Welcome to

HARMONIA : Jurnal Pengetahuan dan Pemikiran Seni

Senin, 03 Agustus 2009

SENI PEMBEBASAN : ESTETIKA SEBAGAI MEDIA PENYADARAN

Oleh :



Ahmad Zaenuri (Dosen STIKES Muhammadiyah Gombong)


dan Wahyu Lestari (Dosen Jurusan Seni Tari Unnes)



ABSTRACK
Aesthetic is not only presents beauty that give pleasure without any interest of the sense, but also gives an recognition for people in terms of developing social, economic, politic, and culture phenomenon. Aesthetic which gives beauty has essence of recognition social and culture phenomenon changes system and culture, changes value system in society. Reality life is imagination, fantasy, and absurd dreams, whereas the truth and kindness of beauty only occur in ideas which create beauty of life management and the value of culture system itself. Art as a media of freedom is an effective alternative as a means of massage delivery about situation of social life that grow attempts of policies of decision maker and global capitalism who create system of culture value in society for capitalist interest.

Kata Kunci : estetika, penyadaran, seni, pembebasan



PENDAHULUAN
Estetika yang dipahami selama ini hanya sebuah keindahan yang muncul akibat dari pencerapan indera dan tidak berkepentingan sehingga menimbulkan sebuah kesenangan tanpa kepentingan (disinterested pleasure). Estetika tidak menghadirkan sesuatu yang lain dari sebuah keindahan dari pencerapan indera tanpa tendensi. Perkembangan seni tidak melulu pada estetika yang positivistik, namun lebih dari itu, keindahan dalam arti universal yang menilai sesuatu dapat ditinjau dari segi manapun. Estetika sebagai usaha pendidikan dan dekonstruksi atas ideologi dominan dan membangkitkan rasa keadilan.
Postmodernisme merubah cara pandang estetika dari keindahan yang memiliki batasan-batasan estetis berdasar hukum estetika dari keindahan yang memiliki batasan-batasan estetis berdasar hukum estetika menjadi estetika sebagai keindahan dalam pandangan yang multidimensional dan multikultural.
Estetika memiliki nilai keindahan dalam berbagai segi, nilai, struktur, esensi dan lain sebagainya dalam tinjauan dari berbagai sisi estetika dan cara pandangnya. Estetika merupakan media yang efektif sebagai proses penyadaran bagi masyarakat akan fenomena yang sedang terjadi. Estetika mampu menghadirkan fenomena pertentangan antara yang menindas dan yang tertindas dengan menggunakan ideologi dan kebudayaan tanpa kekerasan lebih berarti sebagai perjuangan menuju pada pembebasan dari ketidakadilan.
Seni pembebasan merupakan bentuk ekspresi dari segala bentuk tekanan psikis alam tidak sadar dalam diri individu ataupun tekanan dalam lingkungan masyarakat sebagai sebuah fenomena. Ekspresi seni menjadi media penting bagi tersampaikannya pesan-pesan sosial maupun individual. Seni dapat sebagai media penyadaran bagi masyarakat sosial terhadap fenomena atau kebijakan-kebijakan nilai dalam kehidupan masyarakat. Ekspresi seni tidak saja berdimensi pada pemberian makna terhadap realitas sosial tetapi lebih sebagai media pembangkitan kesadaran kritis dan aksi perubahan.
Kesadaran masyarakat akan arti penting peran masyarakat terhadap suatu fenomena sosial dan budaya dalam masyarakat yang berkembang perlu proses pemahaman suatu fenomena budaya yang sedang terjadi di dalamnya. Proses penyadaran dapat dilakukan melalui perenungan yang dilakukan oleh individu ataupun secara kolektif. Sachari (2000: 122) mengatakan :
Pergeseran nilai estetik yang dipahami sebagai suatu penyadaran (concientization) merupakan proses pemahaman suatu fenomena budaya, dan pengambilan tindakan untuk memilih unsur-unsur positif dari terjadinya pergeseran-pergeseran tersebut. Penyadaran dapat dilakukan melalui perenungan yang dilakukan oleh pribadi-pribadi, maupun sikap kritis terhadap fenomena yang terjadi.

Estetika yang sudah mengalami pergeseran, bukan lagi milik sekelompok elit perancang atau seniman yang berbakat (elitis), tetapi estetika merupakan milik masyarakat sebagai bentuk kekayaan budaya dan media ekspresi dari kehidupan sosial masyarakat. Penyadaran melalui media seni dalam lingkungan masyarakat melibatkan seniman sebagai mediator antara gejala dalam masyarakat dan penentu kebijakan sistem dan budaya. Freire (Sachari 2002: 27) mengatakan bahwa berekspresi melalui kesenian, hakekatnya juga memberi pendidikan kepada masyarakat secara lebih bermakna.
Nilai-nilai estetika sering hanya sebagai kreativitas seniman melalui media seni, namun dibalik itu, seni memiliki sisi lain yang penting bagi masyarakat, karena seni dapat memberi inspirasi, pemahaman, apresiasi, dan pengalaman estetis yang esensial dalam proses penyadaran. Dalam kerangka teori sosial dan kebudayaan kritis, aktivitas seniman dapat dipahami tidak hanya sebagai aktivitas ritual, namun yang dilakukan seniman yang oleh Freire (Sachari 2002: 27) dikatakan sebagai “aksi kultural” untuk pembebasan. Seni lebih berpihak pada rakyat atau lebih dikatakan seni kerakyatan, menganalisis secara kritis segala bentuk kebijakan, fenomena masyarakat sosial dan budaya serta sistem yang ada untuk diperjuangkan agar lebih berpihak pada rakyat bukan sebagai “rekayasa budaya” yang membuat rakyat tunduk pada struktur yang ada.


KESADARAN SOSIAL DAN BUDAYA DALAM SENI PEMBEBASAN

Seni sebagai buah karya cipta manusia yang menampilkan keindahan sebagai hasil realisasi dari ide, imajinasi, fantasi, mimpi, dan/atau bentuk neurosis, tekanan mental, psikis, ketergantungan, ketidakberdayaan, kecemasan (anxiety), ketakutan (phobia), dan segala bentuk gangguan psikologis lainnya, mampu memberikan kontribusi bagi masyarakat dalam konteks sosial dan budaya. Ide-ide kreatif dalam karya seni adalah manifestasi dari kejeniusan seniman mensublimasikan bentuk represi sehingga menjadi sebuah karya seni yang indah. Perkembangan seni tidak hanya pada tataran keindahan tanpa makna, tetapi lebih jauh pada esensi yang terkandung dalam karya seni yang diciptakan, jadi bukan hanya bentuk fisik yang menampilkan keindahan estetis, namun dibalik karya seni memiliki roh yang mampu memberikan pencerahan yang mempengaruhi perenungan bagi penikmat atau audiensi untuk mencapai kesadaran estetis.
Estetika tidak lagi bersifat eksklusif dan elit karena masyarakat memiliki peran penting di dalamnya. Estetika, dalam perkembangannya tidak lagi menjadi monopoli, milik segelintir orang saja dalam masyarakat karena sebagian besar masyarakat mampu memiliki dan menikmati hasil-hasil karya seni (Marcuse dalam Sachari 2002: 31). Estetika seni dapat menjadi proses penyadaran bagi masyarakat pada tingkatan kesadaran dalam analisis Freire (Fakih dalam Moelyono 1997: xv), yaitu kesadaran yang magis (magical consciousness) yang tidak mampu melihat keterkaitan kemiskinan dengan sistem politik dan kebudayaan dan kesadaran kebudayaan naïf (naifal consciousness) memandang “aspek manusia” yang menjadi akar penyebab masalah masyarakat, timbulnya kemiskinan disebabkan “salah” masyarakat sendiri sehingga kebudayaan dan kesenian tidak mempertanyakan sistem dan struktur karena sudah dianggap baik dan benar merupakan faktor given, menuju pada perubahan sosial pada kesadaran kritis.
Analisis Hubermas membagi paradigma pengetahuan yang berlaku dalam kebudayaan terbagi dalam tiga aliran. Pertama, kebudayaan instrumental, ekspresi budaya dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi obyeknya, yang dimaksudkan sebagai paradigma Positivisme-istilah yang diberikan Comte. Positivisme, pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari pandangan, metode dan teknik ilmu alam dalam memahami realitas dan bahwa hukum alam mengendalikan manusia dan gejala sosial dapat dipergunakan sebagai dasar untuk melakukan pembaruan-pembaruan sosial dan politik untuk menyelaraskan institusi-institusi masyarakat dengan hukum-hukum itu (Johnson 1986: 80). Positivisme mengambil ilmu alam menguasai obyeknya dengan kepercayaan adanya universalisme dan generlisasi melalui metode determinasi fixed law atau kumpulan hukum teori. Positivisme percaya bahwa strategi budaya harus didekati dengan ilmiah, obyektif, bebas nilai, dan bersifat universal, yang mensyaratkan pemisahan fakta dan nilai demi obyektivitas. Obyektivitas, empiris, tidak memihak, detachment, rasional dan bebas nilai mempengaruhi strategi budaya yang dominan. Ekspresi kebudayaan bersifat fabrikasi yang mekanistik dalam suatu kerangka “industri kesenian” dan sangat tidak toleran terhadap segala bentuk budaya non-modernisasi dan disebut tradisional. Kebudayaan dominan bersifat a-historis dengan mengolaborasi model masyarakat dengan mengisolasi banyak variabel. Dasar asumsi budaya dominan bahwa sesungguhnya tidak ada masalah dalam sistem yang ada, masalahnya terletak pada mentalitas, kreativitas, motivasi, keterampilan teknis, serta kecerdasan rakyat (Fakih dalam Moelyono: XV).
Tradisi liberal juga berpengaruh pada kebudayaan dominan dan menguat bersamaan dengan dominannya globalisasi ekonomi “liberal” kapitalisme. Kebudayan liberal menjadi bagian dari ideologi budaya modernisasi, dengan asumsi bahwa keterbelakangan budaya rakyat disebabkan oleh mentalitas budaya rakyat yang tidak sesuai dengan modernisasi dan kapitalisme. Kebudayaan dominan semakin melanggengkan kelas, penindasan, dominansi gender dan gagal mentransformasikan struktur dan sistem yang ada untuk lebih adil.
Paradigma pengetahuan kedua adalah paradigma interpretatif (fenomenology) yang setara dengan paradigma dominatif kesadaran naïf-nya Freire. Menurut paradigma interpretatif bahwa sosial maupun kebudayaan selayaknya lebih ditujukan untuk memahami obyek seni dan budaya sebaik mungkin. Ungkapan ketidakpuasan terhadap positivisme dengan menggunakan semboyan “biarkan realitas berbicara tentang diri mereka sendiri”, tanpa suatu rekayasa, campur tangan, dan tafsiran. Aksi kultural dalam aliran ini lebih sebagai “konservasi” terhadap budaya tradisional, etnik, dan estetika lokal dari suatu ekspresi budaya, dalam hal ini seni dimaksudkan sebagai proteksi dan apresiasi. Seniman dapat menganggap bahwa kehidupan sebagai sebuah mimpi atau alam yang abstrak dari harapan dan cita-cita akan realitas kebenaran. Seniman mengharapkan adanya kebenaran yang nyata dalam kehidupan bukan hanya kebenaran yang fiktif, dan kebenaran yang nyata hanya dalam dunia realitas cuma suatu khayalan, yang kita julukkan pada realitas dengan imajinasi kita.
Seni tidak sekadar menampilkan nilai estetik, tetapi terkandung kepentingan untuk menguasai (Freire dalam Sachari 2002: 27). Seni, dalam hal ini merupakan media untuk melihat realitas kehidupan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya melalui karya yang estetis, namun demikian karya seni mengandung hasrat untuk berkuasa agar terjadi perubahan dalam kehidupan sosial dari dehumanisasi. Proses “memanusiakan manusia” sebagai gagasan Feire, melihat kebudayaan sebagai bagian dari sistem masyarakat yang justru melanggengkan dehumanisasi. Tugas seniman adalah menolak sistem dehumanisasi yang memandang rendah manusia melalui media seni. Camus (Sachari 2002: 25) mengatakan :
Dalam menciptakan karya seni, seorang seniman hendak menghadirkan dunia tidak sebagaimana adanya, tetapi sebagaimana yang dirasakan dan dipahaminya, dunia yang diinginkannya meskipun fenomena ini absurd. Menjadi seniman dan kemudian menciptakan karya seni, hakekatnya telah melakukan pemberontakan terhadap absurditas. Pemberontak adalah seorang yang kreatif.

Seniman, dalam berkarya seni menampilkan dunia yang absurd dari alam bawah sadar dan disimbolisasikan dalam karya seninya. Penggambaran alam pikiran bawah sadar menjadi obyek yang imajinatif dan fantastik merupakan salah satu metode sublimasi atas dorongan psikis yang telah mengalami represi. Karya seni merupakan gambaran dari harapan, mimpi, imajinasi dan fantasi dan atau bahkan merupakan bentuk pengungkapan emosi yang neurosis, kecemasan, ketakutan dan lain sebagainya. Freud (dNelson (ed) 2003: 164-165) mengatakan dalam teori psikoanalisisnya bahwa seni lahir hasil dari neurosis karena proses imajinasi kreatif dalam bentuk simbol, sedangkan simptom neurosis juga berbentuk simbol. Energi neurosis dibelokkan dari masalah realistis untuk menangani konflik batin. Hasil karya seni yang besar diciptakan oleh seniman neurotik, tapi keberhasilannya menunjukkan kekuatan genius untuk mengalahkan penyakit. Seni merupakan proses simbolisasi oleh seniman dari dorongan psikisnya. Fantasi akan menjadi seni jika diungkapkan dan dikontrol oleh ego yang bertanggungjawab, realistis dan logis. Camus (Sachari 2001: 26) mengatakan bahwa di luar bingkai, seniman adalah orang yang menolak dan sekaligus menerima dunia. Seniman juga ingin mengubah dunia menjadi lebih indah, lebih teratur, dan lebih bermakna.

SENI SEBAGAI KRITIK SOSIAL
Seni memiliki arti penting dalam kehidupan sebagai media kritik terhadap realitas sosial baik dilakukan oleh individu maupun secara kolektif oleh sekelompok seniman. Langer (The Liang Gie 1996: 30) mengatakan :
Seni merupakan ujung tombak dari perkembangan manusia, sosial, dan individual. Usaha merendahkan seni merupakan gejala yang paling pasti dari kemerosotan suku bangsa. Pertumbuhan suatu seni baru atau bahkan suatu gaya yang besar dan radikal senantiasa memperlihatkan suatu budi pikiran yang muda dan penuh semangat, secara kolektif atau sendirian.

Perkembangan manusia dalam kehidupan sosial tidak pernah lepas dari estetika, karena estetika merupakan bagian yang erat kaitannya dengan kehidupan manusia baik secara individual maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Estetika, dalam kehidupan manusia tampak dalam berbagai desain suatu benda baik yang menonjolkan sifat estetisnya-keindahan sebagai sebuah kesenangan atas obyek indra-maupun berdasarkan fungsinya yang tetap tidak akan meninggalkan nilai-nilai estetis.
Seniman, dalam menciptakan karya seni tidak hanya menggambarkan sebuah realitas kehidupan, tetapi lebih dari itu melukiskan harapan yang menjadi impian dari realitas kehidupan agar dapat mengalami perubahan. Dalam hal ini, seniman melukiskan mimpinya akan realitas kehidupan yang menjadi harapan bagi seniman dan masyarakat luas. Klee (Lash 2004: 107) mengatakan bahwa melukis tidak untuk menafsirkan yang kelihatan, melainkan menerjemahkan agar menjadi kelihatan.
Seni pembebasan pada dasarnya memiliki makna ganda, yaitu seni berfungsi sebagai sublimasi dari bentuk tekanan energi psikis yang bersifat individual dan diekspresikan dalam karya seni; dan seni sebagai bentuk penyadaran bagi masyarakat terhadap fenomena sosial dari kepekaan sosial terhadap situasi kehidupan sosial dan budaya yang berkembang, dalam hal ini seni berfungsi sebagai media kritik terhadap kenyataan agar terjadi perubahan dalam sistem sosial dan budaya dalam masyarakat yang sesuai dengan harapan. Realitas sosial menjadi obyek bagi seniman untuk dikritisi atas segala kekurangan, ketidakadilan, penindasan, gender, dan lain sebagainya yang sedang terjadi dalam kehidupan sosial budaya sebagai akibat dari kekuasaan kaum kapitalis.
Media kritik sosial yang paling efektif dan efisien serta mampu menampilkan keindahan estetis akan sangat menarik bagi masyarakat untuk merespon keindahan pada tampilan awal untuk kemudian memberikan apresiasinya dengan pemahaman dan perenungannya akan karya seni yang ditampilkan, dan akhirnya menimbulkan kesan yang mendalam bagi audiens. Kesadaran masyarakat terhadap nilai budaya yang berkembang akan mempengaruhi sistem nilai dalam masyarakat dan kebijakan-kebijakan dalam pembentukan struktur sistem budaya oleh pihak-pihak penentu kebijakan.
Kesadaran seni sebagai media pembebasan diharapkan mampu mencapai tingkatan kesadaran ketiga dalam pendapat Freire, yaitu kesadaran budaya kritis. Kesadaran menurut Freire (Fakih dalam Moelyono 1997: xvii) sebagai kesadaran budaya kritis yang pada dasarnya melihat kaitan antara ideologi dan struktur sosial sebagai sumber masalah yang menganalisis secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi, gender, dan budaya serta akibatnya pada masyarakat. Paradigma kritis mampu mengindentifikasi “ketidakadilan” dalam sistem yang ada yang kemudian mampu menganalisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana mengubahnya.
Kebudayaan kritis menciptakan ruang agar rakyat terlibat dalam menciptakan struktur yang secara fundamentas baru dan lebih baik sebagai sebuah bentuk pembebasan manusia. Kebudayaan kritis memberikan legitimasi terhadap seni resistensi dan pembebasan yang dianggap “tidak estetik”, dan berfungsi sebagai kritik terhadap paradigma kebudayaan modernisasi. Aksi kultural dari kebudayaan kritis mentransformasi hubungan seniman dan rakyat menjadi hubungan yang lebih adil. Seniman, melalui media karya seninya harus kritis terhadap fenomena masyarakat dan budaya yang semakin didominasi oleh kapitalis dan penguasa dengan memperalat budaya sebagai sistem untuk mengendalikan kehidupan sosial.

SENI PEMBEBASAN
Estetika merupakan hal yang paling dekat dengan kehidupan manusia sehingga proses penyadaran melalui media estetika sangat mudah mempengaruhi kehidupan dan kebudayan dalam masyarakat. Proses penyadaran dalam kehidupan sosial lebih mudah melalui media seni, karena pemahaman masyarakat akan seni masih bersifat positivistik sehingga perlu adanya pemberian pengalaman estetis yang lebih mendalam bahwa estetika tidak hanya menampilkan keindahan namun dibalik keindahan yang ditampilkan memiliki filosofi dan esensi yang lebih dalam.
Seni sebagai media komunikasi antara seniman dengan audiens, dalam hal ini seniman mengungkapkan segala bentuk tekanan psikisnya lewat karyanya sehingga audiens dapat memahami apa yang disampaikan oleh seniman. Proses pemahaman terhadap karya seni tergantung dari pengalaman estetis audiens terhadap karya seni. Seni memberi seniman dan audiens denyut kesadaran baik atas keinginan manusia dan realita yang menghalangi dan memenuhi mereka (Freud dalam Nelson 2003: 166).
Seni pembebasan berperan sebagai media pembebasan dari segala bentuk ketertindasan, kebijakan yang menekan dan memperalat masyarakat, dan sebagai media komunikasi dari berbagai fenomena yang muncul dalam masyarakat sehingga terbangun kesadaran terhadap budaya masyarakat yang adil. Karya seni adalah karya kreatif. Tetapi apa yang diciptakan oleh karya seni bukanlah obyek, melainkan sebuah hasil kritis mengenai segala sesuatu yang ada (Soetomo 2003: 14). Tugas seniman adalah bersikap kritis terhadap realitas kehidupan, ketidakadilan, ekploitasi, dan segala bentuk penindasan baik oleh penentu kebijakan maupun kapitalis. Hegel (Soetomo 2003: 14) mengenai status dan fungsi seni, mengatakan bahwa seni bersikap kritis terhadap dunia untuk menciptakan rasa rindu akan perasaan keindahan yang mampu menyingkirkan segala yang buruk dan tercela dalam realitas politik praktis. Mimpi, fantasi, harapan, keinginan, dan imajinasi akan keindahan kehidupan dunia, yaitu kehidupan yang demokratis, adil, tidak ada pembatasan kelas, dan sebagainya akan menjadi kenyataan jika masyarakat kritis dalam menghadapi situasi sosial dan budaya agar sesuai dengan harapan.
Krisis kultural yang terjadi akibat dari kegagalan dari fungsi seni dalam memainkan posisi kritis sehingga gagal memperjuangkan keindahan sebagai alternatif historis terhadap irrasionalitas yang buruk dari dunia. Karya seni tidak melulu sebagai media ungkapan pribadi seniman tanpa kepekaan sosial terhadap fenomena di lingkungan masyarakat dan budaya yang berkembang. Nilai-nilai seni yang dihadirkan tidak hanya sebagai media komunikasi pribadi yang tidak memperdulikan lingkungan sosialnya.
Seni pembebasan merupakan upaya memberikan penyadaran kepada masyarakat akan arti penting dalam kehidupan, keindahan dalam perilaku, keseimbangan hidup tanpa penindasan, persamaan hak dan kewajiban. Siahaan (Miklouho-Maklai 1997: 107) merumuskan bahwa seni pembebasan itu kemerdekaan individual bagi pembebasan mayoritas kemanusiaan.
Karya-karya seni yang hanya menampilkan keindahan, meromantisasi kemiskinan telah merusak nilai-nilai yang membawa semangat pembaruan kemanusiaan bagi seni, karena kemanusiaanlah yang sesungguhnya menderita karena diracuni oleh kebodohan oleh penipuan minoritas yang menyangkal nilai dan hak apapun bagi mayoritas (Siahaan dalam Miklouho-Maklai 1997: 106). Karya seni sebagai media pengungkapan dari bentuk realitas atas pemahaman seniman memberikan penyadaran bagi kehidupan nyata dan mengkritisi begaimana caranya untuk menciptakan sebuah keindahan sebagaimana harapan, mimpi, dan perubahan yang diharapkan pada realitas sosial. Seni, tanpa kepekaan sosial memiskinkan nilai-nilai estetika.
Proses penyadaran kepada masyarakat tentang fenomena dalam lingkungan politik, sosial, ekonomi, dan budaya menjadi tugas yang berat karena sistem yang ada adalah produk dari kebijakan orang yang berkuasa dan kapitalis. Penindasan, pemiskinan, patriarkal, dan segala bentuk perendahan nilai-nilai kemanusiaan terus berlanjut selama kekuasaan berada di pihak penentu kebijakan dan kapitalis. Marx (Brown 2005: 23) melihat para buruh semakin dimiskinkan seperti yang dilakukan oleh kaum kapitalis. Pemiskinan ini belum mencapai perkembangan yang lengkap dalam kaitannya dengan kekuatan perjuangan kelas pekerja yang seluruhnya merupakan sejarah kapitalisme.
Perjuangan masyarakat melawan penindasan, kemiskinan, ketidakadilan, patriarki, dan lain sebagainya merupakan usaha untuk melakukan perubahan dalam sistem budaya yang diterapkan oleh penguasa sebagai alat dalam menentukan kebijakan-kebijakan politiknya dan kaum kapitalis yang menciptakan budak-budak dari rakyat kecil demi kepentingannya dan pemodal dari kaum kapitalis. Penindasan melalui budaya sifatnya perlahan-lahan yang berupa hal-hal yang tidak disadari, seperti budaya konsumtif, mode, ketimpangan sosial, budaya kelas dengan pembodohan, ketidakadilan, kebijakan, eksploitasi dan lain sebagainya yang lambat laun mempengaruhi budaya merasa agar menjadi obyek untuk permainan bagi kaum kapitalis dan penentu kebijakan sebagai pemegang kekuasaan.
Penyadaran pada masyarakat menjadi hal yang esensial untuk mengkritisi realita sosial agar terjadi perubahan karena dalam perilaku ketidaksadaran manusia sudah menjadi budak bagi kaum penindas demi kepentingannya. Proses penyadaran melalui media seni perlu adanya kepekaan sosial dan keberanian dari seniman dan masyarakat-sebagai audiens-secara umum untuk mengungkapkan segala bentuk tekanan psikologis dalam jiwa masyarakat. Karya seni adalah kompleks dari berbagai fenomena rasa yang memberikan pengaruh dan membentuk “ada”nya (Benjamin dalam Soetomo 2003: 17).
Soetomo (2003: 27) mengatakan bahwa kebudayaan, di bawah kapitalisme menjadi salah satu fungsi industri. Berbeda dengan industri-industri yang lain, industri kebudayaan menjadi pilar untuk terus memelihara sistem kapitalisme. Kapitalisme melalui budaya mengubah sistem menjadi keberpihakan terhadap budaya kapitalistik dan dalam ketidaksadarannya, masyarakat sudah menjadi budak kepentingan kapitalis. Kebudayaan industri telah menghasilkan kebudayaan massa yang mediocre. Hiburan sudah menjadi prinsip kebudayaan massa. Kebudayaan industri menciptakan isi hiburan yang digunakan untuk melangsungkan dirinya sendiri tanpa mempedulikan pengaruhnya bagi perkembangan masyarakat karena tendensi kepentingan.
Realitas yang terjadi adalah bahwa karya seni mengalami krisis, seni tidak bebas lagi memainkan peranannya untuk menyebarkan keindahan, melainkan tergantung pada banyak aspek sehingga seni menyingkirkan keindahan karena mengikuti kekejaman fasis. Krisis kebudayaan sehingga kebudayaan menjadi afirmatif, menjadi simbol kematian untuk kesadaran manusia. Kebudayaan industri menjadi berperan sebagai institusi suprastruktur atas transformasi teknologi seni dan kebudayaan (Soetomo 2003: 28). Seperti yang dikatakan Marcuse (Sachari 2002: 30), bahwa :
Dalam masyarakat industri modern, karya-karya seni serta kebudayaan sudah merosot menjadi alat pengikat sosial. Karya seni tidak lagi menggambarkan dan menunjukkan dimensi hidup “ yang lain”, tetapi justru merupakan pendukung wacana yang mapan. Pemerosotan tersebut tampak dari kenyataan bahwa karya-karya seni dewasa ini lebih merupakan obyek perdagangan yang lebih mengutamakan nilai tukar daripada nilai seninya. Karya estetik jatuh menjadi komoditas, seperti halnya produk-produk industri .

Nilai-nilai dalam karya seni merosot seperti produk industri atau bahkan lebih rendah lagi, hal ini disebabkan lemahnya estetika seni sebagai sebuah karya seni yang memiliki nilai seni yang tinggi menjadi barang produksi karena sistem yang sudah dikuasai oleh kapitalis, sementara seni tidak mampu lagi sebagai media penyadaran bagi masyarakat dan bahkan mengikuti arus sistem industrialisasi kapitalis. Penghargaan terhadap karya seni sebagai sebuah karya yang memiliki esensi bagi seniman dan masyarakat semakin rendah yang justru dikalahkan oleh produk-produk industri yang dimainkan oleh kapitalis.
Relasi kekuasaan dalam budaya dominan menciptakan “industri kesenian” yang mendominasi massa media dan rakyat sebagai obyek kesenian diletakkan dalam rangka mengontrol mereka. Hubungan kekuasaan dalam industri melalui proses budaya “pendisiplinan dan normalisasi” berlangsung antara mereka yang berkuasa dengan rakyat dan seniman dengan obyeknya dengan bentuk subjection, yaitu menjadikan masyarakat melalui obyek kebudayaan sehingga industri kebudayaan menghasilkan dominasi ideologi dan budaya. Kesenian telah menjadi alat penjinakkan dan dominasi untuk melicinkan perampasan dan penggusuran ekonomi dan politik kaum marjinal.
Globalisasi ekonomi telah melegitimasi lebarnya jurang antara Negara kaya dan miskin serta ikut memperkokoh struktur budaya yang meletakkan masyarakat miskin menjadi bagian yang ditundukkan secara kultural. Keberhasilan modernisasi akan membawa dunia berdasar nilai tunggal yang menghilangkan keanekaragaman budaya dan menyingkirkan berbagai bentuk alternative kehidupan dan bermasyarakat.
Seni pembebasan sebagai bentuk resistensi dari hegemoni-istilah yang disampaikan Gramsci sebagai kepasarahan (concent) dan pemaksaan (coercion)-yang diciptakan oleh kapitalis dan mereka yang berkuasa agar buruh dan rakyat menundukkan/menyetujui dan memihak pada dominasi yang ada. Rekayasa budaya telah menjadi senjata bagi ideologi dominan untuk melancarkan hegemoni, dalam rangka menundukkan ideologi, politik, dan ekonomi kelompok yang didominasi. Aksi kultural lewat media seni bagi seniman tidak sekedar demi kepentingan golongan yang tergusur saja, namun secara mendalam merupakan proses pembangkitan kesadaran krisis terhadap proses dehumanisasi.

PENUTUP
Seni merupakan media ekspresi bebas sebagai ungkapan dari tekanan-tekanan psikis seniman baik secara individu-dorongan yang mendapatkan represi dari realitas sosial-maupun dorongan-sebagai sebuah kepekaan sosial terhadap realitas-dari lingkungan masyarakat yang mengalami represi akibat kekuasaan sehingga menimbulkan ketidaksadaran dalam perilaku. Refleksi seni sebagai estetika penyadaran merupakan media yang mudah dipahami dan memiliki muatan ideologis terhadap kesadaran budaya dan sistem yang ada dalam masyarakat sebagai konstruksi dari kekuasaan-kekuasaan dan kapitalis.
Proses penyadaran melalui media estetika memberikan pencerahan terhadap pemahaman sistem sosial dan budaya sehingga menimbulkan kesadaran kolektif bagi masyarakat untuk mensikapi realitas sosial. Seniman, dalam hal ini bertugas sebagai mediator atas realitas sosial dan dunia psikis dalam diri dan masyarakat yang sedang “sakit” karena berbagai penindasan, ketidakadilan, gender, patriakal, dan lan sebagainya akibat dari kekuasaan dan sistem yang diterapkan dalam budaya masyarakat. Sistem budaya yang diterapkan tidak memihak pada rakyat sehingga menciptakan jurang pemisah antara kaya dan miskin, pintar dan bodoh, penguasa dan rakyat, dan lain sebagainya sebagai produk dari kekuasaan dan kapitalis yang bertendensi pada kepentingan pemodal.
Budaya yang berkembang dalam masyarakat merupakan konstruksi dari kekuasaan dan kapitalis yang secara perlahan-lahan menindas dan membodohi rakyat demi kepentingan kekuasaan dan kapitalis yang secara perlahan-lahan menindas dan membodohi rakyat demi kepentingan kekuasaan dan kapitalisme global. Realitas yang semakin memarjinalkan posisi rakyat sebagai kaum tertindas, perlu adanya kesadaran kolektif dalam masyarakat untuk mensikapi dan mengkritisi realitas sistem nilai sosial dan budaya sehingga mencapai pencerahan yang diharapkan oleh masyarakat luas.



DAFTAR PUSTAKA
Brown, Phil. 2005. Psikologi Marxisme. Diterjemahkan oleh Afid Sadzali dan Ema Rahmawati.Yogyakarta: Alenia.
Chernyshevsky, N. G. 2005. Hubungan Estetika Seni dengan Realitas, diterjemahkan oleh Samanjaya.Bandung: CV.Ultimus.
Deleuze, Gilles. 2002. Filsafat Nietzche, diterjemahkan oleh Basuki Heri Winarno. Yogyakarta: Ikon Teralitera.
Johnson, Doyle Paul. 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Diterjemahkan oleh Robert M.Z. Lawang. Jakarta: PT. Gramedia.
Miklouho-Maklai, Brita L. 1997. Menguak Luka Masyarakat : Beberapa Aspek Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Moelyono.1997. Seni Rupa Penyadaran. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Nelson, Benyamin (ed). 2003. Freud : Manusia Paling Berpengaruh Abad ke-20. diterjemahkan oleh Yurni. Surabaya: Ikon Teralitera.
Sachari, Agus. 2002. Estetika : Makna, Simbol dan Daya. Bandung: Penerbit ITB.
Soetomo, Greg. 2003. Krisis Seni Kesadaran. Yogyakarta: Kanisius.
The Liang Gie. 1996. Filsafat Seni : Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIB).
------------------- 1996. Filsafat Keindahan. Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIB).

This article is taken from Harmonia Vo IX No.1 Juni 2009

0 komentar:

Sejarah Harmonia

Harmonia, ISSN 1411-5115, berdiri tahun 2001. Pada tahun 2004 telah terakreditasi oleh DIKTI. Karena diberlakuan aturan dan format baru pada tahun 2006, pada tahun 2007 tidak lagi terakreditasi, karena mendapat nilai cukup (C).
File : index Harmonia

Sumbangan Naskah

Redaksi menerima artikel, baik berupa artikel konseptual maupun hasil penelitian. Naskah berupa print out dan soft file dikirim ke alamat redaksi Harmonia. Naskah dapat pula dikirim melalui attachment file e-mail.

Dari Redaksi

Artikel-artikel yang dipublikasikan lewat web ini telah diterbitkan di jurnal Harmonia. Pemuatan dalam web ini adalah untuk lebih menyebarkan penerbitan tersebut terutama melalui media yang berbeda, dunia maya. Di masa mendatang, hanya abstrak artikel yang ditampilkan.

Web Disigned by Suharto, Blog Template by ourblogtemplate.com

  © Blogger templates ProBlogger Template by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP