PORNOGRAFI DALAM DUNIA SENI TARI
Bambang Pratjichno
Staf pengajar Jurusan Seni Tari FBS Universitas Negeri Jakarta
Abstrak
Pornografi dapat dipahami sebagai ekspresi perilaku secara erotis, disadari atau tidak mampu untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks (libido). Inheren dengan fenomena pornografi tersebut, dunia tari sering disinyalir sebagai bidang yang relatif dekat (implikatif) dengan pornografi. Sinyalemen atau kesan seperti itu barangkali ada benarnya karena aktivitas tari sendiri memang lekat dengan pengolahan tubuh, sehingga layak diduga mudah memunculkan libido orang yang menikmatinya. Kelenturan gerak dan sikap yang dilakukan oleh seorang penari tidak jarang mengundang daya pesona tertentu. Namun demikian, tari tidak selayaknya dipandang sebagai suatu produk sebuah mesin atau unsur-unsur kebendaan, melainkan harus dipandang sebagai bagian yang integral dari eksistensi manusia itu sendiri terutama menyangkut salah satu kebutuhan dasar manusia, yakni simbol. Sebab, sangat mungkin bahwa tujuan awal orang menari bukanlah untuk menari itu sendiri, tetapi untuk memenuhi kebutuhan simbolisasi (pernyataan diri). Sebaliknya, bila kita ingin menempatkan tari sebagai objek kajian, maka harus didasarkan perspektif yang mampu menggali latar belakang dan potensi pada tari yang bersangkutan.
Kata kunci: Pornografi, Etika dan Estetika.
A. Pendahuluan
Kemajuan teknologi internet sebagai salah satu media komunikasi global banyak menawarkan berbagai informasi yang dibutuhkan manusia. Di dalam internet kita bisa menjumpai berbagai situs porno (gambar bugil) hasil rekayasa para webmaster lewat trick-trick montage atau kenyataan seperti apa adanya.
Fenomena pornografi juga bisa kita temukan dalam karya sastra, seperti Kamasutra, Darmogandul, kitab Kuning, dan sebagainya. Nuansa porno juga bisa ditemukan pada upacara-upacara seperti Tantrayana, bahkan di Bali tepatnya pada banjar Kaja desa Adat Sesetan Denpasar sampai sekarang masih melakukan acara med-medan (cium-ciuman) dalam upacara Ngembak Geni (setelah merayakan Nyepi). Dalam karya seni kita bisa menjumpai pada seni lukis, seni patung (The Kiss karya Auguste Rodin, C. Brancusi, dan Edvard Munch) seni pahat (lihat relief candi Borobudur dan Prambanan), seni musik (desah-desah dalam musik Dang Dut), dan seni tari (tarian striptease). Di media televisi kita dapat menjumpai iklan maupun film yang bernuasa porno (film waybach, iklan close up). Contoh-contoh tersebut mengisyaratkan bahwa informasi yang semakin transparan melalui berbagai bentuk media sekarang ini agaknya telah mendorong pergeseran nilai, khususnya tentang segala sesuatu yang sebelumnya dianggap tabu, porno. Oleh karena itu, sangat wajar bila Rancangan tentang Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RAPP) sampai kini masih kontravesial sehingga belum dapat disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Kenyataan semacam itu juga menandakan bahwa kita semakin kesulitan dalam menentukan apakah sesuatu itu porno atau tidak.
Berdasarkan hal tersebut, saya berasumsi bahwa pornografi sebagai bagian dari fenomena kehidupan manusia bersifat ‘relatif’, bergantung teks dan konteksnya, demikian pula dengan kriteria pornografi. Dalam tulisan ini akan dicoba untuk mengkaji fenomena pornografi pada dunia seni tari, khususnya tari Jawa ditinjau dari estetika dan etika. Sebagai ancangan pembahasan akan menggunakan pendekatan sosiologis, khususnya perspektif konstruksi sosial.
B. Kerangka Pemikiran
Sejak Plato hingga sekarang perbedaan pandangan mengenai estetika dan etika selalu menarik untuk diperbicangkan. Istilah estetika sering dimaknai secara berbeda-beda menurut cara pandang dan tujuan. Misalnya estetika sebagai ilmu pengetahuan inderawi (pengamatan); estetika sebagai padanan teori cita rasa yang mencakup tentang persepsi, cita rasa sebagai kemampuan (faculty of taste), produk mental, objek pengamatan, pertimbangan cita rasa; estetika sebagai sikap – sikap estetis (jarak psikis) yang tanpa pamrih demi objek itu sendiri; estetika sebagai filsafat seni yakni secara bersama dengan etika dan logika membentuk ilmu pengetahuan normatif; dan estetika sebagai teori tentang nilai. Sebagian pakar berpendapat bahwa estetika dan etika merupakan dua disiplin yang berbeda. Estetika mempersoalkan hal-hal yang berkaitan dengan keindahan, sedangkan etika berhubungan dengan norma-norma moral. Pada sisi lain, ada sebagian pakar yang berpendapat bahwa estetika dan etika merupakan satu kesatuan. Dari perbedaan pandangan tersebut kemudian muncul paham maupun mazhab estetika. Secara garis besar paham estetika dapat dibedakan menjadi dua, yaitu paham estetika absolut dan etika absolut atau estetika filosofis. Paham estetika absolut mengklaim bahwa keindahan dengan kebenaran dan kebaikan merupakan dua hal berdiri sendiri. Oleh karenanya, penilaian terhadap suatu karya seni dari segi moral dianggap tidak relevan. Paham ini agaknya merujuk kepada kemampuan intelektual seorang pengamat untuk melakukan pengukuran dengan kriteria tertentu dan selanjutnya menafsirkan kualitas estetik dari fenomena (objek, peristiwa) kesenian. Hal ini sesuai dengan apa yang oleh sebagian pakar disebut dengan istilah estetika instrumental, estetika formalistis, atau estetika ilmiah (scientific aspect). Prinsip keindahan paham ini adalah menelaah berbagai aspek lahiriah yang melekat pada karya seni sebagai objek estetis.
Paham etika absolut berpendapat bahwa karya seni dapat dikatakan baik bila mampu memacu tindakan yang benar dan jujur. Seni harus tunduk kepada aturan moral karena estetika itu merupakan semacam kebaikan moral yang dapat mengangkat harkat batiniah penikmatnya. Paham ini berpendirian bahwa apa yang disebut indah adalah bila jiwa kita muncul rasa senang, puas, aman, nyaman, dan bahagia yang pada gilirannya membuat diri kita merasa terpaku, terharu, terpesona, dan menimbulkan untuk merasakan atau mengalami lagi (Djelantik,1999). Paham semacam ini oleh sebagian pakar sering disebut estetika filosofis (philosophical aspect). Prinsip keindahan paham ini adalah terletak pada persepsi pengamatnya, terutama berkaitan dengan substansi rukhaniah, metafisik-spekulatif, filsafat budaya (Sahman, 1993).
Mengenai mazhab estetika dibedakan menjadi dua, yaitu mazhab Hedonisme yang dianut oleh kaum positivis (modernisme) dan mazhab Spiritualisme yang didukung oleh kaum idealis. Hedonisme merupakan pemikiran yang mengagungkan kesenangan dan kenikmatan semata yang kemudian melahirkan sifat konsumerisme. Bagi kaum Hedonis, keindahan adalah sesuatu yang menyenangkan, menikmatkan; sedangkan bagi kaum Idealis keindahan adalah sesuatu yang mampu memotivasi dan mengarahkan manusia kepada ajaran agama atau mengembalikan keindahan kepada Yang memilikinya.
Terlepas dari silang pandangan tersebut, bagi saya bahwa etika dan estetika sebuah karya seni (baca: seni tari) merupakan representasi dari dan atau bersumber pada norma dan nilai budaya lingkungannya. Ia tidak mandiri, tetapi luluh lekat dengan adat, pandangan hidup, tata masyarakat, kepercayaan, dan sebagainya. Alan Lomax dalam studi eksperimennya yang disebut choreomatrics menunjukkan bahwa gaya seni ditentukan oleh kehormatan, kebudayaan, dan masyarakat suatu bangsa (Haberman dan Tobie Meisel, 1970). Penilaian terhadap sebuah karya seni sangat bergantung pada sistem nilai yang sedang berkembang atau konstruksi sosial yang membingkai di dalam komunitas yang bersangkutan. Dengan konteks seperti itu, maka pengkajian terhadap fenomena pornografi hendaknya didasarkan pada perspektif dialektis (tawar-menawar) antara teks dan konteks, antara manifes dan laten. Dengan demikian kita bisa masuk ke dalam ranah antropologis atau sosiologis. Hal ini relevan bila kita mengikuti pemikiran D. Huisman (Sahman, 1993), bahwa lahan kajian estetika dapat dibedakan dalam tiga pendekatan, yaitu filsafati (perangai dasar seni, norma dan nilai seni), pendekatan psikologis (pengamatan dan respons, aktivitas mencipta, dan penyajian), dan pendekatan sosiologis (publik, karya seni, dan lingkungan). Dalam tulisan ini saya mempertimbangan untuk menggunakan pendekatan sosiologis karena fenomena pornografi telah menjadi kenyataan yang tidak steril dari pikiran dan sikap ideologis pengamatnya (penikmat, penonton), yang di dalamnya terselubung kepentingan kekuasaan (lihat Mannheim, 1991). Singkatnya, bahwa ketika suatu definisi tertentu mengenai kenyataan yang pada akhirnya dikaitkan dengan kekuasaan maka dapat disebut ideologi (Berger dan Thomas Luckmann, 1983; Jazuli. 2003).
Kekuasan dalam masyarakat mencakup kekuasaan untuk menetapkan proses sosial (termasuk pengetahuan) yang sifatnya menentukan sehingga membuat kenyataan. Hal ini merupakan konstruksi sosial, yaitu suatu kenyataan dibangun secara sosial. Kenyataan adalah suatu kualiatas yang berada dalam fenomenon yang diakui memiliki keberaaan (being) dan tidak bergantung pada kehendak diri sendiri. Pengetahuan masyarakat sebagai kepastian fenomenon (real) dan mempunyai karakteristik yang spesifik. Proses ini berlangsung melalui tiga ‘momen’, yaitu eksternalisasi, objektivikasi, dan internalisasi. Ketiganya perlu dilegitimasi berdasarkan pengetahuan (kognitif) dan nilai-nilai (normatif). Eksternalisasi merupakan artikulasi diri seseorang secara terus-menerus ke dalam dunia. Objektivikasi adalah pengakuan dan pelembagaan produk aktivitas eksternalisasi (lewat interaksi sosial) sebagai kefaktaan yang otonon (sesuatu yang lain dari yang menciptakannya). Internalisasi ditandai oleh peresapan kembali terhadap realitas dan mentransformasikan sekalilagi dari struktur dunia objektif ke dalam struktur dunia subjektif (Berger dan Thomas Luckmann, 1983; Jazuli, 2003). Dasar teoretis konstruksi sosial adalah menggambarkan proses tindakan dan interaksi manusia dalam menciptakan suatu kenyataan yang dimiliki bersama secara terus menerus, dialami secara faktual, objektif, dan penuh arti. Statemen teoretisnya adalah suatu masyarakat dan lembaga-lembaganya bukanlah sesuatu yang ada dengan sendirinya (given), melainkan dibentuk oleh manusia (constructed) secara bersama-sama dengan orang lain (social).
Dengan pendekatan dan cara pandang semacam itu kiranya dapat berguna untuk mensiasati sinyalemen tentang apakah sebuah karya seni (tari) itu porno atau tidak porno.
C. Pornografi dalam Dunia Tari
Secara proporsional tari hadir sebagai fenomena kehidupan terwujud dari sebuah pernyataan total hasil dialog jiwa-raga manusia dengan alam dan kebudayaannya, Kemudian tari diekspresikan ke dalam ‘satu kesatuan simbol’, yakni gerak, ruang, dan waktu. Dalam konteks ini, perlu disadari bahwa tari tidak selayaknya dipandang sebagai suatu produk sebuah mesin atau unsur-unsur kebendaan, melainkan harus dipandang sebagai bagian yang integral dari eksistensi manusia itu sendiri terutama menyangkut salah satu kebutuhan dasar manusia, yakni simbol. Sebab, sangat mungkin bahwa tujuan awal orang menari bukanlah untuk menari itu sendiri, tetapi untuk memenuhi kebutuhan simbolisasi (pernyataan diri). Kebutuhan terhadap simbol yang direfleksikan pada tari dapat dipahami bila orang mampu mengambil distansi terhadap objek (tari) yang diamati, dan disertai dengan prinsip kesadaran realitas (penampakan tari) dan prinsip kesadaran totalitas (keutuhan eksistensi tari). Dengan demikian kehadiran tari merupakan bagian yang tak terpisah dari hal meng-ada-nya manusia. Dalam posisi seperti itu tari bukanlah sekedar alat pernyataan diri manusia, melainkan juga sebagai bentuk pernyataan diri (Jazuli, 1994). Tari menjadi wahana bagi konsepsi manusia tentang objek, yaitu bagaimana manusia telah mentransformasikan pengalamannya tentang realitas. Sebagai penampakan yang utuh, eksistensi tari tak terlepas dari pernyataan diri manusia terhadap dunianya (Humphrey,1983). Oleh karenanya, bila kita ingin meletakkan dasar-dasar pengetahuan tari sebagai ilmu (teori), maka tari harus mengungkap realitas sebagaimana adanya (das sein) dan senantiasa memberikan alternatif tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia dengan atau terhadap tari (das sollen). Dengan demikian tari tari akan mampu membuktikan dirinya sebagai kegiatan kreatif, eksploratif, dan eksperimental yang menuntut pula disiplin mental-intelektual, bukan sekedar intuitif dan mudah terkooptasi oleh kepentingan-kepentingan di luar jangkauan dirinya (Jazuli,1994). Sebaliknya, bila kita ingin menempatkan tari sebagai objek kajian, maka harus didasarkan perspektif yang mampu menggali latar belakang dan potensi pada tari yang bersangkutan.
Eksistensi tari tak terlepas dari budaya lingkungan yang membentuknya. Tari merupakan produk budaya sebagai hasil proses kreatif dari masyarakat pendukungnya (Kaeppler,1992). Demikian pula dengan estetika dan etika tari Jawa misalnya, tentu tidak terlepas dari konstruksi sosial atau nilai-nilai budaya Jawa yang membungkusnya.
Dalam budaya Jawa, estetika dan etika (normatif) merupakan dua sisi mata uang. Keduanya dilandasi oleh falsafah Jawa. Refleksinya pada seni (tari) tampak pada asas-asas keutuhan, keserasian, keselarasan, dan keseimbangan; sedangkan pada etika tampak pada penilaian tentang baik-buruk, susila-tak susila, pantas-tak pantas, dan halus-kasar - sebuah klaim ideologis. Namun sejalan dengan tuntutan zaman dan perkembangan pemikiran manusia, sebagian norma dan nilai budaya Jawa telah mengalami pergeseran, tak terkecuali estetika dan etika Jawa sehingga harus ‘menyesuaikan’ terhadap trend-trend yang muncul ke permukaan. Contohnya adalah masalah pornografi yang sedang diperbincangkan dalam tulisan ini.
Pornografi dapat dipahami sebagai ekspresi perilaku secara erotis, disadari atau tidak. Pornografi juga bisa dimengerti sebagai sesuatu yang dirancang dengan sengaja untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks (libido). Inheren dengan pengertian pornografi tersebut, dunia tari sering disinyalir sebagai bidang yang relatif dekat (implikatif) dengan pornografi. Sinyalemen atau kesan seperti itu barangkali ada benarnya karena aktivitas tari sendiri memang lekat dengan pengolahan tubuh, sehingga layak diduga mudah memunculkan libido orang yang menikmatinya. Selain itu, adanya kecenderungan pada sebagian besar penonton (penikmat) tari, bahwa pada awal melihat tari bukan menghayati kemanunggalan bentuk-isi ekspresi atau nilai (makna, visi, misi, estetika) yang terungkap dalam tariannya, melainkan lebih menghayati penari, busana, serta asesoris yang dikenakannya.
Apabila kini kita mempersoalkan pornografi dalam seni tari sesunggguhnya tak terlepas dari hasil perkembangan pemikiran manusia, khususnya berkaitan dengan konsep dekonstruksi yang dikembangkan oleh kaum post modern. Sebab fenomena pornografi dalam seni (tari) sebelumnya tidak pernah muncuat ke permukaan, meskipun fenomena pornografi telah ada sejak dulu, seperti jenis tari striptease yang sering marak di night club, kafé-kafé, diskotek, dan tempat hiburan lainnya. Di dalam kesenian Jawa tradisional seperti tampak pada Tayub dan berbagai (tata busana) jenis tari klasik Jawa. Di dalam Tayub, setiap penari wanita atau sering disebut dengan istilah ronggéng, taledhèk, ledhèk yang selalu nglelèdhèk (memikat hati) akan senantiasa berusaha tampil cantik dan seksi (bahenol) agar para penonton terutama para pengibing tertarik kepadanya, baik tertarik karena kecantikannya maupun gaya tarinya. Kondisi seperti ini tak jarang mendorong munculnya libido penonton, sehingga bagi penonton yang memiliki banyak uang selalu berupaya untuk bisa ngibing dengan penari Tayub. Pada sisi lain, interpretasi saya bahwa penampilan penari Tayub yang cantik dan seksi seperti itu sesungguhnya memiliki keterkaitan dengan fungsi Tayub itu sendiri, yaitu sebagai tari pergaulan atau ritus kesuburan – dengan sendirinya penari Tayub harus menarik dan mengundang gairah demi sebuah makna kesuburan. Sungguhpun demikian, tak jarang ada sebagian penari Tayub yang menyalahgunakan fungsinya sebagai penari dalam upacara ritual-kesuburan, yaitu dengan melacurkan diri (lihat Suharto, 1999). Dengan demikian tak pelak bila penari Tayub sering dipandang mempunyai fungsi ganda – inilah sebuah kenyataan yang dibangun secara sosial.
Pada tari klasik Jawa, terutama jenis tari puteri seperti Bedaya dan Srimpi telah menampakkan gerak dan sikap yang lemah gemulai, didukung oleh tata busana dodotan atau kembenan (lengan dan punggung terbuka) dan polesan rias wajah dan tubuh penari dengan lulur kuning langsat. Hal ini secara langsung atau tidak langsung sangat mungkin menimbulkan kesan yang mampu merangsang libido penonton, terutama bagi mereka tidak pernah atau biasa melihatnya, apalagi bila wajah dan postur tubuh penari yang menarik sesuai selera ideal bagi sebagian penonton.
Sesungguhnya keindahan tari dapat berasal dari berbagai aspek. Salah salah satu aspek daya tarik tari yang pertama-tama muncul pada image penonton adalah sosok atau figur penarinya, kemudian secara simultan adalah aspek-aspek penunjang penampilan tari, seperti tata rias dan busana yang dikenakannya, musik iringannya, gerak dan sikap tariannya, peristiwa pertunjukan, dan sebagainya. Figur penari di antaranya menyangkut tentang postur tubuh (dalam kesenian Yunani keindahannya telah dimuliakan sejak abad SM), wajah (mimik) cantik, sikap dan gerakannya, serta keluwesannya yang mengundang gairah. Tata rias dan busana menyangkut tentang model, bentuk, warna, dan sebagainya yang pada prinsipnya mengarah pada keserasian dengan sang penarinya. Musik iringan tari yang berfungsi untuk menciptakan atau mewujudkan suatu suasana tertentu yang mendukung tema dan adegan sebuah tari (lihat Jazuli, 1994). Kelenturan gerak dan sikap yang dilakukan oleh seorang penari tidak jarang mengundang daya pesona tertentu. Peristiwa pertunjukan sebagai wahana untuk menyajikan tari menjasi faktor penting. Sebuah tari yang disajikankan pada peristiwa ritual akan berbeda dengan bila ditampilkan dalam konteks hiburan, terutama kaitannya dengan image, persepsi atau kesan penonton yang menikmatinya. Demikian pula terhadap tempat penyajian, tari yang ditampilkan di ruang Pendapa akan berbeda nuansanya dengan disajikan di tempat terbuka atau panggung prosceium. Hal ini menandakan bahwa konteks sangat besar perannya untuk mempengaruhi persepsi dan makna bagi pengamat dalam mengamati sebuah teks (objek, tari).
Gambaran singkat tentang aspek keindahan tari sebagaimana telah dipaparkan bukan tidak mungkin dapat membangkitkan libido penontonnya. Bermula dari rasa senang, gembira, atau bahagia ketika melihat penari atau tariannya, kemudian merambah (menguat) sehingga menimbulkan perasaan tertarik, terpesona, terpaku, dan akhirnya secara imajinatif muncul untuk mengalami perasaan itu – boleh jadi dalam bentuk lain.
D. Penutup
Nampaknya telah menjadi suatu kenyataan bahwa persoalan porno atau tidak porno dalam tari sangat bergantung kepada persepsi penontonnya. Sungguhpun persepsi sebagai bentuk reaksi itu sendiri muncul karena adanya objek sebagai aksi, dalam hal ini adalah sebuah tarian. Persepsi yang demikian itu sesungguhnya merupakan bentuk pengetahuan dan kenyataan yang bersifat ideologis, karena setiap orang (penonton tari) tidak selalu mempunyai persepsi yang sama. Persepsi setiap orang itulah merupakan bentuk klaim kekuasaan. Oleh karena itu, perbedaan kesan porno atau tidak porno dalam menikmati sebuah tarian adalah sangat relatif. Sebuah tarian sebagai suatu teks yang ditampilkan dalam peristiwa pertunjukan hiburan akan berbeda nuansanya bila ditampilkan pada konteks peristiwa ritual. Dengan demikian akan berlainan pula kesan dan persepsi yang muncul pada diri setiap penonton.
Daftar Pustaka
Berger, Peter l. dan Thomas Luckmann. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan. Terjemahan Hasan Basri. Jakarta: LP3ES.
Djelantik, AAM. 1999. Estetika Sebuah Pengantar. Bandung: MSPI.
Haberman, Martin dan Tobie Garth Meisel. 1970. Dance an Art in Academe. New York: Teachers Collage Columbia University.
Humphrey, Doris. 1983. The Art of Making Dance. Terjemahan Sal Murgiyanto. Jakarta: Dewan Kesenian.
Jazuli, M.. 1994. Telaah Teoretis Seni Tari. Semarang: IKIP Press.
_____. 2003. Dalang, Negara, Masyarakat: Sosiologi Pedalangan. Semarang: LimPad.
Kaeppler, Andrienne K. 1992. Estetika Tari Tonga. Terjemahan Ben Suharto. Yogyakarta: ISI.
Mannheim, Karl. 1991. Ideologi dan Otopia. Yogyakarta: Kanisius.
Sahman, Umar 1993. Estetika Telaah Sistemik dan Historik. Semarang: IKIP press.
Suharto, Ben. 1999. Tayub: Pertunjukan dan Ritus Kesuburan. Bandung: Kerjasama MSPI dengan Ford Foundation
Artikel ini diambil dari jurnal Harmonia Vol. VII No 2 tahun 2006