyingkirkan keindahan karena mengikuti kekejaman fasis. Krisis kebudayaan sehingga kebudayaan menjadi afirmatif, menjadi simbol kematian untuk kesadaran manusia. Kebudayaan industri menjadi berperan sebagai institusi suprastruktur atas transformasi teknologi seni dan kebudayaan (Soetomo 2003: 28). Seperti yang dikatakan Marcuse (Sachari 2002: 30), bahwa :
Dalam masyarakat industri modern, karya-karya seni serta kebudayaan sudah merosot menjadi alat pengikat sosial. Karya seni tidak lagi menggambarkan dan menunjukkan dimensi hidup “ yang lain”, tetapi justru merupakan pendukung wacana yang mapan. Pemerosotan tersebut tampak dari kenyataan bahwa karya-karya seni dewasa ini lebih merupakan obyek perdagangan yang lebih mengutamakan nilai tukar daripada nilai seninya. Karya estetik jatuh menjadi komoditas, seperti halnya produk-produk industri .

Nilai-nilai dalam karya seni merosot seperti produk industri atau bahkan lebih rendah lagi, hal ini disebabkan lemahnya estetika seni sebagai sebuah karya seni yang memiliki nilai seni yang tinggi menjadi barang produksi karena sistem yang sudah dikuasai oleh kapitalis, sementara seni tidak mampu lagi sebagai media penyadaran bagi masyarakat dan bahkan mengikuti arus sistem industrialisasi kapitalis. Penghargaan terhadap karya seni sebagai sebuah karya yang memiliki esensi bagi seniman dan masyarakat semakin rendah yang justru dikalahkan oleh produk-produk industri yang dimainkan oleh kapitalis.
Relasi kekuasaan dalam budaya dominan menciptakan “industri kesenian” yang mendominasi massa media dan rakyat sebagai obyek kesenian diletakkan dalam rangka mengontrol mereka. Hubungan kekuasaan dalam industri melalui proses budaya “pendisiplinan dan normalisasi” berlangsung antara mereka yang berkuasa dengan rakyat dan seniman dengan obyeknya dengan bentuk subjection, yaitu menjadikan masyarakat melalui obyek kebudayaan sehingga industri kebudayaan menghasilkan dominasi ideologi dan budaya. Kesenian telah menjadi alat penjinakkan dan dominasi untuk melicinkan perampasan dan penggusuran ekonomi dan politik kaum marjinal.
Globalisasi ekonomi telah melegitimasi lebarnya jurang antara Negara kaya dan miskin serta ikut memperkokoh struktur budaya yang meletakkan masyarakat miskin menjadi bagian yang ditundukkan secara kultural. Keberhasilan modernisasi akan membawa dunia berdasar nilai tunggal yang menghilangkan keanekaragaman budaya dan menyingkirkan berbagai bentuk alternative kehidupan dan bermasyarakat.
Seni pembebasan sebagai bentuk resistensi dari hegemoni-istilah yang disampaikan Gramsci sebagai kepasarahan (concent) dan pemaksaan (coercion)-yang diciptakan oleh kapitalis dan mereka yang berkuasa agar buruh dan rakyat menundukkan/menyetujui dan memihak pada dominasi yang ada. Rekayasa budaya telah menjadi senjata bagi ideologi dominan untuk melancarkan hegemoni, dalam rangka menundukkan ideologi, politik, dan ekonomi kelompok yang didominasi. Aksi kultural lewat media seni bagi seniman tidak sekedar demi kepentingan golongan yang tergusur saja, namun secara mendalam merupakan proses pembangkitan kesadaran krisis terhadap proses dehumanisasi.

PENUTUP
Seni merupakan media ekspresi bebas sebagai ungkapan dari tekanan-tekanan psikis seniman baik secara individu-dorongan yang mendapatkan represi dari realitas sosial-maupun dorongan-sebagai sebuah kepekaan sosial terhadap realitas-dari lingkungan masyarakat yang mengalami represi akibat kekuasaan sehingga menimbulkan ketidaksadaran dalam perilaku. Refleksi seni sebagai estetika penyadaran merupakan media yang mudah dipahami dan memiliki muatan ideologis terhadap kesadaran budaya dan sistem yang ada dalam masyarakat sebagai konstruksi dari kekuasaan-kekuasaan dan kapitalis.
Proses penyadaran melalui media estetika memberikan pencerahan terhadap pemahaman sistem sosial dan budaya sehingga menimbulkan kesadaran kolektif bagi masyarakat untuk mensikapi realitas sosial. Seniman, dalam hal ini bertugas sebagai mediator atas realitas sosial dan dunia psikis dalam diri dan masyarakat yang sedang “sakit” karena berbagai penindasan, ketidakadilan, gender, patriakal, dan lan sebagainya akibat dari kekuasaan dan sistem yang diterapkan dalam budaya masyarakat. Sistem budaya yang diterapkan tidak memihak pada rakyat sehingga menciptakan jurang pemisah antara kaya dan miskin, pintar dan bodoh, penguasa dan rakyat, dan lain sebagainya sebagai produk dari kekuasaan dan kapitalis yang bertendensi pada kepentingan pemodal.
Budaya yang berkembang dalam masyarakat merupakan konstruksi dari kekuasaan dan kapitalis yang secara perlahan-lahan menindas dan membodohi rakyat demi kepentingan kekuasaan dan kapitalis yang secara perlahan-lahan menindas dan membodohi rakyat demi kepentingan kekuasaan dan kapitalisme global. Realitas yang semakin memarjinalkan posisi rakyat sebagai kaum tertindas, perlu adanya kesadaran kolektif dalam masyarakat untuk mensikapi dan mengkritisi realitas sistem nilai sosial dan budaya sehingga mencapai pencerahan yang diharapkan oleh masyarakat luas.



DAFTAR PUSTAKA
Brown, Phil. 2005. Psikologi Marxisme. Diterjemahkan oleh Afid Sadzali dan Ema Rahmawati.Yogyakarta: Alenia.
Chernyshevsky, N. G. 2005. Hubungan Estetika Seni dengan Realitas, diterjemahkan oleh Samanjaya.Bandung: CV.Ultimus.
Deleuze, Gilles. 2002. Filsafat Nietzche, diterjemahkan oleh Basuki Heri Winarno. Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Diterjemahkan oleh Robert M.Z. Lawang. Jakarta: PT. Gramedia.
Miklouho-Maklai, Brita L. 1997. Menguak Luka Masyarakat : Beberapa Aspek Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Moelyono.1997. Seni Rupa Penyadaran. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Nelson, Benyamin (ed). 2003. Freud : Manusia Paling Berpengaruh Abad ke-20. diterjemahkan oleh Yurni. Surabaya: Ikon Teralitera.
Sachari, Agus. 2002. Estetika : Makna, Simbol dan Daya. Bandung: Penerbit ITB.
Soetomo, Greg. 2003. Krisis Seni Kesadaran. Yogyakarta: Kanisius.
The Liang Gie. 1996. Filsafat Seni : Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIB).
------------------- 1996. Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIB).

This article is taken from Harmonia Vo IX No.1 Juni 2009

Read More ..

Sejarah Harmonia

Harmonia, ISSN 1411-5115, berdiri tahun 2001. Pada tahun 2004 telah terakreditasi oleh DIKTI. Karena diberlakuan aturan dan format baru pada tahun 2006, pada tahun 2007 tidak lagi terakreditasi, karena mendapat nilai cukup (C).
File : index Harmonia

Sumbangan Naskah

Redaksi menerima artikel, baik berupa artikel konseptual maupun hasil penelitian. Naskah berupa print out dan soft file dikirim ke alamat redaksi Harmonia. Naskah dapat pula dikirim melalui attachment file e-mail.

Dari Redaksi

Artikel-artikel yang dipublikasikan lewat web ini telah diterbitkan di jurnal Harmonia. Pemuatan dalam web ini adalah untuk lebih menyebarkan penerbitan tersebut terutama melalui media yang berbeda, dunia maya. Di masa mendatang, hanya abstrak artikel yang ditampilkan.

Web Disigned by Suharto, Blog Template by ourblogtemplate.com

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP