Welcome to

HARMONIA : Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni

Selasa, 24 Maret 2009

PERUBAHAN PERILAKU KECERDASAN EMOSIONAL (EMOTIONAL QUOTION) ANAK USIA DINI MELALUI
PENDIDIKAN SENI TARI

Eny Kusumastuti

Staf Pengajar Jurusan Pendidikan Sendratasik, FBS, UNNES


Abstrak


Pendidikan dengan dimensi EQ (Emotional Quotions) dapat ditemukan dalam konsep pendidikan seni tari. Artikel ini adalah hasil penelitian yang mengkaji bagaimana proses pelaksanaan, dan perubahan perilaku kecerdasan emosional anak usia dini melalui pembelajaran seni tari. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara terarah, observasi partisipan, dan studi dokumentasi. Teknik analisis data dengan cara mereduksi, mengklarifikasi, mendiskripsikan, menyimpulkan, dan menginterpretasikan semua informasi secara selektif. Teknik pemeriksaan data menggunakan dependabilitas dan konfirmabilitas.

Hasil penelitian menunjukkan proses pelaksanaan pendidikan seni tari pada anak usia dini tidak terlepas dari proses belajar mengajarnya, yang meliputi : tujuan, materi pembelajaran, metode kegiatan Belajar Mengajar, sarana dan prasarana, evaluasi, kondisi sosial dan budaya. Perubahan perilaku kecerdasan emosional anak usia dini melalui pembelajaran seni tari dapat dilihat melalui : (1) timbulnya perasaan bangga, (2) memiliki sifat pemberani, (3) mampu mengendalikan emosi, (4) mampu mengasah kehalusan budi, (5) mampu menumbuhkan rasa bertanggung jawab, (6) mampu menumbuhkan rasa mandiri, (7) mudah berinteraksi dengan orang lain, (8) memiliki prestasi yang baik, (9) mampu mengembangkan imajinasi, dan (10) menjadi anak yang kreatif.



Kata Kunci : Pendidikan Seni Tari, Kecerdasan Emosional, Anak Usia Dini


A. Pendahuluan
Dunia pendidikan saat ini begitu mudah terpengaruh, oleh monolitisme/ rasio modern – kapitalistik, yang menempatkan materi sebagai justifikasi dan kaukus orientasinya, sehingga wajah dunia pendidikan telah sedemikian jauh tereduksi maknanya dari konsep pendidikan sebagai proses humanisasi (Freire, 1973) menjadi semata-mata persoalan teknis dan administratif yang tersubordinasikan ke dalam mainstream kapitalisme maupun jargon developmentalism. Ekspansi kapital dan industri telah memaksa institusi pendidikan menyesuaikan diri dengan “kebutuhan pasar” yang akibatnya adalah proses pendidikan tidak lagi diselenggarakan dalam nuansa intens yang penuh kedalaman makna (in depth quality), melainkan cenderung parsial dan dangkal, semata-mata agar match dengan kebutuhan dan instrumen pasar.
Bidang kajian yang menjanjikan muatan makna yang mendekatkan pada segmentasi pasar, kemudian menjadi primadona dan seolah-olah segala-galanya, dan sebaliknya pendidikan yang berdimensikan kekentalan pada nuansa nilai-nilai menjadi marjinal – negasi. Dari sinilah hulu perihal konsep penomorsatuan IQ (Intelectual Quotions) yang kemudian menjadi jargon segala-galanya dalam ekspansi sistem dan kinerja pendidikan menjadi “kegilaan” pada decission maker dan pendidik. Sedangkan pada sisi lain, konsep pendidikan pada dimensi EQ (Emotional Quotions) “diketepikan” dan bahkan nyaris dipersepsi tanpa adanya ikon, kebermaknaan.
Pendidikan dengan dimensi EQ (Emotional Quotions) dapat ditemukan dalam konsep pendidikan seni, termasuk didalamnya seni tari. Pendidikan seni dapat mengolah kecerdasan emosi seorang anak, karena di dalam pendidikan seni mengolah semua bentuk kegiatan tentang aktivitas fisik dan cita rasa keindahan, yang tertuang dalam kegiatan berekspresi, bereksplorasi, berkreasi dan berapresiasi melalui bahasa rupa, bunyi, gerak dan peran. Pendidikan seni dapat mengembangkan kemampuan dasar manusia seperti fisik, perseptual, intelektual, emosional, sosial, kreativitas dan estetik (V. Lownfeld, dalam Kamaril, 2001 : 2-3). Pendidikan seni lebih efektif apabila diberikan sejak anak usia dini, sejalan dengan proses perkembangan intelektual dan emosional anak.
Fenomena tersebut menjadi suatu hal yang menarik bagi peneliti untuk melakukan pengkajian lebih mendalam lagi dan menemukan jawaban bagaimana perubahan perilaku kecerdasan emosional anak usia dini melalui pendidikan seni tari terjadi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui, memahami dan menjelaskan (1) proses pelaksanaan pendidikan seni tari pada anak usia dini yang meliputi : tujuan, materi pembelajaran, metode, KBK, sarana dan prasarana, evaluasi, kondisi sosial dan budaya, (2) proses perubahan perilaku kecerdasan emosional anak usia dini melalui pembelajaran seni tari. Manfaat praktis penelitian ini adalah bagi (1) bagi anak, dapat mengembangkan kecerdasan emosionalnya melalui proses pembelajaran seni, (2) bagi guru, penelitian ini menjadi bahan pertimbangan untuk perbaikan proses pembelajaran seni tari bagi anak usia dini, (3) bagi kepala sekolah, penelitian ini sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan pendidikan berkaitan dengan proses pendidikan seni. Manfaat teoritis adalah hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan guna penelitian lebih lanjut.
1. Justifikasi Personal Pendidikan Seni
Studi terhadap dunia anak yang secara gencar dilakukan pada penghujung abad ke 19 (Mac Donald, 1970 : 38) menyadarkan orang bahwa anak merupakan pribadi yang unik yang memiliki kebutuhan dan kemampuan yang berbeda dengan orang dewasa. Salah satu bentuk dan kemampuan anak yang khas tersebut adalah dalam hal mengekspresikan diri.
Disadarinya kebutuhan anak untuk mengekspresikan rasa keindahan, mendorong pendidik untuk menyediakan fasilitas berupa kegiatan yang memungkinkan anak untuk secara lancar dapat mengungkapkan rasa keindahan serta juga dapat mengapresiasikan gejala keindahan yang ada disekelilingnya. Kegiatan untuk memfasilitasi anak dalam diri inilah yang ditawarkan oleh pendidikan seni, khususnya di sekolah. Jelaslah, pendidikan seni dalam konteks ini, hadir untuk memenuhi kebutuhan anak yang azasi yang tidak mampu diemban oleh kegiatan lain.
Pendidikan seni yang diajarkan di sekolah saling berkaitan antara seni suara, gerak, rupa dan drama, karena seni memiliki sifat multilingual, multidimensional dan multikultural. Pendidikan seni dapat mengembangkan kemampuan dasar anak seperti fisik, perseptual, intelektual, emosional, sosial, kreativitas dan estetik (V. Lowenfeld, dalam Kamaril, 2001 :2-3). Pendidikan seni juga dapat mengembangkan kemampuan manusia dalam berkomunikasi secara visual atau rupa, bunyi, gerak dan keterpaduannya (Goldberg, 1997 : 8). Selain itu, pendidikan seni juga dapat menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan berapresiasi terhadap keragaman budaya lokal dan global sebagai pembentukan sikap menghargai, toleran, demokratis, beradab dan hidup rukun dalam masyarakat dan budaya majemuk (Kamaril, 2001 : 4).
Pendidikan seni sangat penting diberikan sejak anak usia dini. Perkembangan anak usia dini dapat dibagi menjadi lima fase, yaitu fase orok, fase bayi, fase prasekolah (usia Taman Kanak-Kanak), fase anak sekolah (usia anak Sekolah Dasar) dan fase remaja (Yusuf, 2001 : 149). Salah satu fase perkembangan yang berlangsung dalam kehidupan anak adalah tahap prasekolah yang berlangsung sekitar 2-6 tahun, ketika anak mulai memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai pria atau wanita, dapat mengatur diri dalam buang air (toilet training) dan mengenal beberapa hal yang dianggap berbahaya (mencelakakan dirinya) (Yusuf, 2001: 162-163). Pada masa usia prasekolah ini, berbagai aspek perkembangan anak sedang berada pada keadaan perubahan yang sangat cepat, baik dalam kemampuan fisik, bahasa, kecerdasan, emosi, sosial dan kepribadian.
Perkembangan motorik anak pada usia ini, ditandai dengan bertambah matangnya perkembangan otak yang mengatur sistem syaraf otot (neoromuskuler), sehingga memungkinkan anak lebih lincah dan aktif bergerak. Dalam masa ini tampak adanya perubahan dalam gerakan yang semula kasar menjadi lebih halus yang memerlukan kecermatan dan kontrol otot-otot yang lebih halus serta terkoordinir. Untuk melatih ketrampilan dan koordinasi gerakan, dapat dilakukan dengan beberapa permainan dan alat bermain yang sederhana seperti kertas koran, kubus-kubus, bola, balok titian, dan tongkat.
Menurut Yusuf (2001 : 164), kemampuan motorik anak dapat dideskripsikan sebagai berikut :
Usia
Kemampuan
Motorik Kasar Kemampuan
Motorik Halus
3 – 4 tahun



4 – 6 tahun 1. naik turun tangga
2. meloncat dengan dua kaki
3. melempar bola

4. meloncat
1. mengendarai sepeda anak
2. menangkap bola
3. bermain olah raga 1. menggunakan krayon
2. menggunakan benda / alat
3. meniru bentuk (meniru gerakan orang lain)
4. menggunakan pensil
1. menggambar
2. memotong dengan gunting
3. menulis huruf cetak

Sementara itu, gerakan yang sering dilakukan anak-anak dapat dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu (1) motorik statis, yaitu gerakan tubuh sebagai upaya memperoleh keseimbangan gerak pada saat berjalan, (2) motorik ketangkasan, yaitu gerakan untuk melakukan tindakan yang berwujud ketangkasan dan ketrampilan, (3) motorik penguasaan, yaitu gerak yang dilakukan untuk mengendalikan otot-otot tubuh sehingga ekspresi muka terlihat jelas (Zulkipli, 1992 : 32).






Menurut Piaget (dalam Yusuf, 2001 : 6) perkembangan kognitif anak meliputi empat tahap, seperti tampak dalam tabel berikut ini.
Periode Usia Deskripsi Perkembangan
1. Sensorimotor




2. Praoperasioal






3. Operasi Konkret





4. Operasi Formal 0-2 tahun




2-6 tahun






6-11 tahun





11 tahun sampai dewasa Pengetahuan anak diperoleh melalui interaksi fisik, baik dengan orang atau obyek (benda). Skema-skemanya baru berbentuk reflek-refleks sederhana, seperti menggenggam atau menghisap.
Anak mulai menggunakan simbol-simbol untuk mempresentasikan dunia (lingkungan) secara kognitif. Simbol-simbol itu seperti : kata-kata dan bilangan yang dapat menggantikan obyek, peristiwa dan kegiatan (tingkah laku yang tampak)
Anak sudah dapat membentuk operasi-operasi mental atas pengetahuan yang mereka miliki. Mereka dapat menambah, mengurangi dan mengubah. Operasi ini memungkinkannya untuk dapat memecahkan masalah secara logis.
Periode ini merupakan operasi mental tingkat tinggi. Di sini anak (remaja) sudah dapat berhubungan dengan peristiwa-peristiwa hipotesis atau abstrak, tidak hanya dengan obyek-obyek konkret. Remaja sudah bisa berpikir abstrak, dan memecahkan masalah melalui pengujian semua alternatif yang ada.

James Mark Baldwin (dalam Suryabrata, 1993 : 182-183) menerangkan perkembangan sebagai proses sosialisasi dalam bentuk imitasi yang berlangsung dengan adaptasi dan seleksi. Adaptasi dan seleksi ini berlangsung atas dasar hukum efek (law of effect). Juga tingkah laku pribadi diterangkan sebagai imitasi. Kebiasaan adalah imitasi terhadap diri sendiri, sedangkan adaptasi adalah peniruan terhadap orang lain.
Mengacu pada pendapat tersebut, Baldwin (dalam Suryabrata, 1993 : 183-184) membagi proses peniruan menjadi tiga tahap, yaitu : (1) tahap proyektif (projective stage) adalah tahap dimana anak mendapatkan kesan mengenai model (obyek) yang ditiru, (2) tahap subyektif (subjective stage) adalah tahap dimana anak cenderung untuk meniru gerakan-gerakan, atau sikap model atau obyeknya, (3) tahap efektif (efective stage) adalah tahap dimana anak telah menguasai hal yang ditirunya, dia dapat mengerti bagaimana orang merasa, berangan-angan, dan berfikir.
John Martin dalam Soedarsono (1978 : 1) menyatakan bahwa substansi baku tari adalah gerak dan ritme. Gerak tidak hanya terdapat di dalam denyutan-denyutan seluruh tubuh manusia untuk tetap dapat memungkinkan manusia hidup, tetapi gerak juga terdapat pada ekspresi dari segala pengalaman emosional. Sach dalam Soedarsono (1978 : 1) menyatakan bahwa substansi dasar tari adalah gerak, tetapi gerak-gerak yang ada di dalam tari itu bukanlah gerak yang realistis, melainkan gerak yang telah diberi bentuk ekspresif. Langer (1988 : 14) menekankan bentuk ekspresif itu adalah sebuah bentuk yang diciptakan manusia untuk bisa dirasakan (dinikmati dengan rasa). Pada dasarnya gerak terungkap atau terwujud dengan adanya elemen-elemen dasar dari gerak yang membuat tari dapat menjadi ekspresi seni. Doris Humprey (1983 : 23) mengatakan bahwa ruang, waktu dan tenaga adalah elemen-elemen dasar dari gerak. Disamping elemen-elemen dasar gerak, tari juga mengandung nilai-nilai keindahan. Nilai-nilai keindahan ini terletak pada wiraga, wirama dan wirasa (Rusliana, 1984 : 14-15).

4. Pendidikan Seni Tari sebagai Proses Pembentukan Kecerdasan Emosional

Dari sejak awal perihal kehadiran dan keberadaan pendidikan seni (tari) dalam konteks sekolah umum di Indonesia, yang dalam sepanjang sejarahnya sering mengalami perubahan (baca : pembaharuan) nama, paradigmanya lebih diorientasikan dalam perspektif pemaknaan seni sebagai media atau alat pendidikan. Dalam artian, lewat atau melalui kegiatan atau aktivitas berkesenian, diyakini dapat difungsikan sebagai media yang cukup efektif untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan segenap potensi individu secara optimal dalam format kesetimbangan (equilibrium) yang penuh. Disini, yang menjadi orientasi dan stressing point-nya dari pemaknaan aktivitas berkesenian bukan berada pada persoalan produk karya atau hasil, melainkan lebih pada dimensi proses (Goedberg, 1997 : 17-20). Proses yang terbingkai dalam makna pendidikan seni, yang lebih dikenal dengan sebutan “pengalaman estetik” (aesthetic experience) menurut pendapat dan hasil penelitian para pakar pendidikan (Plato, Herbert Read, Victor Lowenfeld, Malcom Ross, Elizabeth Hurlock, Ki Hadjar Dewantara), ternyata mempunyai korelasi positif terhadap berkembangnya berbagai potensi diri individu, misalnya : imajinasi, intuisi, berpikir, kreativitas, dan juga rasa sensitivitas.
Dalam pandangan psikologi kontemporer tentang belajar (“konstruktivisme”), diisyaratkan bahwa belajar adalah mengkonstruksikan pengetahuan yang terjadi from within. Jadi tidak dengan memompakan pengetahuan itu ke dalam kepala pembelajar, melainkan melalui suatu dialog yang ditandai oleh suasana belajar yang bercirikan pengalaman dua sisi (two sided experience), untuk memberikan pemahaman dan menyulut minat dalam mengadakan eksplorasi lebih lanjut tentang apa yang ingin dijadikan perolehannya (Buber, 1970 dalam Semiawan dalam Sindhunata, 2001). Ini berarti bahwa, penekanan belajar tidak lagi seharusnya pada kuantitas materi, melainkan pada upaya agar siswa menggunakan peralatan mentalnya (otaknya) secara efektif dan efisien, sehingga tidak ditandai oleh segi kognitif belaka, melainkan terutama juga oleh keterlibatan emosional dan kreatif.
Daniel Goleman, Ph.D dari Harvard University, melalui hasil action research di dalam bukunya Emotional Intelligence (1995) dan Working with Emotional Intelligence (1999), mengisyaratkan bahwa manusia memiliki dua segi mental, yang satu, yang berasal dari kepala (head) yang cirinya kognitif, dan yang satu yang berasal dari hati sanubarinya (heart), yaitu segi afektifnya. Kehidupan afektif ini sangat mempengaruhi kehidupan kognitif yang dikelola oleh otak, yang memiliki dua belahan (kiri dan kanan) dan disambung oleh segumpal serabut yang disebut corpus callosum. Berpikir holistik, kreatif, intuitif, imajinatif, dan humanistik merupakan tugas serta ciri dan fungsi belahan otak kanan (right hemisphere), dan berpikir kritis, logis, linier, serta mememorisasi terutama terkait dengan respon, ciri, dan fungsi belahan otak kiri (left hemisphere) (Semiawan, 1999).
Pengalaman belajar yang menjanjikan adanya kualitas equilibrium pada pengembangan otak secara optimum, baik pada belahan kiri dan kanan akan memberikan kebebasan aktivitas mental (free mental work) pebelajarnya, dan hal ini kiranya merupakan quality assurancy yang perspektifnya sangat strategis bagi keberadaan individu secara holistik dalam kehidupan dan masyarakatnya. Sebaliknya pembelajaran yang hanya dan terutama membebankan berfungsinya belahan otak kiri, terutama dengan mememorisasi fakta atau rumus tertentu, yang menurut hasil penelitian, diantaranya akan mensupress dirinya – sangat mendorong adanya hostile attitude (sikap permusuhan) (Semiawan, 1999). Tindak agresivitas massa dan konflik multidimensional yang menjadi salah satu beban terberat bangsa akhir-akhir ini, adalah salah satu kemungkinan akibat dari kehidupan yang tidak sehat dan terkait erat dengan cara pembelajaran yang salah, sebagaimana diisyaratkan oleh penelitian tersebut.
Namun, jauh sebelum Goleman melakukan penelitiannya itu, Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara bahkan sudah sejak lama menjadikan unsur rasa sebagai poros trilogi pendidikan dalam bentangan pikir (cipta) – rasa – karsa. Ki Hadjar Dewantara secara intens menekankan pentingnya olah rasa disamping olah pikir dan olah raga. Melalui olah rasa inilah akan memekarkan sensitivitas hingga terbentuk manusia-manusia yang berwatak mulia, seperti : terintegrasinya antara pikir, kata, dan laku, sikap jujur, rendah hati, disiplin, setia, menahan diri, bertenggang rasa, penuh perhatian, belas kasih, berani, adil, terbuka, dan sebagainya. Oleh karenanya proses internalisasi atau pengakaran, pengasahan dan pemekaran rasa seyogyanya menjadi concern sejak pendidikan di tingkat dini.
Ketika pendidikan moral dan nilai-nilai yang tersaji dalam format pendidikan agama baik formal maupun informal, ternyata dalam ekspresinya berkecenderungan lebih mengedepankan pengasahan aspek kognitif dan bukannya penajaman dan penghayatan pada dimensi religiousitas, maka sesungguhnya nilai-nilai yang termuat dalam pendidikan yang berbasiskan seni dan sastra merupakan salah satu alternatif oasis. Sayangnya selama ini tidak pernah mendapatkan perhatian yang besar dalam sistem pendidikan formal kita, karena para decission maker pendidikan kita sampai saat ini begitu gandrung dengan ranah pendidikan yang berbasiskan kemampuan intelektual semata sebagaimana dimaksud diatas.
Pendidikan seni yang pada hakekatnya merupakan pembelajaran yang menekankan pada pemberian pengalaman apresiasi estetik, disamping mampu memberikan dorongan ber-“ekstasi” lewat seni, juga memberi alternatif pengembangan potensi psikhis diri serta dapat berperan sebagai katarsis jiwa yang membebaskan. Ross mengungkapkan bahwa kurikulum pendidikan seni termasuk kurikulum humanistic yang mengutamakan pembinaan kemanusiaan, bukan kurikulum sosial yang mengutamakan hasil praktis (Ross, 1983). Sedangkan menurut Read (1970) pendidikan seni lebih berdimensikan sebagai “media pendidikan” yang memberikan serangkaian pengalaman estetik yang sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan jiwa individu. Sebab melalui pendidikan ini akan diperoleh internalisasi pengalaman estetik yang berfungsi melatih kepekaan rasa yang tinggi. Dengan kepekaan rasa yang tinggi inilah nantinya mental anak mudah untuk diisi dengan nilai-nilai religiousitas, budi pekerti atau jenis yang lain. Istilah lain dari konsep “kearifan”. Definisi dan pemaknaan “kearifan” diperlukan syarat-syarat : pengetahuan yang luas (to be learned), kecerdikan (smartness), akal sehat (common sense), tilikan (insight), yaitu mengenali inti dari hal-hal yang diketahui, sikap hati-hati (prodence, discrete), pemahaman terhadap norma-norma dan kebenaran, dan kemampuan mencernakan (to digest) pengalaman hidup (Buchori, 2000 dalam Sindhunata, 2001: 25). Semua nilai-nilai itu terkandung dengan sarat dalam dimensi pendidikan seni, karena berorientasi pada penekanan proses pengalaman olah rasa dan estetis.

0 komentar:

Sejarah Harmonia

Harmonia, ISSN 1411-5115, berdiri tahun 2001. Pada tahun 2004 telah terakreditasi oleh DIKTI. Karena diberlakuan aturan dan format baru pada tahun 2006, pada tahun 2007 tidak lagi terakreditasi, karena mendapat nilai cukup (C).
File : index Harmonia

Sumbangan Naskah

Redaksi menerima artikel, baik berupa artikel konseptual maupun hasil penelitian. Naskah berupa print out dan soft file dikirim ke alamat redaksi Harmonia. Naskah dapat pula dikirim melalui attachment file e-mail.

Dari Redaksi

Artikel-artikel yang dipublikasikan lewat web ini telah diterbitkan di jurnal Harmonia. Pemuatan dalam web ini adalah untuk lebih menyebarkan penerbitan tersebut terutama melalui media yang berbeda, dunia maya. Di masa mendatang, hanya abstrak artikel yang ditampilkan.

Web Disigned by Suharto, Blog Template by ourblogtemplate.com

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP