MUSIKUS YANG BERKOMPROMI DENGAN IDEOLOGI DAN BERBAJU BARAT
Diulas oleh Suharto
Judul Buku : Ismail Marzuki, Musik, Tanah Air dan Cinta
Penulis : Teguh Esha, dkk.
Pengantar : Dieter Mack
Penerbit : Pustaka LP3ES Indonesia
Cetakan : Pertama, Agustus 2005
Tebal Buku : xiii + 195 halaman
Harus kita akui bahwa karya musiknya yang berupa lagu yang diciptakan selama tiga jaman,
Penulis : Teguh Esha, dkk.
Pengantar : Dieter Mack
Penerbit : Pustaka LP3ES Indonesia
Cetakan : Pertama, Agustus 2005
Tebal Buku : xiii + 195 halaman
Harus kita akui bahwa karya musiknya yang berupa lagu yang diciptakan selama tiga jaman,
yaitu Jaman Penjajahan Belanda, Penjajahan Jepang, dan Jaman Kemerdekaan (revolusi) masih menggema sampai saat ini. Jumlah lagu yang dihasilkan Ismail Marzuki selama jaman itu diperkirakan tiga kali lipat dari umurnya yang hanya 44 tahun.
Lagu-lagu yang dihasilkan hampir mewakili jamannya, semangat patriotisnya, cinta, dan perasannya yang romantis. Rayuan Pulau Kelapa, Indonesia Pusaka, Gugur Bunga, Sepasang Mata Bola, Aryati, dan Juwita Malam, adalah beberapa contoh lagu yang mewakili karyanya. Sangat disayangkan, sampai sekarang belum bisa dipastikan berapa jumlah karya lagu yang benar-benar digubah sendiri. Seperti disinggung dalam Bab 5, ada beberapa lagu yang diakui sendiri oleh Ismail Marzuki sebagai karya orang lain, misalnya lagu Panon Hideung, yang merupakan saduran dari lagu bangsa Kozak yang digubah oleh Ruskykorsov berjudul Dark Eyes. Demikian juga dengan lagu-lagu seperti Als de Orchideen Bloeien, Ole-ole Bandung, dan Halo-Halo Bandung, sampai sekarang masih kontroversial, siapa pencipta sebenarnya.
Kenyataanya, Ismail M. tetap “diam” saat menerima penghargaan-penghargaan, sehubungan dengan lagu-lagu kontroversial tersebut. Ia mendapat Piagam Penghargaan dari Markas Besar Angkatan Darat pada 17 Maret 1971 karena mencipta lagu-lagu perjuangan. Salah satu lagunya adalah Auld Lang Syne. Padahal seluruh masyarakat musik hampir tahu bahwa lagu tersebut adalah lagu rakyat Skot. Komposisi yang medunia ini dicipta tahun 1799 oleh Robert Burns ( Suara Merdeka, 16 Oktober 2005).
Namun demikian menurut penulis buku ini, begitulah kehidupan musik pop, seperti halnya musik pop saat ini. Ismail M adalah musikus yang berekspresi dengan memainkan musik, karena ia memang pemimpin Orkes Studio Djakarta, yang bebas memainkan lagu-lagu apa saja baik yang diciptakan sendiri maupun lagu hasil saduran. Bukan salahnya jika orang akhirnya mengenal lagu-lagu kontroversial itu sebagai lagu ciptaaanya sebagai akibat lagu itu sering dimainkannya. Namun demikian, kedasyatan sejumlah lagu ciptaan ia sendiri yang membangkitkan semangat patriotis, melodis, dan romantis telah menutup “kecacatan” namanya. Penghargaan-penghargaan lain yang pernah didapat dari pemerintah Indonesia antara lain Piagam Widjaya Kusuma dari Presiden Soekarno (1961), sekaligus sebagai Pahlawan Budaya, Satya Lencana Kebudayaan I (1964), dan yang terakhir mendapat gelar Pahlawan Nasional melalui keputusan Presiden Nomor 089/ TK/tahun 2004.
Ismail M adalah seniman otodidak yang mengembangkan bakat musiknya hanya berdasarkan naluri perasaannya yang ingin mengekspresi-kan apa yang dirasa, dilihat, dan yang diharapkan. Namun demikian, pengeta-huan (teori) musik dan keterampilan musik dasarnya telah ia miliki, yang mendukung bakat musiknya. Ia merasakan rasa musikal yang menggelegak dengan memunculkan melodi-melodi sederhana tetapi indah yang sangat diterima telinga masyarakat pada umumnya. Ia melihat kejadian, penderitaan masyarakat pada umumnya yang tertindas pada jaman kolonial, ketimpangan yang terjadi masyarakat, ia tergerak hatinya untuk memberi sumbangsih yang ia kuasai dan miliki dengan membuat komposisi lagu yang menggugah semangat untuk berjuang.
Mungkin karena jiwanya yang lembut banyak syair-syair lagu perjuangannya tidak prontal, mengajak untuk berontak atau melawan. Rayuan Pulau Kelapa adalah salah satu contoh lagu yang dianggap para kritikus musik tidak mencerminkan atau mengajak orang untuk “bergerak”. Isi syair lagu tersebut memang hanya memuja alam, meng-gambarkan keindahan dan kekayaan Indonesia. Namun sebenarnya jika didalami syairnya dan perpaduannya dengan harmoni alur melodinya, maknanya sangat dalam dan lebih dari semangat mencintai tanah air. Di samping itu, ia juga mengantisipasi keadaan. Jika diekspresikan secara pulgar maka lagu tersebut tentu akan dilarang oleh penguasa pada saat itu yaitu Jepang.
Gambaran situasi politik mulai dari Hindia Berlanda 1930-1942 sampai Pendudukan Jepang 1942- 1945 dan aktivitas Ismail M digambarkan panjang lebar dalam Bab 3 oleh Teguh Esha, salah satu penulis buku ini. Dalam bab ini penulis juga menggambarkan saat dramatis, saat di mana Ismail M berkiprah dalam bidang musik yang digelutinya pada saat revolusi tahun 1949 hingga akhir hayatnya. Sub judul yang berbunyi “Revolusi Pun Usai : Periode Akhir Ismail Marzuki” mengajak pembaca untuk menyimaknya.
Bab 4 lebih banyak menyorot beberapa kritikan beberapa kritikus musik seperti Amir Pasaribu, JA Dungga, Liberty Manik, dan Franki Raden. Dengan gaya jurnalistik tetapi ilmiah, penulis bab ini merangkai secara sistematis kritikan para kritikus tersebut yang diambil dari berbagai sumber. Namun demikian, penulis bab ini, yang juga seorang jurnalis dan juga seniman, dikritik oleh pengantar buku ini, Dieter Mack, seorang tokoh pendidik dan peneliti musik berkebangsaan Jerman, yang menyang-kut konsep keindonesiaan dan kemerdekaan.
Dalam pengantarnya Dieter Mack banyak menyoroti isi Bab 4, yang dianggap menarik tetapi dianggap “lucu” terutama bagi orang Eropa, termasuk ia sendiri. Sesuatu yang “lucu’ ini misalnya pendapat bagaimana musik mewakili “keindonesiaan” dan “kemerdekaan” jika gramatika musik yang dipakai justru milik para penjajah. Ia juga balik “mengecam” sekaligus “tertawa” pada para kritikus musik yang dianggap “sombong” dengan pendidikkan akademik musik Barat yang dimilikinya yang menganggap musik Ismail M sebagai musik yang tidak bermutu. Para kritikus musik yang oleh penulis buku ini dianggap sebagai kacung-kacung kebudayaan penjajah bagi Dieter Mack tidak penting. Dalam mengukur “kadar” kesenimanan seseorang tidak bisa dilihat dari latar belakang akademis. Sekali lagi Dieter Mack “heran’ bagai-mana musik bisa mewakili kein-donesiaan dan kemer-dekaan jika gramatika musik yang dipakai adalah bagian dari unsur budaya si penjajah? Sebuah pertanyaan besar yang sering di sampaikan orang-orang Barat pada bangsa Indonesia sehubungan dengan musik dan per-juangan.
Kita memang sering lupa bahwa Indonesia memiliki kesenian daerah sendiri yang bermacam-macam dan bernilai tinggi. Anehnya kita selalu berkutat dengan “pencarian kesenian nasional”. Musik gamelan, misalnya, baik gamelan Sunda, Jawa, maupun Bali adalah jenis kesenian yang bernilai seni tinggi yang diakui dunia. Dunia telah mengakui kehebatan dan keindahan musik gamelan dan telah mempelajarinya. Festival Gamelan I yang berlangsung di Vancover Kanada tahun 1986 yang diikuti berbagai negara di dunia membuktikan itu. Seharusnya kesenian-kesenian daerah yang ada di pelosok Indonesia diang-gap sebagai kekayaan kesenian nasional. Bukankah keanekaragaman itu sendiri merupa-kan inti keindonesiaan dan kemer-dekaan. Indonesia ada karena adanya keanekaragamanan budaya.
Bab 5 dan Bab 6 salah satu kelebihan buku ini. Analisis intrinsik yang lebih membahas isi syair lagu-lagu Ismail M disajikan dalam Bab 5, sedangkan analisis musik dibahas secara sederhana dalam Bab 6. Dianggap sederhana karena hanya menganalisis struktur dan bentuk (form) dengan beberapa lagu yang dijadikan model.
Sangat disayangkan bahwa salah satu lagu modelnya adalah lagu “Halo-halo Bandung”, sebuah lagu yang di-anggap kontroversial karena diragukan bukan ciptaan Ismail M. yang asli. Jika demikian apakah ini akan menggabarkan Ismail M. Sebuah karya seni seperti puisi, lagu, dan karya seni lainnya biasanya mewakili penciptanya.
Ismail M. adalah musikus tetapi belum menggambarkan sebagai sosok seniman sejati. Seorang seniman biasanya selalu mencari “penyim-pangan fungsional”. Menurut Dieter Mack “penyimpangan fungsional” ini mengacu pada norma-norma demi keunikan ekspresi yang dituangkannya. Dalam buku ini justru membuk-tikan hal di atas, apalagi tulisan penulis yang hanya memaparkan format formal musik Ismail Marzuki ketimbang penjelasan atau interpretasi estetis para penulis dalam konteks tertentu.
Dari beberapa judul lagu yang juga ditulis syairnya secara lengkap pada Bab 5 dapat disimpulkan bahwa Ismail Marzuki adalah seorang yang sangat peka dan peduli dengan bangsanya. Beberapa syair lagunya mencerminkan semangat patriotisme, walaupun kadang-kadang dengan bahasa yang halus, tidak seperti C.Simanjuntak yang selalu meng-ungkapkan syair lagu-lagu dengan tegas, misalnya lagu Maju Tak Gentar. Walaupun setiap penyair memiliki kebebasannya (licencia poetica) dalam mewujudkan idenya, namun sebenarnya syair-syair lagu Ismail Marzuki termasuk “ketinggalan jaman”, seperti syair pujangga lama.
Musik-musik Ismail Marzuki dianggap sederhana dilihat dari kacamata gramatika Barat. Musik yang ia pakai adalah yang bergramatika Barat yang menggunakan sistem tangga nada Diatonik. Namun bukankah lagu kebangsaan kita juga menggunakan sistem Barat termasuk juga semua lagu wajib dan lagu nasional kita. Memang sebuah ironi di tengah kekaguman bangsa Barat terhadap musik tradisional kita.
Adalah Dieter Mack yang selalu memberi “dorongan”, dalam setiap kesempatan, pada bangsa kita untuk melirik dan memperhatikan “musik negeri sendiri” sebagai salah satu materi pendidikan musik di sekolah-sekolah. Jika tidak, suatu saat kita akan belajar musik kita sendiri di negeri orang.
Ismail M adalah salah satu contoh musikus yang mengenakan “baju musik Barat” walaupun berdalih baju itu hanyalah sebagai wahana pengantar jiwa patriotismenya dalam membela negara.
Saya dapat menarik pesan yang tersirat dalam buku ini bahwa Ismail Marzuki adalah seorang musikus, yang berusaha mekompromikan ideologi dengan musiknya. Ideologi yang ia anut adalah musik yang tidak bersifat absolut dan ia tidak perlu “egois” dengan prinsip kesenimanan yang harus “setia” dengan prinsip tersebut seni yang bersifat kritis, demi tujuan yang ia inginkan. Tujuan yang ia inginkan adalah musik sebagai medium untuk mengekspresikan rasa nasionalismenya. Itulah sebabnya, ia harus melakukan kompromi-kompromi musiknya menjadi musik fungsional. Dilihat dari sifatnya, memang ini dapat menciderai kebebasan musik itu sendiri. Musik sederhana tanpa gramatika yang rumit tetapi mampu mengekspresikan dirinya dan menyampaika ideologinya.
Bagaimana pun, kita harus menghargai usaha para penulis yang telah berani membuat tulisan ini yang dianggap cukup komprehensif, minimal sebagai pembanding dengan tulisan-tulisan sejenis yang dimuat di media lain. Dikatakan pembanding karena kenyataannya sumber data yang didapat dalam menggali informasi dalam sebuah kajian bisa saja berbeda, atau gaya penyampaian tulisan yang berbeda, sehingga dapat memberi kesan berbeda pula. Sebagai contoh, di harian Suara Merdeka tanggal 8, 15, dan 29 Februari 2004 (dibuat dalam 3 bagian) dalam artikelnya yang berjudul “Jejak Ismail Mazuki”, Heru Emka, menggambarkan Ismail Marzuki dalam hidupnya serba kekurangan. Tetapi dalam buku ini mengatakan sebaliknya. Lain pula dengan tulisan Remy Sylado yang berjudul “Budaya Nyolong dalam Komposisi Musik”, yang juga ditulis dalam tiga bagian dan dimuat dalam harian Suara Merdeka tanggal 2, 9, dan 16 Oktober 2005, yang menggambarkan sikap sinis penulis yang menyalahkan pemerintah yang serta merta memberi penghargaan pada Ismail Marzuki tanpa data yang benar.
Suharto
DAFTAR PUSTAKA
Harjana, Suka. 1996. “Festival Gamelan sebagai Premis Kebudayaan” dalam artikel seminar
Heru Emka, 2004. “Sindiran Paman Lengser” dalam Suara Merdeka 2004
Hoed, M, 2004, “Komponis berjiwa Romantis” dalam Suara Merdeka 2004.
Remy Sylado. 2005. “Budaya Nyolong” dalam Suara Merdeka 9 September.
Rangkuti. 1985. Lagu-Lagu Pilihan Ismail Marzuki.Jakarta: Titik Terang.
Dimuat di Jurnal Harmonia Vol. VII No 1 2006
Lagu-lagu yang dihasilkan hampir mewakili jamannya, semangat patriotisnya, cinta, dan perasannya yang romantis. Rayuan Pulau Kelapa, Indonesia Pusaka, Gugur Bunga, Sepasang Mata Bola, Aryati, dan Juwita Malam, adalah beberapa contoh lagu yang mewakili karyanya. Sangat disayangkan, sampai sekarang belum bisa dipastikan berapa jumlah karya lagu yang benar-benar digubah sendiri. Seperti disinggung dalam Bab 5, ada beberapa lagu yang diakui sendiri oleh Ismail Marzuki sebagai karya orang lain, misalnya lagu Panon Hideung, yang merupakan saduran dari lagu bangsa Kozak yang digubah oleh Ruskykorsov berjudul Dark Eyes. Demikian juga dengan lagu-lagu seperti Als de Orchideen Bloeien, Ole-ole Bandung, dan Halo-Halo Bandung, sampai sekarang masih kontroversial, siapa pencipta sebenarnya.
Kenyataanya, Ismail M. tetap “diam” saat menerima penghargaan-penghargaan, sehubungan dengan lagu-lagu kontroversial tersebut. Ia mendapat Piagam Penghargaan dari Markas Besar Angkatan Darat pada 17 Maret 1971 karena mencipta lagu-lagu perjuangan. Salah satu lagunya adalah Auld Lang Syne. Padahal seluruh masyarakat musik hampir tahu bahwa lagu tersebut adalah lagu rakyat Skot. Komposisi yang medunia ini dicipta tahun 1799 oleh Robert Burns ( Suara Merdeka, 16 Oktober 2005).
Namun demikian menurut penulis buku ini, begitulah kehidupan musik pop, seperti halnya musik pop saat ini. Ismail M adalah musikus yang berekspresi dengan memainkan musik, karena ia memang pemimpin Orkes Studio Djakarta, yang bebas memainkan lagu-lagu apa saja baik yang diciptakan sendiri maupun lagu hasil saduran. Bukan salahnya jika orang akhirnya mengenal lagu-lagu kontroversial itu sebagai lagu ciptaaanya sebagai akibat lagu itu sering dimainkannya. Namun demikian, kedasyatan sejumlah lagu ciptaan ia sendiri yang membangkitkan semangat patriotis, melodis, dan romantis telah menutup “kecacatan” namanya. Penghargaan-penghargaan lain yang pernah didapat dari pemerintah Indonesia antara lain Piagam Widjaya Kusuma dari Presiden Soekarno (1961), sekaligus sebagai Pahlawan Budaya, Satya Lencana Kebudayaan I (1964), dan yang terakhir mendapat gelar Pahlawan Nasional melalui keputusan Presiden Nomor 089/ TK/tahun 2004.
Ismail M adalah seniman otodidak yang mengembangkan bakat musiknya hanya berdasarkan naluri perasaannya yang ingin mengekspresi-kan apa yang dirasa, dilihat, dan yang diharapkan. Namun demikian, pengeta-huan (teori) musik dan keterampilan musik dasarnya telah ia miliki, yang mendukung bakat musiknya. Ia merasakan rasa musikal yang menggelegak dengan memunculkan melodi-melodi sederhana tetapi indah yang sangat diterima telinga masyarakat pada umumnya. Ia melihat kejadian, penderitaan masyarakat pada umumnya yang tertindas pada jaman kolonial, ketimpangan yang terjadi masyarakat, ia tergerak hatinya untuk memberi sumbangsih yang ia kuasai dan miliki dengan membuat komposisi lagu yang menggugah semangat untuk berjuang.
Mungkin karena jiwanya yang lembut banyak syair-syair lagu perjuangannya tidak prontal, mengajak untuk berontak atau melawan. Rayuan Pulau Kelapa adalah salah satu contoh lagu yang dianggap para kritikus musik tidak mencerminkan atau mengajak orang untuk “bergerak”. Isi syair lagu tersebut memang hanya memuja alam, meng-gambarkan keindahan dan kekayaan Indonesia. Namun sebenarnya jika didalami syairnya dan perpaduannya dengan harmoni alur melodinya, maknanya sangat dalam dan lebih dari semangat mencintai tanah air. Di samping itu, ia juga mengantisipasi keadaan. Jika diekspresikan secara pulgar maka lagu tersebut tentu akan dilarang oleh penguasa pada saat itu yaitu Jepang.
Gambaran situasi politik mulai dari Hindia Berlanda 1930-1942 sampai Pendudukan Jepang 1942- 1945 dan aktivitas Ismail M digambarkan panjang lebar dalam Bab 3 oleh Teguh Esha, salah satu penulis buku ini. Dalam bab ini penulis juga menggambarkan saat dramatis, saat di mana Ismail M berkiprah dalam bidang musik yang digelutinya pada saat revolusi tahun 1949 hingga akhir hayatnya. Sub judul yang berbunyi “Revolusi Pun Usai : Periode Akhir Ismail Marzuki” mengajak pembaca untuk menyimaknya.
Bab 4 lebih banyak menyorot beberapa kritikan beberapa kritikus musik seperti Amir Pasaribu, JA Dungga, Liberty Manik, dan Franki Raden. Dengan gaya jurnalistik tetapi ilmiah, penulis bab ini merangkai secara sistematis kritikan para kritikus tersebut yang diambil dari berbagai sumber. Namun demikian, penulis bab ini, yang juga seorang jurnalis dan juga seniman, dikritik oleh pengantar buku ini, Dieter Mack, seorang tokoh pendidik dan peneliti musik berkebangsaan Jerman, yang menyang-kut konsep keindonesiaan dan kemerdekaan.
Dalam pengantarnya Dieter Mack banyak menyoroti isi Bab 4, yang dianggap menarik tetapi dianggap “lucu” terutama bagi orang Eropa, termasuk ia sendiri. Sesuatu yang “lucu’ ini misalnya pendapat bagaimana musik mewakili “keindonesiaan” dan “kemerdekaan” jika gramatika musik yang dipakai justru milik para penjajah. Ia juga balik “mengecam” sekaligus “tertawa” pada para kritikus musik yang dianggap “sombong” dengan pendidikkan akademik musik Barat yang dimilikinya yang menganggap musik Ismail M sebagai musik yang tidak bermutu. Para kritikus musik yang oleh penulis buku ini dianggap sebagai kacung-kacung kebudayaan penjajah bagi Dieter Mack tidak penting. Dalam mengukur “kadar” kesenimanan seseorang tidak bisa dilihat dari latar belakang akademis. Sekali lagi Dieter Mack “heran’ bagai-mana musik bisa mewakili kein-donesiaan dan kemer-dekaan jika gramatika musik yang dipakai adalah bagian dari unsur budaya si penjajah? Sebuah pertanyaan besar yang sering di sampaikan orang-orang Barat pada bangsa Indonesia sehubungan dengan musik dan per-juangan.
Kita memang sering lupa bahwa Indonesia memiliki kesenian daerah sendiri yang bermacam-macam dan bernilai tinggi. Anehnya kita selalu berkutat dengan “pencarian kesenian nasional”. Musik gamelan, misalnya, baik gamelan Sunda, Jawa, maupun Bali adalah jenis kesenian yang bernilai seni tinggi yang diakui dunia. Dunia telah mengakui kehebatan dan keindahan musik gamelan dan telah mempelajarinya. Festival Gamelan I yang berlangsung di Vancover Kanada tahun 1986 yang diikuti berbagai negara di dunia membuktikan itu. Seharusnya kesenian-kesenian daerah yang ada di pelosok Indonesia diang-gap sebagai kekayaan kesenian nasional. Bukankah keanekaragaman itu sendiri merupa-kan inti keindonesiaan dan kemer-dekaan. Indonesia ada karena adanya keanekaragamanan budaya.
Bab 5 dan Bab 6 salah satu kelebihan buku ini. Analisis intrinsik yang lebih membahas isi syair lagu-lagu Ismail M disajikan dalam Bab 5, sedangkan analisis musik dibahas secara sederhana dalam Bab 6. Dianggap sederhana karena hanya menganalisis struktur dan bentuk (form) dengan beberapa lagu yang dijadikan model.
Sangat disayangkan bahwa salah satu lagu modelnya adalah lagu “Halo-halo Bandung”, sebuah lagu yang di-anggap kontroversial karena diragukan bukan ciptaan Ismail M. yang asli. Jika demikian apakah ini akan menggabarkan Ismail M. Sebuah karya seni seperti puisi, lagu, dan karya seni lainnya biasanya mewakili penciptanya.
Ismail M. adalah musikus tetapi belum menggambarkan sebagai sosok seniman sejati. Seorang seniman biasanya selalu mencari “penyim-pangan fungsional”. Menurut Dieter Mack “penyimpangan fungsional” ini mengacu pada norma-norma demi keunikan ekspresi yang dituangkannya. Dalam buku ini justru membuk-tikan hal di atas, apalagi tulisan penulis yang hanya memaparkan format formal musik Ismail Marzuki ketimbang penjelasan atau interpretasi estetis para penulis dalam konteks tertentu.
Dari beberapa judul lagu yang juga ditulis syairnya secara lengkap pada Bab 5 dapat disimpulkan bahwa Ismail Marzuki adalah seorang yang sangat peka dan peduli dengan bangsanya. Beberapa syair lagunya mencerminkan semangat patriotisme, walaupun kadang-kadang dengan bahasa yang halus, tidak seperti C.Simanjuntak yang selalu meng-ungkapkan syair lagu-lagu dengan tegas, misalnya lagu Maju Tak Gentar. Walaupun setiap penyair memiliki kebebasannya (licencia poetica) dalam mewujudkan idenya, namun sebenarnya syair-syair lagu Ismail Marzuki termasuk “ketinggalan jaman”, seperti syair pujangga lama.
Musik-musik Ismail Marzuki dianggap sederhana dilihat dari kacamata gramatika Barat. Musik yang ia pakai adalah yang bergramatika Barat yang menggunakan sistem tangga nada Diatonik. Namun bukankah lagu kebangsaan kita juga menggunakan sistem Barat termasuk juga semua lagu wajib dan lagu nasional kita. Memang sebuah ironi di tengah kekaguman bangsa Barat terhadap musik tradisional kita.
Adalah Dieter Mack yang selalu memberi “dorongan”, dalam setiap kesempatan, pada bangsa kita untuk melirik dan memperhatikan “musik negeri sendiri” sebagai salah satu materi pendidikan musik di sekolah-sekolah. Jika tidak, suatu saat kita akan belajar musik kita sendiri di negeri orang.
Ismail M adalah salah satu contoh musikus yang mengenakan “baju musik Barat” walaupun berdalih baju itu hanyalah sebagai wahana pengantar jiwa patriotismenya dalam membela negara.
Saya dapat menarik pesan yang tersirat dalam buku ini bahwa Ismail Marzuki adalah seorang musikus, yang berusaha mekompromikan ideologi dengan musiknya. Ideologi yang ia anut adalah musik yang tidak bersifat absolut dan ia tidak perlu “egois” dengan prinsip kesenimanan yang harus “setia” dengan prinsip tersebut seni yang bersifat kritis, demi tujuan yang ia inginkan. Tujuan yang ia inginkan adalah musik sebagai medium untuk mengekspresikan rasa nasionalismenya. Itulah sebabnya, ia harus melakukan kompromi-kompromi musiknya menjadi musik fungsional. Dilihat dari sifatnya, memang ini dapat menciderai kebebasan musik itu sendiri. Musik sederhana tanpa gramatika yang rumit tetapi mampu mengekspresikan dirinya dan menyampaika ideologinya.
Bagaimana pun, kita harus menghargai usaha para penulis yang telah berani membuat tulisan ini yang dianggap cukup komprehensif, minimal sebagai pembanding dengan tulisan-tulisan sejenis yang dimuat di media lain. Dikatakan pembanding karena kenyataannya sumber data yang didapat dalam menggali informasi dalam sebuah kajian bisa saja berbeda, atau gaya penyampaian tulisan yang berbeda, sehingga dapat memberi kesan berbeda pula. Sebagai contoh, di harian Suara Merdeka tanggal 8, 15, dan 29 Februari 2004 (dibuat dalam 3 bagian) dalam artikelnya yang berjudul “Jejak Ismail Mazuki”, Heru Emka, menggambarkan Ismail Marzuki dalam hidupnya serba kekurangan. Tetapi dalam buku ini mengatakan sebaliknya. Lain pula dengan tulisan Remy Sylado yang berjudul “Budaya Nyolong dalam Komposisi Musik”, yang juga ditulis dalam tiga bagian dan dimuat dalam harian Suara Merdeka tanggal 2, 9, dan 16 Oktober 2005, yang menggambarkan sikap sinis penulis yang menyalahkan pemerintah yang serta merta memberi penghargaan pada Ismail Marzuki tanpa data yang benar.
Suharto
DAFTAR PUSTAKA
Harjana, Suka. 1996. “Festival Gamelan sebagai Premis Kebudayaan” dalam artikel seminar
Heru Emka, 2004. “Sindiran Paman Lengser” dalam Suara Merdeka 2004
Hoed, M, 2004, “Komponis berjiwa Romantis” dalam Suara Merdeka 2004.
Remy Sylado. 2005. “Budaya Nyolong” dalam Suara Merdeka 9 September.
Rangkuti. 1985. Lagu-Lagu Pilihan Ismail Marzuki.Jakarta: Titik Terang.
Dimuat di Jurnal Harmonia Vol. VII No 1 2006
0 komentar:
Posting Komentar