FUNGSI DAN MAKNA KESENIAN BARONGSAI BAGI MASYARAKAT ETNIS CINA
Oleh :
DosenSeni Tari, FBS, UNNES,
Abstract
Barongsai is a traditional art of Chinese ethnic in Semarang, which comes from China. That art still exists and develop until nowadays although have lot of pressures both from Orde Lama and Orde Baru. Research studies were: (1) origin of Barongsai, (2) form of Barongsai art performance, (3) function of Barongsai art, (4) meaning of Barongsai art for Chinese ethnic in Semarang. Applied research method is qualitative method. Techniques of data collection are observation, interview, and documentation studies. Technique of data analysis are reducing, clarifying, decrypting, concluding, and interpreting all information selectively. Techniques of checking relevance data were dependability and conformability. Research result shows that Barongsai is an art comes from China entered Semarang by Chinese merchant. Form of Barongsai performance are divided into three stages, those are flag play, Barongsai play, and ending. Function of Barongsai art for Chinese ethnic in Semarang are ritual, entertainment, and politic function. Whereas meaning of Barongsai art for Chinese ethnic in Semarang is symbolic meaning and strategy meaning.
Kata Kunci : kesenian barongsai, fungsi, makna, masyarakat etnis Cina
PENDAHULUAN
Barongsai adalah kesenian masyarakat etnis Cina di Indonesia yang dalam perkembangannya mengalami pasang surut karena tekanan politik yang kuat sejak pemerintahan Orde Lama sampai dengan Orde Baru. Berbagai peraturan pemerintah dikeluarkan, salah satunya adalah Instruksi Presiden no. 14 th 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina yang diberlakukan mulai tanggal 6 Desember 1967. Segala ritual budaya dan keagamaan bagi kalangan orang Tionghoa dilarang untuk diselenggarakan di tempat umum. Masyarakat etnis Cina tidak lagi bisa secara bebas merayakan ritual-ritual Konghucu, merayakan Imlek dengan menggelar pertunjukan Liong, Barongsai, dan mengarak Toapekong di tempat-tempat umum. Koran-koran beraksara Cina dilarang terbit dan sekolah-sekolah Tionghoa yang mengajarkan bahasa dan kebudayaan Cina pun ditutup. Bahkan, pembatasan dan pelarangan terhadap etnik Tionghoa sampai pada hal yang bersifat pribadi, yaitu mengenai nama. Mereka harus mengganti nama dengan nama Indonesia.
Pelarangan semacam itu tidak sungguh-sungguh mampu menghilangkan, apalagi mematikan berbagai kegiatan kultural itu. Secara tidak terbuka, orang Tionghoa masih terus melakukan kegiatan ritual, memainkan kesenian dan nama-nama Indonesia yang digunakan juga masih bunyi asli Cina. Pada setiap perayaan baru Imlek, kesenian Liong dan Barongsai masih selalu dipergelarkan di gedung-gedung yang tertutup atau tempat lain yang bersifat eksklusif.
Runtuhnya masa Orde baru yang ditandai dengan lengsernya presiden Soeharto diganti dengan pemerintahan Gus Dur. Masa pemerintahan Gus Dur membawa pencerahan bagi masyarakat etnis Cina yaitu dengan dicabutnya Instruksi Presiden RI No. 14/1967 yang tadinya membatasi perayaan adat-istiadat dan agama Tionghoa di lingkungan keluarga saja. Akibat dari euforia, banyak orang berani memunculkan hal-hal yang tadinya dilarang, seperti kesenian Barongsai dan Liong, kesusasteraan berbahasa Tionghoa, pengajaran bahasa Tionghoa, dan budaya Tionghoa lainnya.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, permasalahan dalam penelitian ini difokuskan pada asal usul dan bentuk kesenian Barongsai di Kota Semarang. Berkait dengan itu, dipermasalahkan juga fungsi dan makna Kesenian Barongsai bagi masyarakat etnis Cina Semarang.
Fungsi Kesenian Barongsai bagi masyarakat etnis Cina dapat dipahami dengan menggunakan pendekatan teori struktural fungsional Talcott Parsons dan Radcliffe-Brown. Teori Struktural Fungsional imperatif yang dikemukakan oleh Talcott Parsons mengetengahkan konsep-konsep sebagai berikut. Pertama, sebagai sistem yang terikat dan terbatas, masyarakat mengatur dirinya sendiri dan cenderung menjadi suatu sistem yang tetap serta serasi. Kedua, sebagai suatu sistem yang mengatur dirinya sendiri yang sama dengan suatu organisme, masyarakat mungkin mempunyai berbagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, apabila keserasiannya ingin dipertahankan. Ketiga, analisis sosiologis terhadap sistem yang mengatur dirinya sendiri dengan segala kebutuhannya harus dipusatkan pada fungsi bagian-bagian dalam memenuhi kebutuhan dan memelihara keserasiannya. Keempat, dalam sistem-sistem dengan berbagai kebutuhan, mungkin tipe-tipe struktur tertentu harus ada untuk menjamin ketahanannya (Soekanto 1986: 5). Perspektif struktural fungsional Parsons, berkaitan pula dengan tujuan untuk mewujudkan keutuhan suatu struktural sosial masyarakat (lihat Parsons dalam Hoogvelt 1995: 82).
Radcliffe-Brown merasa bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tetapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial dari suatu masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada. Menurut Radcliffe-Brown, struktur merupakan bentuk susunan unsur-unsur yang teratur. Unsur-unsur dalam struktur sosial yang terdiri atas orang-orang, yang memenuhi syarat untuk menduduki posisi dalam struktur sosial, sehingga dapat dipahamkan berfungsi kepada strukturnya. Asumsi dasar kelompok fungsional-struktural ini adalah mengekalkan keadaannya dalam jangka waktu lama, berada dalam keadaan seimbang, yaitu dalam bentuk hubungan antar anggotanya yang memiliki kepaduan tinggi. Jadi, konsep fungsi seperti ini melibatkan struktur yang terjadi dari satu rangkaian hubungan di antara unit, manakala penerusan struktur itu dapat dikekalkan melalui proses kehidupan yang terjadi dari aktivitas unit yang terdapat di dalamnya (Radcliffe-Brown 1980: 206-209).
Emile Durkheim, menekankan perhatiannya pada fenomena solidaritas sosial yang terdapat di antara para anggota masyarakat. Solidaritas sosial itu belum membentuk, yaitu hubungan diantara orang-orang di dalam suatu lingkungan kehidupan hanya bersifat kadangkala maka, tidak akan ditemukan pengaturan yang terperinci. Persoalan yang kemudian dikemukakan oleh Durkheim adalah bagaimana mengukur solidaritas itu. Fenomena tidak dapat dilihat dan diukur secara pasti, namun mempunyai lambang yang dapat ditangkap, yaitu hukum. Bertolak dari ungkapan ini selanjutnya ia melihat adanya pertalian antara jenis-jenis hukum tertentu dengan sifat solidaritas sosial (Rahardjo 1986: 103).
Hubungan antara hukum dan perubahan sosial, Weber sangat memperhatikan hubungan antara sifat kekuasaan politik di dalam suatu negara dengan hukumnya. Cara-cara penyelenggaraan hukum dan peradilan pada masa lalu menurut Weber bersumber pada cara-cara perukunan (conciliatory) antara kelompok-kelompok suku yang bersengketa. Apabila kekuasaan politik di dalam menjalankan roda pemerintahan semakin bersifat rasional maka, akan semakin besar pula kemungkinannya proses hukum di dalam masyarakat yang dijalankan secara rasional pula. Sesuai dengan semakin meningkatnya sifat-sifat rasional pengorganisasian maka, bentuk-bentuk irasional yang dipakai semakin ditinggalkan, sedangkan hukum material akan mengalami sistematisasi, yang berarti keseluruhan bidang hukum mengalami rasionalisasai (Rahardjo 1986: 105).
Konsep-konsep tersebut melandasi teori, bahwa kesenian Barongsai sebagai sistem kesenian tradisi Cina di Semarang terikat dan terbatas sebagai kesenian milik etnis Cina. Kehidupannya dalam masyarakat diatur oleh fungsinya sebagai kesenian ritual ataupun sekuler, dipengaruhi maknanya oleh struktur sosial dan politik.
METODE
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sistem sosial-budaya, antropologi, sejarah, dan politik. Pendekatan-pendekatan itu menganalisis data kualitatif dengan metode etnografi. Fokus penelitian adalah fungsi dan makna Kesenian Barongsai bagi masyarakat etnis Cina Semarang. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, studi dokumen, wawancara mendalam, dan observasi, sebagaimana yang utama digunakan dalam metode etnografi. Proses analisis data yang berlangsung selama proses penelitian ditempuh melalui tiga jalur kegiatan sebagai suatu sistem, yaitu (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) verifikasi/penarikan kesimpulan (Milles dan Huberman 1992).
Langkah terakhir dari analisis data dalam penelitian ini adalah verifikasi atau pemeriksaan keabsahan data. Pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini memakai dependabilitas dan konfirmabilitas (Lincoln dan Guba dalam Jazuli 2001: 34). Data yang didapat dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi selanjutnya ditafsirkan hingga penarikan kesimpulan lewat pembimbing dalam proses penelitian, dan melakukan pengecekan serta pengkajian silang dengan pakar atau teman sejawat, serta menggunakan member checking, yakni meminta pengecekan dari informan, pemain dan penonton.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian meliputi: asal usul Barongsai di Semarang, bentuk pertunjukan Barongsai, fungsi Barongsai bagi masyarakat etnis Cina Semarang, makna Barongsai bagi Masyarakat Cina di Semarang.
Asal Usul Barongsai di Semarang
Menelusuri asal-usul kesenian Barongsai, tidak dapat terlepas dari sejarah kedatangan bangsa Cina di Indonesia, khususnya di kota Semarang. Di kalangan warga Cina di Semarang tersiar cerita mengenai kedatangan armada Zheng He di Semarang. Seperti yang diceritakan oleh Alex Wicaksono (wawancara 10 Agustus 2008) bahwa pada pertengahan abad ke-15, Kaisar Zhu Di Dinasti Ming Tiongkok mengutus suatu armada raksasa untuk mengadakan kunjungan muhibah ke Laut Selatan. Armada itu dipimpin oleh Laksamana Zheng He (Sam Po Kong) dibantu oleh Wang Jinghong (Ong King Hong) sebagai orang kedua. Ketika armada berlayar di daerah pantai utara Jawa, Wang Jinghong mendadak sakit keras. Menurut perintah Zheng He, armada itu singgah di pelabuhan Simongan Semarang. Setelah mendarat Zheng He dan awak kapalnya menemukan sebuah gua. Gua itulah kemudian dijadikan suatu tangsi untuk sementara. Kemudian dibuatlah pondok kecil di luar gua untuk tempat peristirahatan dan pengobatan bagi Wang Jinghong. Setelah Wang Jinghong agak sembuh, Zheng He melanjutkan pelayarannya ke barat dengan meninggalkan Wang Jinghong beserta 10 orang awak kapal untuk menemaninya sambil menunggu pemulihan kesehatannya. Setelah sembuh, ternyata Wang Jinghong menjadi senang tinggal di Semarang. Akhirnya dia memimpin anak buahnya membuka lahan dan membangun rumah. Bahkan, para anak buahnya akhirnya menikah dengan orang-orang pribumi. Selain itu mereka mengembangkan usaha perdagangan di daerah pantai Semarang.
Guna menghormati Laksamana Zheng He, Wang Jinghong membuat patung Zheng He dan diletakkannya di dalam gua. Kemudian patung itu banyak disembah orang. Sejak saat itu setiap tanggal 1 bulan Imlek (Sincia) dan tanggal 15 bulan Imlek (Cap Go Meh) orang berbondong-bondong menyembah patung Sam Po Kong di gua Sam Po yang dimeriahkan dengan arak-arakan kesenian Cina berupa Liong dan Samsi (Barongsai). Beberapa tahun kemudian di tempat itu dibangunlah sebuah kelenteng yang dinamakan Gedong Batu.
Pada pertengahan kedua abad ke-19, kawasan Simongan (sekarang Gedong Batu) dikuasai oleh Johanes, seorang tuan tanah keturunan Yahudi. Yohanes menjadikan kawasan itu sebagai sumber keuntungan dengan menarik pajak yang tinggi bagi warga Cina yang akan bersembahyang di Kelenteng Gedong Batu. Demi kelanjutan kegiatan penyembahan di kelenteng Sam Po Kong Gedong Batu maka, Yayasan Sam Po Kong mengumpulkan dana untuk membuat tiruan patung Cheng Ho dan diletakkannya di Tay Kak Sie (Kelenteng Keinsyafan Besar) yang dibangun tahun 1771 di Gang Lombok, sebuah perkampungan masyarakat Cina di Semarang.
Setelah kawasan Gedong Batu jatuh ke tangan Oei Tjie Sien, ayah Oei Tiong Ham, saudagar kaya yang dikenal dengan julukan ‘Si Raja Gula’ di Indonesia, muncullah acara baru, yaitu setiap tahun baru Imlek mengarak patung duplikat dari kelenteng Tay Kak Sie di Gang Lombok ke Gedong Batu untuk meminta mukjizat dari patung aslinya. Arak-arakan yang melewati jalan-jalan besar kota Semarang tampak meriah dengan hadirnya Liong dan Samsi. Bisa diduga dari acara inilah masyarakat Semarang mengenal kesenian Barongsai.
Nama Barongsai yang dikenal di Indonesia sebenarnya berasal dari nama Samsi atau Say yang dipercaya memberi lambang pembaruan dan keselamatan. Samsi atau singa Cina ini juga dikenal sebagai Ki Lin atau Lung Ma, berasal dari masa kaisar Hok Hie sekitar tahun 4000 SM yang menerima wahyu pertama berupa Sian Thian Pat Kwa (delapan ajaran mulia wahyu Tuhan) dari seekor Lung Ma. Dari titik inilah kehidupan rakyat mulai berubah sebab mulai diperkenalkan aksara dan peradaban hingga negara dapat lebih tertib, aman, dan makmur. Seni Barongsai mengacu pada ceritera klasik Cina, yaitu Sam Kok (ceritera tiga kerajaan). Oleh karena itu Topeng Barongsai pun menggambarkan tiga temperamen, yaitu: 1) Liu Pei, Barongsai berwarna kuning dengan bulu tengkuk putih, 2) Kwan Kong, berwajah merah dengan bulu tengkuk hitam, 3) Zhang Fei, berwarna hitam atau biru berbulu tengkuk hitam atau biru (Panorama 2000: 53). Wujud topeng Barongsai yang asli (di Cina), adalah telinga seperti kerang, alis seperti ikan, dan pipi seperti ular. Wujud topeng merupakan perwujudan binatang dewa (Suhu Khong A Djong wawancara 15 Agustus 2008).
Bentuk Pertunjukan Barongsai
Pertunjukan Barongsai pada dasarnya merupakan seni pertunjukan arak-arakan, tidak menutup kemungkinan pertunjukan Barongsai berupa demonstrasi atraksi di suatu tempat. Pertunjukan Barongsai selalu diawali dengan penghormatan, dilanjutkan permainan bendera, permainan Barongsai, dan penutup. Masing-masing bagian merupakan bagian yang menyatu dan saling mendukung.
Penghormatan
Penghormatan merupakan bagian paling awal dalam setiap pertunjukan Barongsai. Penghormatan dilakukan oleh pemandu atau ketua tim kepada sesepuh Kelenteng (apabila permainan Barongsai dilakukan di Kelenteng) atau kepada pemilik rumah yang memberi derma berupa angpau serta kepada penonton di tengah arena. Sikap penghormatan pemandu atau ketua tim dilakukan dengan cara membungkukkan badan dan menelangkupkan kedua tangan di depan dada. Anggukan dengan membungkukkan badan, dilakukan tiga kali berturut-turut, yang dilanjutkan oleh pemain bendera. Sikap penghormatan pemain bendera adalah dengan memegang bendera dengan kedua tangan kemudian berjongkok. Tangkai bendera disentuhkan pada tanah dan menundukkan kepala tiga kali. Penghormatan berikutnya dilakukan oleh Barongsai dengan cara berjalan ke tengah arena. Sesampai di tengah arena, Barongsai menganggukkan kepala sambil menggerakkan kaki kanan depan tiga kali, kemudian mundur, dan meninggalkan arena.
Penghormatan pemandu barongsai dilakukan dengan tujuan memberikan rasa hormat kepada penonton, pimpinan kelenteng, atau pemberi derma. Penghormatan juga ditujukan kepada para leluhur dengan harapan agar permainan Barongsai dapat berjalan lancar tanpa gangguan.
Permainan Bendera
Permainan bendera dilakukan oleh satu atau dua orang pemain bendera. Bendera yang dibawa dan dikibarkan yang terikat pada tongkat adalah bendera perguruan atau bendera simbol masing-masing grup Barongsai yang kebanyakan berwarna dasar hitam dan berbentuk segitiga sama sisi dengan rumbai-rumbai yang berada di tepi alas segi tiga. Selain bendera perguruan, biasanya dimainkan pula bendera Persatuan Seni dan Olah Raga Barongsai Indonesia (PERSOBARIN). Bendera PERSOBARIN juga berbentuk segi tiga sama sisi dengan warna dasar merah.
Permainan bendera dilakukan dengan melakukan gerakan-gerakan cepat dan dinamis. Bendera diputar-putar dengan kedua tangan di depan dada, kemudian secara cepat dipegang tangan kanan melingkari punggung dan ditangkap oleh tangan kiri. Gerakan-gerakan cepat juga dilakukan dengan memutar bendera melingkari kaki, punggung, dan dada.
Permainan Barongsai
Bagian inti dalam pertunjukan Barongsai adalah permainan Barongsai. Pada bagian permainan ditampilkan atraksi Barongsai baik di lantai maupun di atas tonggak. Permainan Barongsai di lantai adalah atraksi-atraksi yang dimainkan oleh para pemain Barongsai tanpa menggunakan alat peraga bantu. Demonstrasi gerak di lantai biasanya dilakukan dengan gerak singa berdiri, yaitu sebuah atraksi yang dilakukan dengan mengangkat pemain bagian depan yang memegang kepala oleh pemain belakang yang menjadi badan dan ekor. Gerakan berguling, yaitu pemain depan dan belakang berguling bersama-sama ke arah yang sama, sehingga terlihat seperti singa yang sedang berguling-guling. Atraksi-atraksi di lantai divariasikan dengan pameran gerakan ekspresif, yang dilakukan dengan posisi diam, dan hanya kepala yang sedikit bergerak sambil kelopak matanya berkedip-kedip serta telinga yang digerak-gerakkan. Variasi ini dapat menghidupkan suasana karena apabila pemain Barongsai itu trampil maka, penonton akan melihat seolah-olah benar-benar seperti seekor singa yang sedang duduk, atau jongkok bahkan, dapat berkesan seperti singa yang sedang merunduk akan menangkap mangsanya.
Permainan Barongsai di atas tonggak adalah permainan yang menggunakan alat peraga bantu berupa tonggak-tonggak besi yang dijajarkan. Kadangkala antara tonggak-tonggak diberi tali berukuran besar yang digunakan untuk meniti. Permainan Barongsai di atas tonggak, dituntut adanya keterampilan pemain, kedisiplinan gerak, serta kekompakan kedua pemain depan dan belakang.
Permainan Barongsai di atas tonggak menunjukkan gerakan akrobatik dengan melompat di antara tonggak-tonggak yang berketinggian satu meter sampai tiga meter. Variasi yang sering dilakukan dalam permainan ini adalah meniti seutas tali.
Penutup
Penutup pertunjukan Barongsai, biasanya ditampilkan gerakan singa berdiri dan berjalan berkeliling arena pentas. Bagian penutup sebagai tanda, bahwa grup Barongsai itu mohon diri, mohon pamit kepada penonton maupun para sesepuh kelenteng.
Fungsi Barongsai Bagi Masyarakat Etnis Cina Semarang
Secara rinci fungsi kesenian Barongsai bagi masyarakat etnis Cina Semarang adalah ritual, hiburan dan politik.
Fungsi Ritual
Barongsai sebagai kesenian khas etnis Cina, pertumbuhan dan perkembangannya dipengaruhi oleh sistem nilai yang ada pada kelompok masyarakat pendukungnya, yaitu masyarakat Cina. termasuk nilai-nilai ritual keagamaan dan adat. Dalam konteks kehidupan ritual keagamaan, masyarakat Cina di Indonesia sebagian besar menganut ajaran Confucianisme. Confucianisme adalah suatu ajaran dari seorang nabi yang bernama Khong Hu Tju atau Kung Fu Tze. Ajaran penting dalam Confucianisme adalah lima kebajikan yang disebut Ngo Siang, yaitu: Cinta kasih (Jien), adil dan bijaksana (Gie), susila dan sopan santun (Lee), cerdas dan waspada (Tie), jujur dan ikhlas (Sien). Ajaran mengenai delapan kewajiban insan, yaitu iman dan kewajiban yang disebut Pat Tik, meliputi, berbakti (haw), rendah hati (tee), satya (tiong), susila (lee), menjunjung kebenaran, keadilan, kewajiban dan kepantasan (gie), suci hati (lian), dapat dipercaya (sien), tahu malu atau mengenal rasa harga diri (thee).
Menurut ajaran Taoisme, pada hakekatnya yang memerintah kerajaan di dunia adalah Tuhan (Thien). Hanya saja dalam pelaksanaannya diserahkan kepada Putra Tuhan sebagai perantara dunia fana dan dunia alam baka. Putra Tuhan itu adalah Yao dan Shun. Praktek ritual, kedua Putra Tuhan (Yao dan Shun) dilambangkan dengan binatang mitologi Naga dan Singa. Lambang dari kedua Putra Tuhan itulah, kemudian muncul protoptipe Naga atau Liong dan singa atau Samsi atau Barongsai.
Berdasar latar belakang kehidupan ritual masyarakat Cina, dapat diketahui, bahwa kemunculan kesenian Barongsai berawal dari kebutuhan ritual, oleh sebab itu, setiap hari raya Imlek selalu dipertunjukan Samsi dan Liong. Meskipun bentuk pertunjukannya sama dengan ketika dipertunjukkan untuk keperluan hiburan tetapi pelaksanaannya agak berbeda. Perbedaan itu terletak pada sebelum pertunjukan dimulai, biasanya topeng Barongsai itu disembahyangkan dahulu di klenteng dan diberi (ditempel) Hoo (kertas kuning bertulisan Cina, yang dipercaya dapat memberikan keselamatan (perlindungan) kepada yang memakainya) pada dahinya (Suhu Khong A Djong, wawancara 15 Agustus 2008). Berdasar uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa fungsi ritual Barongsai tetap dipertahankan kelangsungannya oleh masyarakat Cina di Semarang.
Fungsi Hiburan
Kehidupan Barongsai di Era Reformasi lebih didominasi oleh fungsinya sebagai hiburan. Barongsai sebagai seni hiburan dikemas berbeda dengan sajian ritual. Barongsai untuk upacara ritual, biasanya Barongsainya hanya satu, itupun sebelumnya harus disembahyangkan dahulu di Kelenteng dan dikasih hoo. Barongsai untuk hiburan masyarakat biasanya lebih dari satu, bisa dua sampai lima dan yang penting atraksinya, yaitu pertunjukan keterampilan pemain dalam mempertunjukkan gerakan-gerakan atraktif dan akrobatik baik di lantai maupun di tonggak. Bahkan, kadang-kadang ditambah dengan tarian-tarian.
Yosodiharjo (Yauw Ping Kwie) (wawancara 20 Agustus 2008), Ketua Perguruan Barongsai Budi Luhur yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Himpunan Liong-Samsi Jawa Tengah, mengatakan bahwa pada Era Reformasi ini kesenian Barongsai semakin berkembang penyajiannya. Perkembangan dapat dilihat dari semakin bervariasinya olah gerak yang dibawakan, warna, dan bentuk kostum. Perkembangan penyajian Barongsai tidak hanya dipentaskan pada hari besar Imlek saja, melainkan bisa dilakukan di luar Imlek seperti pesta pernikahan, peluncuran suatu produk baru sebuah perusahaan, ulang tahun suatu instansi, dan lain-lain.
Fungsi Politik
Barongsai di Era Reformasi juga tidak lepas dari kehidupan politik. Bahkan, dapat dikatakan maraknya kembali Barongsai diawali dengan tampilnya kesenian etnis Cina pada Deklarasi Partai Amanat Nasional (PAN) di Surakarta bulan Mei 1998, sekaligus sebagai ajang kampanye partai PAN dalam menghadapi Pemilihan Umum tahun 1999. Muncullah Barongsai pada kegiatan-kegiatan kampanye yang dilaksanakan oleh partai-partai lain, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan lain-lain. Salah satu bukti aktivitas Barongsai pada dunia politik adalah berdirinya kelompok Barongsai di desa Gabahan, kecamatan Semarang Tengah yang diprakarsai oleh DPC PDI-P pada tahun 2000.
Barongsai sebagai alat propaganda politik, pada dasarnya penampilan Barongsai sama dengan ketika ditampilkan sebagai hiburan. Perbedaannya hanya pada warna busana yang disesuaikan dengan simbol warna partai. Secara kebetulan warna-warna simbol partai itu secara tradisional telah ada pada permainan Barongsai, seperti warna merah, biru atau hijau. Penampilan Barongsai itu berkaitan dengan propaganda politik salah satu partai, maka hanya akan memakai warna simbol partai bersangkutan yang dipakai.
Makna Barongsai Bagi Masyarakat Cina di Semarang
Barongsai bagi masyarkat etnis Cina mempunyai makna simbolik dan makna strategis.
Makna Simbolis
Eksistensi Barongsai merupakan bagian integral dari kebutuhan simbolisasi masyarakat Cina di Indonesia. Barongsai bukan sekedar sebagai alat pernyataan diri tetapi juga sebagai bentuk pernyataan diri. Kesenian khas ‘ras’ Cina, Barongsai dipertahankan demi eksistensi kelompok, yang dibuktikan selama 32 tahun tidak diperbolehkan menampakkan diri tetapi ternyata tidak mati. Santosa (Khong Fan Shen) mengatakan, bahwa pada masa Orde Baru, walaupun Barongsai dilarang tampil di muka umum, di Semarang masih terdapat enam grup besar yang tetap bertahan. Enam grup Barongsai itu adalah: Djin Hoo Tong, Hoo Haap, Dharma Asih, Porsigap, Budi Luhur, dan Ju Djie. Pada masa itu mereka hanya tampil untuk kepentingan upacara di kelenteng seperti Sampoo, yaitu peringatan datangnya Sampoo Tay Jien ke Semarang, biasanya pada bulan Agustus (Santosa wawancara 20 Agustus 2008). Begitu datang kebebasan melalui Era Reformasi, maka Barongsai langsung bermunculan, bahkan cenderung merebak memenuhi khazanah kesenian tradisional ‘baru’. Santosa juga mengatakan, bahwa Barongsai bagi masyarakat Cina khususnya di Semarang merupakan lambang keberuntungan. Masyarakat Cina di Semarang percaya, jika masyarakat Cina memberikan angpau kepada Barongsai, kelak akan mendapat limpahan rejeki dari dewa, oleh sebab itu saat dilaksanakan arak-arakan Barongsai pada hari raya Imlek atau Cap Go Meh, mereka berusaha untuk memasukkan angpau ke mulut Barongsai.
Makna Strategis
Makna strategis Barongsai adalah sebagai sarana interaksi sosial antara masyarakat Cina dan pribumi. Interaksi sosial berfungsi menjaga norma-norma sosial di dalam dan di luar komunitas Cina sebagai golongan minoritas. Sumber utama dari permasalahan golongan minoritas Cina di Semarang adalah tata kehidupan yang berlaku dalam tradisi masyarakatnya, terutama sikap fanatisme terhadap tradisi negara leluhurnya.
Keyakinan masyarakat Cina secara tradisional adalah bagaimana seharusnya manusia hidup bermasyarakat dengan konsep Tao. Akibatnya, orang-orang Cina yang tinggal di Semarang membentuk suatu kelompok yang saling mendukung antar anggota kelompok, sehingga masyarakat pribumi (Indonesia asli) dengan jelas dapat membedakan orang pribumi dan non pribumi atau keturunan, demikian pula dengan kehidupan kebudayaannya, termasuk kesenian Barongsai yang dianggap hanya milik masyarakat non pribumi.
Kenyataannya, ternyata kehidupan Barongsai justru memiliki makna strategis dalam menghilangkan anggapan itu karena Barongsai dapat mendekatkan diri pada tujuan pembauran masyarakat Cina dengan masyarakat pribumi. Handoyo (Wawancara 20 Agustus 2008) mengatakan, anggota grup-grup Barongsai di Semarang kebanyakan orang pribumi. Hal ini terutama banyaknya anak-anak yang tertarik dengan permainan Barongsai yang sekaligus mereka dibekali ilmu bela diri Wu-shu.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Barongsai adalah sebuah kesenian yang berasal dari Cina yang masuk ke Indonesia khususnya di Semarang yang dibawa oleh para sudagar Cina. Bentuk pertunjukan Barongsai terbagi ke dalam tiga tahap, yaitu permainan bendera, permainan Barongsai, dan penutup. Fungsi kesenian Barongsai bagi masyarakat etnis Cina Semarang adalah fungsi ritual, fungsi hiburan dan fungsi politik. Makna kesenian Barongsai bagi masyarakat etnis Cina Semarang adalah makna simbolik dan makna strategis.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, saran-saran yang dapat disampaikan adalah :
1. Bagi pemerintah Kota Semarang, diharapkan untuk lebih memperhatikan keberadaan kesenian Barongsai dengan cara memberikan tempat, waktu dan kesempatan kesenian Barongsai untuk berkembang.
2. Bagi masyarakat umum, diharapkan untuk lebih dapat memberikan apresiasi yang positif kepada kelompok kesenian Barongsai.
3. Bagi kelompok kesenian Barongsai, diharapkan untuk lebih dapat mengembangkan diri dengan cara mengemas kesenian tersebut menjadi lebih menarik sehingga mampu diterima oleh masyarakat umum.
DAFTAR PUSTAKA
De Graf , H. J. 1998. Cina Muslim di Jawa abad XV dan XVI antara Historistas dan mitos. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Halim, Budi Haliman. 1999. "Kisah Haji Ong Keng". Harian Suara merdeka terbitan 19 September 1999. Semarang: Suara Merdeka Press.
Hayakawa. S.I. 1949. Language in Throught and Action. New York: Hancourt, Brace and Company.
Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Terj. Soedarsono, Bandung: MSPI.
Hoogvelt. Ankie M. M. 1995. Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Jazuli, M. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Semarang: Universitas Negeri Semarang Press.
Miles, M. B. Dan A. M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Terj. Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press.
Oetomo, Dede. 2000. Sang Naga dan Budaya Tionghoa Menuju Indonesia Baru. Jurnal Budaya dan Filsafat Mitra, Edisi 04. Bandung .
Parsons. Talcott. 1986. Fungsionalisme Imperatif. Terj. Soerjono Soekanto, Jakarta: CV Rajawali.
Radcliffe- Brown, A. R. 1980. Struktur dan Fungsi dalam Masyarakat Primitif. Terj. E.E. Evans-Pritchard dan Fred Eggan, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Rahardjo, Satjipto. 1986. Hukum dan Masyarakat. Bandung: Angkasa.
Rahmanto, B. 1992. Simbolisme Dalam Seni. Yogyakarta: BASIS, Jawanisasi Kebudayaan Indonesia edisi Maret 1992-XLI-no.3.
Rohidi, Tjetjep Rohendi. 1994. Pendekatan Sosial Budaya Dalam Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Press.
------------------------------. 2000. Ekspresi Seni Orang Miskin, Adaptasi Simbolik terhadap Kemiskinan. Bandung: Penerbit Nuansa.
Sastroatmodjo, Sudiono. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press.
Soekanto, Soerjono. 1991. Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Triyanto. 2001. Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus. Semarang: Kelompok Studi Mekar.
Wibowo, Wibisono. I. Ed. 1977. Simbol Menurut Sussanne K. Langer. Dari Sudut-Sudut Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
------------------------------..1999. Restrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah. Cina. Jakarta: PT Gramedia.
Yahya, Junus. 1998. ”Masalah Tionghoa di Indonesia” dalam Masalah dalam Kapok Jadi Nonpri : Warga Tionghoa Mencari Keadilan. Alfian Hamzah (ed). Bandung: Zaman Wacana.
This article is taken from Harmonia Vol IX No 1, June 2009)
Bintang Hanggoro Putra
DosenSeni Tari, FBS, UNNES,
email : bintang_hp@yahoo.com
Abstract
Barongsai is a traditional art of Chinese ethnic in Semarang, which comes from China. That art still exists and develop until nowadays although have lot of pressures both from Orde Lama and Orde Baru. Research studies were: (1) origin of Barongsai, (2) form of Barongsai art performance, (3) function of Barongsai art, (4) meaning of Barongsai art for Chinese ethnic in Semarang. Applied research method is qualitative method. Techniques of data collection are observation, interview, and documentation studies. Technique of data analysis are reducing, clarifying, decrypting, concluding, and interpreting all information selectively. Techniques of checking relevance data were dependability and conformability. Research result shows that Barongsai is an art comes from China entered Semarang by Chinese merchant. Form of Barongsai performance are divided into three stages, those are flag play, Barongsai play, and ending. Function of Barongsai art for Chinese ethnic in Semarang are ritual, entertainment, and politic function. Whereas meaning of Barongsai art for Chinese ethnic in Semarang is symbolic meaning and strategy meaning.
Kata Kunci : kesenian barongsai, fungsi, makna, masyarakat etnis Cina
PENDAHULUAN
Barongsai adalah kesenian masyarakat etnis Cina di Indonesia yang dalam perkembangannya mengalami pasang surut karena tekanan politik yang kuat sejak pemerintahan Orde Lama sampai dengan Orde Baru. Berbagai peraturan pemerintah dikeluarkan, salah satunya adalah Instruksi Presiden no. 14 th 1967 tentang agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina yang diberlakukan mulai tanggal 6 Desember 1967. Segala ritual budaya dan keagamaan bagi kalangan orang Tionghoa dilarang untuk diselenggarakan di tempat umum. Masyarakat etnis Cina tidak lagi bisa secara bebas merayakan ritual-ritual Konghucu, merayakan Imlek dengan menggelar pertunjukan Liong, Barongsai, dan mengarak Toapekong di tempat-tempat umum. Koran-koran beraksara Cina dilarang terbit dan sekolah-sekolah Tionghoa yang mengajarkan bahasa dan kebudayaan Cina pun ditutup. Bahkan, pembatasan dan pelarangan terhadap etnik Tionghoa sampai pada hal yang bersifat pribadi, yaitu mengenai nama. Mereka harus mengganti nama dengan nama Indonesia.
Pelarangan semacam itu tidak sungguh-sungguh mampu menghilangkan, apalagi mematikan berbagai kegiatan kultural itu. Secara tidak terbuka, orang Tionghoa masih terus melakukan kegiatan ritual, memainkan kesenian dan nama-nama Indonesia yang digunakan juga masih bunyi asli Cina. Pada setiap perayaan baru Imlek, kesenian Liong dan Barongsai masih selalu dipergelarkan di gedung-gedung yang tertutup atau tempat lain yang bersifat eksklusif.
Runtuhnya masa Orde baru yang ditandai dengan lengsernya presiden Soeharto diganti dengan pemerintahan Gus Dur. Masa pemerintahan Gus Dur membawa pencerahan bagi masyarakat etnis Cina yaitu dengan dicabutnya Instruksi Presiden RI No. 14/1967 yang tadinya membatasi perayaan adat-istiadat dan agama Tionghoa di lingkungan keluarga saja. Akibat dari euforia, banyak orang berani memunculkan hal-hal yang tadinya dilarang, seperti kesenian Barongsai dan Liong, kesusasteraan berbahasa Tionghoa, pengajaran bahasa Tionghoa, dan budaya Tionghoa lainnya.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, permasalahan dalam penelitian ini difokuskan pada asal usul dan bentuk kesenian Barongsai di Kota Semarang. Berkait dengan itu, dipermasalahkan juga fungsi dan makna Kesenian Barongsai bagi masyarakat etnis Cina Semarang.
Fungsi Kesenian Barongsai bagi masyarakat etnis Cina dapat dipahami dengan menggunakan pendekatan teori struktural fungsional Talcott Parsons dan Radcliffe-Brown. Teori Struktural Fungsional imperatif yang dikemukakan oleh Talcott Parsons mengetengahkan konsep-konsep sebagai berikut. Pertama, sebagai sistem yang terikat dan terbatas, masyarakat mengatur dirinya sendiri dan cenderung menjadi suatu sistem yang tetap serta serasi. Kedua, sebagai suatu sistem yang mengatur dirinya sendiri yang sama dengan suatu organisme, masyarakat mungkin mempunyai berbagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, apabila keserasiannya ingin dipertahankan. Ketiga, analisis sosiologis terhadap sistem yang mengatur dirinya sendiri dengan segala kebutuhannya harus dipusatkan pada fungsi bagian-bagian dalam memenuhi kebutuhan dan memelihara keserasiannya. Keempat, dalam sistem-sistem dengan berbagai kebutuhan, mungkin tipe-tipe struktur tertentu harus ada untuk menjamin ketahanannya (Soekanto 1986: 5). Perspektif struktural fungsional Parsons, berkaitan pula dengan tujuan untuk mewujudkan keutuhan suatu struktural sosial masyarakat (lihat Parsons dalam Hoogvelt 1995: 82).
Radcliffe-Brown merasa bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tetapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial dari suatu masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada. Menurut Radcliffe-Brown, struktur merupakan bentuk susunan unsur-unsur yang teratur. Unsur-unsur dalam struktur sosial yang terdiri atas orang-orang, yang memenuhi syarat untuk menduduki posisi dalam struktur sosial, sehingga dapat dipahamkan berfungsi kepada strukturnya. Asumsi dasar kelompok fungsional-struktural ini adalah mengekalkan keadaannya dalam jangka waktu lama, berada dalam keadaan seimbang, yaitu dalam bentuk hubungan antar anggotanya yang memiliki kepaduan tinggi. Jadi, konsep fungsi seperti ini melibatkan struktur yang terjadi dari satu rangkaian hubungan di antara unit, manakala penerusan struktur itu dapat dikekalkan melalui proses kehidupan yang terjadi dari aktivitas unit yang terdapat di dalamnya (Radcliffe-Brown 1980: 206-209).
Emile Durkheim, menekankan perhatiannya pada fenomena solidaritas sosial yang terdapat di antara para anggota masyarakat. Solidaritas sosial itu belum membentuk, yaitu hubungan diantara orang-orang di dalam suatu lingkungan kehidupan hanya bersifat kadangkala maka, tidak akan ditemukan pengaturan yang terperinci. Persoalan yang kemudian dikemukakan oleh Durkheim adalah bagaimana mengukur solidaritas itu. Fenomena tidak dapat dilihat dan diukur secara pasti, namun mempunyai lambang yang dapat ditangkap, yaitu hukum. Bertolak dari ungkapan ini selanjutnya ia melihat adanya pertalian antara jenis-jenis hukum tertentu dengan sifat solidaritas sosial (Rahardjo 1986: 103).
Hubungan antara hukum dan perubahan sosial, Weber sangat memperhatikan hubungan antara sifat kekuasaan politik di dalam suatu negara dengan hukumnya. Cara-cara penyelenggaraan hukum dan peradilan pada masa lalu menurut Weber bersumber pada cara-cara perukunan (conciliatory) antara kelompok-kelompok suku yang bersengketa. Apabila kekuasaan politik di dalam menjalankan roda pemerintahan semakin bersifat rasional maka, akan semakin besar pula kemungkinannya proses hukum di dalam masyarakat yang dijalankan secara rasional pula. Sesuai dengan semakin meningkatnya sifat-sifat rasional pengorganisasian maka, bentuk-bentuk irasional yang dipakai semakin ditinggalkan, sedangkan hukum material akan mengalami sistematisasi, yang berarti keseluruhan bidang hukum mengalami rasionalisasai (Rahardjo 1986: 105).
Konsep-konsep tersebut melandasi teori, bahwa kesenian Barongsai sebagai sistem kesenian tradisi Cina di Semarang terikat dan terbatas sebagai kesenian milik etnis Cina. Kehidupannya dalam masyarakat diatur oleh fungsinya sebagai kesenian ritual ataupun sekuler, dipengaruhi maknanya oleh struktur sosial dan politik.
METODE
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sistem sosial-budaya, antropologi, sejarah, dan politik. Pendekatan-pendekatan itu menganalisis data kualitatif dengan metode etnografi. Fokus penelitian adalah fungsi dan makna Kesenian Barongsai bagi masyarakat etnis Cina Semarang. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, studi dokumen, wawancara mendalam, dan observasi, sebagaimana yang utama digunakan dalam metode etnografi. Proses analisis data yang berlangsung selama proses penelitian ditempuh melalui tiga jalur kegiatan sebagai suatu sistem, yaitu (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) verifikasi/penarikan kesimpulan (Milles dan Huberman 1992).
Langkah terakhir dari analisis data dalam penelitian ini adalah verifikasi atau pemeriksaan keabsahan data. Pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini memakai dependabilitas dan konfirmabilitas (Lincoln dan Guba dalam Jazuli 2001: 34). Data yang didapat dari hasil observasi, wawancara dan dokumentasi selanjutnya ditafsirkan hingga penarikan kesimpulan lewat pembimbing dalam proses penelitian, dan melakukan pengecekan serta pengkajian silang dengan pakar atau teman sejawat, serta menggunakan member checking, yakni meminta pengecekan dari informan, pemain dan penonton.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian meliputi: asal usul Barongsai di Semarang, bentuk pertunjukan Barongsai, fungsi Barongsai bagi masyarakat etnis Cina Semarang, makna Barongsai bagi Masyarakat Cina di Semarang.
Asal Usul Barongsai di Semarang
Menelusuri asal-usul kesenian Barongsai, tidak dapat terlepas dari sejarah kedatangan bangsa Cina di Indonesia, khususnya di kota Semarang. Di kalangan warga Cina di Semarang tersiar cerita mengenai kedatangan armada Zheng He di Semarang. Seperti yang diceritakan oleh Alex Wicaksono (wawancara 10 Agustus 2008) bahwa pada pertengahan abad ke-15, Kaisar Zhu Di Dinasti Ming Tiongkok mengutus suatu armada raksasa untuk mengadakan kunjungan muhibah ke Laut Selatan. Armada itu dipimpin oleh Laksamana Zheng He (Sam Po Kong) dibantu oleh Wang Jinghong (Ong King Hong) sebagai orang kedua. Ketika armada berlayar di daerah pantai utara Jawa, Wang Jinghong mendadak sakit keras. Menurut perintah Zheng He, armada itu singgah di pelabuhan Simongan Semarang. Setelah mendarat Zheng He dan awak kapalnya menemukan sebuah gua. Gua itulah kemudian dijadikan suatu tangsi untuk sementara. Kemudian dibuatlah pondok kecil di luar gua untuk tempat peristirahatan dan pengobatan bagi Wang Jinghong. Setelah Wang Jinghong agak sembuh, Zheng He melanjutkan pelayarannya ke barat dengan meninggalkan Wang Jinghong beserta 10 orang awak kapal untuk menemaninya sambil menunggu pemulihan kesehatannya. Setelah sembuh, ternyata Wang Jinghong menjadi senang tinggal di Semarang. Akhirnya dia memimpin anak buahnya membuka lahan dan membangun rumah. Bahkan, para anak buahnya akhirnya menikah dengan orang-orang pribumi. Selain itu mereka mengembangkan usaha perdagangan di daerah pantai Semarang.
Guna menghormati Laksamana Zheng He, Wang Jinghong membuat patung Zheng He dan diletakkannya di dalam gua. Kemudian patung itu banyak disembah orang. Sejak saat itu setiap tanggal 1 bulan Imlek (Sincia) dan tanggal 15 bulan Imlek (Cap Go Meh) orang berbondong-bondong menyembah patung Sam Po Kong di gua Sam Po yang dimeriahkan dengan arak-arakan kesenian Cina berupa Liong dan Samsi (Barongsai). Beberapa tahun kemudian di tempat itu dibangunlah sebuah kelenteng yang dinamakan Gedong Batu.
Pada pertengahan kedua abad ke-19, kawasan Simongan (sekarang Gedong Batu) dikuasai oleh Johanes, seorang tuan tanah keturunan Yahudi. Yohanes menjadikan kawasan itu sebagai sumber keuntungan dengan menarik pajak yang tinggi bagi warga Cina yang akan bersembahyang di Kelenteng Gedong Batu. Demi kelanjutan kegiatan penyembahan di kelenteng Sam Po Kong Gedong Batu maka, Yayasan Sam Po Kong mengumpulkan dana untuk membuat tiruan patung Cheng Ho dan diletakkannya di Tay Kak Sie (Kelenteng Keinsyafan Besar) yang dibangun tahun 1771 di Gang Lombok, sebuah perkampungan masyarakat Cina di Semarang.
Setelah kawasan Gedong Batu jatuh ke tangan Oei Tjie Sien, ayah Oei Tiong Ham, saudagar kaya yang dikenal dengan julukan ‘Si Raja Gula’ di Indonesia, muncullah acara baru, yaitu setiap tahun baru Imlek mengarak patung duplikat dari kelenteng Tay Kak Sie di Gang Lombok ke Gedong Batu untuk meminta mukjizat dari patung aslinya. Arak-arakan yang melewati jalan-jalan besar kota Semarang tampak meriah dengan hadirnya Liong dan Samsi. Bisa diduga dari acara inilah masyarakat Semarang mengenal kesenian Barongsai.
Nama Barongsai yang dikenal di Indonesia sebenarnya berasal dari nama Samsi atau Say yang dipercaya memberi lambang pembaruan dan keselamatan. Samsi atau singa Cina ini juga dikenal sebagai Ki Lin atau Lung Ma, berasal dari masa kaisar Hok Hie sekitar tahun 4000 SM yang menerima wahyu pertama berupa Sian Thian Pat Kwa (delapan ajaran mulia wahyu Tuhan) dari seekor Lung Ma. Dari titik inilah kehidupan rakyat mulai berubah sebab mulai diperkenalkan aksara dan peradaban hingga negara dapat lebih tertib, aman, dan makmur. Seni Barongsai mengacu pada ceritera klasik Cina, yaitu Sam Kok (ceritera tiga kerajaan). Oleh karena itu Topeng Barongsai pun menggambarkan tiga temperamen, yaitu: 1) Liu Pei, Barongsai berwarna kuning dengan bulu tengkuk putih, 2) Kwan Kong, berwajah merah dengan bulu tengkuk hitam, 3) Zhang Fei, berwarna hitam atau biru berbulu tengkuk hitam atau biru (Panorama 2000: 53). Wujud topeng Barongsai yang asli (di Cina), adalah telinga seperti kerang, alis seperti ikan, dan pipi seperti ular. Wujud topeng merupakan perwujudan binatang dewa (Suhu Khong A Djong wawancara 15 Agustus 2008).
Bentuk Pertunjukan Barongsai
Pertunjukan Barongsai pada dasarnya merupakan seni pertunjukan arak-arakan, tidak menutup kemungkinan pertunjukan Barongsai berupa demonstrasi atraksi di suatu tempat. Pertunjukan Barongsai selalu diawali dengan penghormatan, dilanjutkan permainan bendera, permainan Barongsai, dan penutup. Masing-masing bagian merupakan bagian yang menyatu dan saling mendukung.
Penghormatan
Penghormatan merupakan bagian paling awal dalam setiap pertunjukan Barongsai. Penghormatan dilakukan oleh pemandu atau ketua tim kepada sesepuh Kelenteng (apabila permainan Barongsai dilakukan di Kelenteng) atau kepada pemilik rumah yang memberi derma berupa angpau serta kepada penonton di tengah arena. Sikap penghormatan pemandu atau ketua tim dilakukan dengan cara membungkukkan badan dan menelangkupkan kedua tangan di depan dada. Anggukan dengan membungkukkan badan, dilakukan tiga kali berturut-turut, yang dilanjutkan oleh pemain bendera. Sikap penghormatan pemain bendera adalah dengan memegang bendera dengan kedua tangan kemudian berjongkok. Tangkai bendera disentuhkan pada tanah dan menundukkan kepala tiga kali. Penghormatan berikutnya dilakukan oleh Barongsai dengan cara berjalan ke tengah arena. Sesampai di tengah arena, Barongsai menganggukkan kepala sambil menggerakkan kaki kanan depan tiga kali, kemudian mundur, dan meninggalkan arena.
Penghormatan pemandu barongsai dilakukan dengan tujuan memberikan rasa hormat kepada penonton, pimpinan kelenteng, atau pemberi derma. Penghormatan juga ditujukan kepada para leluhur dengan harapan agar permainan Barongsai dapat berjalan lancar tanpa gangguan.
Permainan Bendera
Permainan bendera dilakukan oleh satu atau dua orang pemain bendera. Bendera yang dibawa dan dikibarkan yang terikat pada tongkat adalah bendera perguruan atau bendera simbol masing-masing grup Barongsai yang kebanyakan berwarna dasar hitam dan berbentuk segitiga sama sisi dengan rumbai-rumbai yang berada di tepi alas segi tiga. Selain bendera perguruan, biasanya dimainkan pula bendera Persatuan Seni dan Olah Raga Barongsai Indonesia (PERSOBARIN). Bendera PERSOBARIN juga berbentuk segi tiga sama sisi dengan warna dasar merah.
Permainan bendera dilakukan dengan melakukan gerakan-gerakan cepat dan dinamis. Bendera diputar-putar dengan kedua tangan di depan dada, kemudian secara cepat dipegang tangan kanan melingkari punggung dan ditangkap oleh tangan kiri. Gerakan-gerakan cepat juga dilakukan dengan memutar bendera melingkari kaki, punggung, dan dada.
Permainan Barongsai
Bagian inti dalam pertunjukan Barongsai adalah permainan Barongsai. Pada bagian permainan ditampilkan atraksi Barongsai baik di lantai maupun di atas tonggak. Permainan Barongsai di lantai adalah atraksi-atraksi yang dimainkan oleh para pemain Barongsai tanpa menggunakan alat peraga bantu. Demonstrasi gerak di lantai biasanya dilakukan dengan gerak singa berdiri, yaitu sebuah atraksi yang dilakukan dengan mengangkat pemain bagian depan yang memegang kepala oleh pemain belakang yang menjadi badan dan ekor. Gerakan berguling, yaitu pemain depan dan belakang berguling bersama-sama ke arah yang sama, sehingga terlihat seperti singa yang sedang berguling-guling. Atraksi-atraksi di lantai divariasikan dengan pameran gerakan ekspresif, yang dilakukan dengan posisi diam, dan hanya kepala yang sedikit bergerak sambil kelopak matanya berkedip-kedip serta telinga yang digerak-gerakkan. Variasi ini dapat menghidupkan suasana karena apabila pemain Barongsai itu trampil maka, penonton akan melihat seolah-olah benar-benar seperti seekor singa yang sedang duduk, atau jongkok bahkan, dapat berkesan seperti singa yang sedang merunduk akan menangkap mangsanya.
Permainan Barongsai di atas tonggak adalah permainan yang menggunakan alat peraga bantu berupa tonggak-tonggak besi yang dijajarkan. Kadangkala antara tonggak-tonggak diberi tali berukuran besar yang digunakan untuk meniti. Permainan Barongsai di atas tonggak, dituntut adanya keterampilan pemain, kedisiplinan gerak, serta kekompakan kedua pemain depan dan belakang.
Permainan Barongsai di atas tonggak menunjukkan gerakan akrobatik dengan melompat di antara tonggak-tonggak yang berketinggian satu meter sampai tiga meter. Variasi yang sering dilakukan dalam permainan ini adalah meniti seutas tali.
Penutup
Penutup pertunjukan Barongsai, biasanya ditampilkan gerakan singa berdiri dan berjalan berkeliling arena pentas. Bagian penutup sebagai tanda, bahwa grup Barongsai itu mohon diri, mohon pamit kepada penonton maupun para sesepuh kelenteng.
Fungsi Barongsai Bagi Masyarakat Etnis Cina Semarang
Secara rinci fungsi kesenian Barongsai bagi masyarakat etnis Cina Semarang adalah ritual, hiburan dan politik.
Fungsi Ritual
Barongsai sebagai kesenian khas etnis Cina, pertumbuhan dan perkembangannya dipengaruhi oleh sistem nilai yang ada pada kelompok masyarakat pendukungnya, yaitu masyarakat Cina. termasuk nilai-nilai ritual keagamaan dan adat. Dalam konteks kehidupan ritual keagamaan, masyarakat Cina di Indonesia sebagian besar menganut ajaran Confucianisme. Confucianisme adalah suatu ajaran dari seorang nabi yang bernama Khong Hu Tju atau Kung Fu Tze. Ajaran penting dalam Confucianisme adalah lima kebajikan yang disebut Ngo Siang, yaitu: Cinta kasih (Jien), adil dan bijaksana (Gie), susila dan sopan santun (Lee), cerdas dan waspada (Tie), jujur dan ikhlas (Sien). Ajaran mengenai delapan kewajiban insan, yaitu iman dan kewajiban yang disebut Pat Tik, meliputi, berbakti (haw), rendah hati (tee), satya (tiong), susila (lee), menjunjung kebenaran, keadilan, kewajiban dan kepantasan (gie), suci hati (lian), dapat dipercaya (sien), tahu malu atau mengenal rasa harga diri (thee).
Menurut ajaran Taoisme, pada hakekatnya yang memerintah kerajaan di dunia adalah Tuhan (Thien). Hanya saja dalam pelaksanaannya diserahkan kepada Putra Tuhan sebagai perantara dunia fana dan dunia alam baka. Putra Tuhan itu adalah Yao dan Shun. Praktek ritual, kedua Putra Tuhan (Yao dan Shun) dilambangkan dengan binatang mitologi Naga dan Singa. Lambang dari kedua Putra Tuhan itulah, kemudian muncul protoptipe Naga atau Liong dan singa atau Samsi atau Barongsai.
Berdasar latar belakang kehidupan ritual masyarakat Cina, dapat diketahui, bahwa kemunculan kesenian Barongsai berawal dari kebutuhan ritual, oleh sebab itu, setiap hari raya Imlek selalu dipertunjukan Samsi dan Liong. Meskipun bentuk pertunjukannya sama dengan ketika dipertunjukkan untuk keperluan hiburan tetapi pelaksanaannya agak berbeda. Perbedaan itu terletak pada sebelum pertunjukan dimulai, biasanya topeng Barongsai itu disembahyangkan dahulu di klenteng dan diberi (ditempel) Hoo (kertas kuning bertulisan Cina, yang dipercaya dapat memberikan keselamatan (perlindungan) kepada yang memakainya) pada dahinya (Suhu Khong A Djong, wawancara 15 Agustus 2008). Berdasar uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa fungsi ritual Barongsai tetap dipertahankan kelangsungannya oleh masyarakat Cina di Semarang.
Fungsi Hiburan
Kehidupan Barongsai di Era Reformasi lebih didominasi oleh fungsinya sebagai hiburan. Barongsai sebagai seni hiburan dikemas berbeda dengan sajian ritual. Barongsai untuk upacara ritual, biasanya Barongsainya hanya satu, itupun sebelumnya harus disembahyangkan dahulu di Kelenteng dan dikasih hoo. Barongsai untuk hiburan masyarakat biasanya lebih dari satu, bisa dua sampai lima dan yang penting atraksinya, yaitu pertunjukan keterampilan pemain dalam mempertunjukkan gerakan-gerakan atraktif dan akrobatik baik di lantai maupun di tonggak. Bahkan, kadang-kadang ditambah dengan tarian-tarian.
Yosodiharjo (Yauw Ping Kwie) (wawancara 20 Agustus 2008), Ketua Perguruan Barongsai Budi Luhur yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Himpunan Liong-Samsi Jawa Tengah, mengatakan bahwa pada Era Reformasi ini kesenian Barongsai semakin berkembang penyajiannya. Perkembangan dapat dilihat dari semakin bervariasinya olah gerak yang dibawakan, warna, dan bentuk kostum. Perkembangan penyajian Barongsai tidak hanya dipentaskan pada hari besar Imlek saja, melainkan bisa dilakukan di luar Imlek seperti pesta pernikahan, peluncuran suatu produk baru sebuah perusahaan, ulang tahun suatu instansi, dan lain-lain.
Fungsi Politik
Barongsai di Era Reformasi juga tidak lepas dari kehidupan politik. Bahkan, dapat dikatakan maraknya kembali Barongsai diawali dengan tampilnya kesenian etnis Cina pada Deklarasi Partai Amanat Nasional (PAN) di Surakarta bulan Mei 1998, sekaligus sebagai ajang kampanye partai PAN dalam menghadapi Pemilihan Umum tahun 1999. Muncullah Barongsai pada kegiatan-kegiatan kampanye yang dilaksanakan oleh partai-partai lain, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan lain-lain. Salah satu bukti aktivitas Barongsai pada dunia politik adalah berdirinya kelompok Barongsai di desa Gabahan, kecamatan Semarang Tengah yang diprakarsai oleh DPC PDI-P pada tahun 2000.
Barongsai sebagai alat propaganda politik, pada dasarnya penampilan Barongsai sama dengan ketika ditampilkan sebagai hiburan. Perbedaannya hanya pada warna busana yang disesuaikan dengan simbol warna partai. Secara kebetulan warna-warna simbol partai itu secara tradisional telah ada pada permainan Barongsai, seperti warna merah, biru atau hijau. Penampilan Barongsai itu berkaitan dengan propaganda politik salah satu partai, maka hanya akan memakai warna simbol partai bersangkutan yang dipakai.
Makna Barongsai Bagi Masyarakat Cina di Semarang
Barongsai bagi masyarkat etnis Cina mempunyai makna simbolik dan makna strategis.
Makna Simbolis
Eksistensi Barongsai merupakan bagian integral dari kebutuhan simbolisasi masyarakat Cina di Indonesia. Barongsai bukan sekedar sebagai alat pernyataan diri tetapi juga sebagai bentuk pernyataan diri. Kesenian khas ‘ras’ Cina, Barongsai dipertahankan demi eksistensi kelompok, yang dibuktikan selama 32 tahun tidak diperbolehkan menampakkan diri tetapi ternyata tidak mati. Santosa (Khong Fan Shen) mengatakan, bahwa pada masa Orde Baru, walaupun Barongsai dilarang tampil di muka umum, di Semarang masih terdapat enam grup besar yang tetap bertahan. Enam grup Barongsai itu adalah: Djin Hoo Tong, Hoo Haap, Dharma Asih, Porsigap, Budi Luhur, dan Ju Djie. Pada masa itu mereka hanya tampil untuk kepentingan upacara di kelenteng seperti Sampoo, yaitu peringatan datangnya Sampoo Tay Jien ke Semarang, biasanya pada bulan Agustus (Santosa wawancara 20 Agustus 2008). Begitu datang kebebasan melalui Era Reformasi, maka Barongsai langsung bermunculan, bahkan cenderung merebak memenuhi khazanah kesenian tradisional ‘baru’. Santosa juga mengatakan, bahwa Barongsai bagi masyarakat Cina khususnya di Semarang merupakan lambang keberuntungan. Masyarakat Cina di Semarang percaya, jika masyarakat Cina memberikan angpau kepada Barongsai, kelak akan mendapat limpahan rejeki dari dewa, oleh sebab itu saat dilaksanakan arak-arakan Barongsai pada hari raya Imlek atau Cap Go Meh, mereka berusaha untuk memasukkan angpau ke mulut Barongsai.
Makna Strategis
Makna strategis Barongsai adalah sebagai sarana interaksi sosial antara masyarakat Cina dan pribumi. Interaksi sosial berfungsi menjaga norma-norma sosial di dalam dan di luar komunitas Cina sebagai golongan minoritas. Sumber utama dari permasalahan golongan minoritas Cina di Semarang adalah tata kehidupan yang berlaku dalam tradisi masyarakatnya, terutama sikap fanatisme terhadap tradisi negara leluhurnya.
Keyakinan masyarakat Cina secara tradisional adalah bagaimana seharusnya manusia hidup bermasyarakat dengan konsep Tao. Akibatnya, orang-orang Cina yang tinggal di Semarang membentuk suatu kelompok yang saling mendukung antar anggota kelompok, sehingga masyarakat pribumi (Indonesia asli) dengan jelas dapat membedakan orang pribumi dan non pribumi atau keturunan, demikian pula dengan kehidupan kebudayaannya, termasuk kesenian Barongsai yang dianggap hanya milik masyarakat non pribumi.
Kenyataannya, ternyata kehidupan Barongsai justru memiliki makna strategis dalam menghilangkan anggapan itu karena Barongsai dapat mendekatkan diri pada tujuan pembauran masyarakat Cina dengan masyarakat pribumi. Handoyo (Wawancara 20 Agustus 2008) mengatakan, anggota grup-grup Barongsai di Semarang kebanyakan orang pribumi. Hal ini terutama banyaknya anak-anak yang tertarik dengan permainan Barongsai yang sekaligus mereka dibekali ilmu bela diri Wu-shu.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Barongsai adalah sebuah kesenian yang berasal dari Cina yang masuk ke Indonesia khususnya di Semarang yang dibawa oleh para sudagar Cina. Bentuk pertunjukan Barongsai terbagi ke dalam tiga tahap, yaitu permainan bendera, permainan Barongsai, dan penutup. Fungsi kesenian Barongsai bagi masyarakat etnis Cina Semarang adalah fungsi ritual, fungsi hiburan dan fungsi politik. Makna kesenian Barongsai bagi masyarakat etnis Cina Semarang adalah makna simbolik dan makna strategis.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, saran-saran yang dapat disampaikan adalah :
1. Bagi pemerintah Kota Semarang, diharapkan untuk lebih memperhatikan keberadaan kesenian Barongsai dengan cara memberikan tempat, waktu dan kesempatan kesenian Barongsai untuk berkembang.
2. Bagi masyarakat umum, diharapkan untuk lebih dapat memberikan apresiasi yang positif kepada kelompok kesenian Barongsai.
3. Bagi kelompok kesenian Barongsai, diharapkan untuk lebih dapat mengembangkan diri dengan cara mengemas kesenian tersebut menjadi lebih menarik sehingga mampu diterima oleh masyarakat umum.
DAFTAR PUSTAKA
De Graf , H. J. 1998. Cina Muslim di Jawa abad XV dan XVI antara Historistas dan mitos. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Halim, Budi Haliman. 1999. "Kisah Haji Ong Keng". Harian Suara merdeka terbitan 19 September 1999. Semarang: Suara Merdeka Press.
Hayakawa. S.I. 1949. Language in Throught and Action. New York: Hancourt, Brace and Company.
Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia. Terj. Soedarsono, Bandung: MSPI.
Hoogvelt. Ankie M. M. 1995. Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Jazuli, M. 2001. Metode Penelitian Kualitatif. Semarang: Universitas Negeri Semarang Press.
Miles, M. B. Dan A. M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Terj. Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press.
Oetomo, Dede. 2000. Sang Naga dan Budaya Tionghoa Menuju Indonesia Baru. Jurnal Budaya dan Filsafat Mitra, Edisi 04. Bandung .
Parsons. Talcott. 1986. Fungsionalisme Imperatif. Terj. Soerjono Soekanto, Jakarta: CV Rajawali.
Radcliffe- Brown, A. R. 1980. Struktur dan Fungsi dalam Masyarakat Primitif. Terj. E.E. Evans-Pritchard dan Fred Eggan, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Rahardjo, Satjipto. 1986. Hukum dan Masyarakat. Bandung: Angkasa.
Rahmanto, B. 1992. Simbolisme Dalam Seni. Yogyakarta: BASIS, Jawanisasi Kebudayaan Indonesia edisi Maret 1992-XLI-no.3.
Rohidi, Tjetjep Rohendi. 1994. Pendekatan Sosial Budaya Dalam Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Press.
------------------------------. 2000. Ekspresi Seni Orang Miskin, Adaptasi Simbolik terhadap Kemiskinan. Bandung: Penerbit Nuansa.
Sastroatmodjo, Sudiono. 1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press.
Soekanto, Soerjono. 1991. Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Triyanto. 2001. Makna Ruang dan Penataannya dalam Arsitektur Rumah Kudus. Semarang: Kelompok Studi Mekar.
Wibowo, Wibisono. I. Ed. 1977. Simbol Menurut Sussanne K. Langer. Dari Sudut-Sudut Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
------------------------------..1999. Restrospeksi dan Rekontekstualisasi Masalah. Cina. Jakarta: PT Gramedia.
Yahya, Junus. 1998. ”Masalah Tionghoa di Indonesia” dalam Masalah dalam Kapok Jadi Nonpri : Warga Tionghoa Mencari Keadilan. Alfian Hamzah (ed). Bandung: Zaman Wacana.
This article is taken from Harmonia Vol IX No 1, June 2009)
0 komentar:
Posting Komentar