Paradigma Baru Penelitian Seni
Hari Martopo
Staf Pengajar Jurusan Musik Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta
Abstrak
Atmosfer penelitian seni di lingkungan perguruan tinggi seni masih terasa kering bila dibandingkan dengan penelitian ilmu-ilmu lain, terutama oleh karena persoalan paradigma dan parameter ilmiah. Paradigma lama yang memandang dikotomis ilmu dan seni sebagai suatu relasi yang berhadap-hadapan sesungguhnya benar-benar telah usang. Pikiran seperti itu perlu segera dikoreksi karena hakikat seni adalah suatu disiplin yang bersifat sains dan filsafat; maka paradigma baru perlu dikembangkan untuk tujuan pembebasan berpikir terutama bagi para peneliti seni. Kebebasan berpikir dan perasaan merdeka sangat mendorong peneliti seni menghasilkan banyak kreativitas, inovasi, dan penemuan-penemuan.
Kata kunci: penelitian, seni, paradigma, kreativitas.
A. Pendahuluan
Penelitian seni atau riset ilmiah tentang seni adalah dharma ke-2 perguruan tinggi yang berperan penting sebagai media pengembangan keilmuan seni di lingkungan perguruan tinggi seni (PTSn). Ironisnya, tradisi menulis karangan ilmiah dan melakukan penelitian di lingkungan PTSn tampaknya belum menggembirakan. Padahal atmosfer akademik seharusnya ditumbuhkan berdasarkan konsep keseimbangan Tri Dharma PT (pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat) baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Jika penelitian kurang diminati oleh mahasiswa maupun dosen, berbagai penyebabnya hingga kini belum pernah dikaji secara mendalam. Publikasi artikel dan penelitian ilmiah memang sudah mulai berkembang, tetapi
jumlahnya tidak sebanding dengan rasio dosen yang ada.
Di lingkungan PTSn kegiatan menulis artikel ilmiah dan melakukan penelitian tak jarang masih dianggap sebagai kegiatan intelektual yang berlawanan dengan kebebasan berekspresi seni, fakta itu menunjukkan kepada kita bahwa meneliti masih digolongkan sebagai kegiatan eksklusif yang berbeda dengan kegiatan seni. Menulis artikel atau meneliti dikategorikan sebagai aktivitas keilmuan yang mengandalkan rasio belaka, sedangkan berkesenian adalah aktivitas kesenimanan yang lebih mengandalkan kekuatan rasa. Paradigma lama yang memandang secara dikotomis ilmu dan seni seperti itu kurang menguntungkan dan perlu dikoreksi demi pengembangan seni sebagai sains agar setara dengan ilmu-ilmu pengetahuan lain. Dosen acapkali semangatnya menjadi kendor jika hendak memulai penelitian, karena penelitian terkesan sangat rumit, memeras otak, penuh resiko, menyita banyak waktu, dan secara finansial kurang menguntungkan. Maka, paradigma baru diperlukan sebagai alternatif, penelitian seni sebaiknya lebih banyak mengeksplorasi rasa daripada rasio. Sekalipun demikian penelitian atau penciptaan seni prosesnya harus tetap rasional.
Penelitian sesungguhnya bisa dimulai dengan cara mudah, bertahap, fleksibel, sebagai proses belajar, pengembangan ilmu, dan tidak menakutkan. Untuk itu calon peneliti harus mengalami sendiri mulai dari menulis proposal, merancang kegiatan, melaksanakan penelitian, maupun membuat evaluasi dan laporan akhir. Artikel ini dimaksudkan untuk membantu bagi siapa saja yang berminat melaksanakan penelitian seni, terutama bagi yang benar-benar belum pernah mengalami dan masih memiliki keraguan besar untuk memulainya. Peneliti harus mulai dengan sikap percaya diri, berpikir kreatif, mencari banyak referensi tentang penelitian, belajar menentukan topik, judul, dan menuliskan abstrak penelitian—untuk menyusun proposal penelitian. Pelaksanaan proyek penelitian seni bisa dilaksanakan sebagai bagian dari belajar ’sambil jalan’, peneliti pemula bisa banyak belajar dari institusi yang mengaturnya, dari para koleganya, atau dari berbagai problem-problem kasuistis yang dihadapinya. Setiap peneliti dengan sendirinya akan memperoleh pengalaman yang berbeda satu dengan lainnya; pengetahuan, strategi, maupun gaya dalam melaksanakan penelitian sifatnya bisa individual.
Atmosfer penelitian seni di lingkungan PTSn hingga kini belum berkembang sesuai harapan karena beberapa masalah: (1) Kesempatan meneliti bagi dosen masih terbatas dibandingkan dengan jumlah mereka; (2) Pengembangan kemampuan meneliti bagi para dosen masih kurang, sekalipun Lembaga Penelitian telah berulang-kali memberikan pelatihan tetapi hasilnya belum sepadan. Transfer pengetahuan dan pengalaman meneliti dari dosen senior kepada yuniornya nyaris tidak berlangsung karena tradisi penelitian kelompok sangat minim; (3) Angka kredit (untuk kenaikan pangkat dosen) dari hasil penelitian amat kecil dibandingkan dengan aktivitas penulisan ilmiah yang dipublikasikan, hal itu menyebabkan dosen enggan melakukan penelitian; (4) Paradigma lama mengatakan bahwa meneliti adalah urusan rasio yang berlawanan dengan kebebaan ekspresi kesenimanan masih berkembang; (5) Keraguan peneliti terkait dengan parameter ’ilmiah’ penelitian, menjadikan kurang percaya diri ketika akan menentukan landasan teori, metodologi, metode, dan teknik analisis data.
Masalah ke-4 dan ke-5 tersebut umum dihadapi para peneliti bidang seni terutama pemula. Pandangan dikotomis atas sains dan seni menjadikan peneliti seni ragu terkait dengan penilaian ilmiah terhadap penelitian mereka. Azas kebenaran ilmiah yang positivistik acapkali diterapkan pada penelitian-penelitian seni termasuk pula perancangan atau penciptaan karya seni. Keindahan yang menjadi azas utama seni dipandang kurang sepadan dengan kebenaran ilmiah dalam kerangka penelitian seni, karena rasa (sense, feeling) dicurigai terlampau mendominasi proses penelitian seni yang terpaksa mengikuti metodologi-metodologi pinjaman.
Terkait dengan metodologi penelitian seni, pada tanggal 7-8 September 2005 bertempat di Denpasar-Bali dilangsungkan suatu diskusi yang membahas masalah-masalah penelitian seni oleh Forum Diskusi Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Bidang Seni yang difasilitasi oleh DP3M Ditjen Dikti. Diskusi berhasil merumuskan dua hal penting terkait dengan penelitian seni, yang pertama menjawab pertanyaan apakah ada metodologi penelitian khusus bidang seni? Jawabnya: Penelitian bidang seni memang khas dan ada teknik-teknik khusus untuk penelitian kesenian, tetapi tidak ada metodologi khusus bidang seni. Penelitian seni dapat didekati secara multidisiplin maupun secara monodisiplin yang terkait dengan metodologinya masing-masing (I Made Bandem, 2005). Bagi peneliti bidang seni jawaban itu tentu sangat mengejutkan, betapa tidak, penelitian seni seakan tidak merdeka dan kurang mandiri terutama dalam menggunakan metodenya. Penelitian seni dianggap layak jika menggunakan metode pendekatan ilmu-ilmu lain agar pantas dikategorikan ilmiah.
Dari semua persoalan penelitian seni, paradigma dan metode penelitian menjadi persoalan paling sering muncul di hadapan peneliti seni. Akademisi seni belum berani mengatakan bahwa penelitian seni sejajar dengan penelitian sains, sikap inferior bahwa seni jauh dari logika sudah saatnya dikoreksi. Seni hakikatnya memang berbeda dari sains seperti dikatakan oleh Melvin Rader (1960: xx): Science describes facts; art expresses values. Sains menjelaskan fakta-fakta, yang benar-benar nyata dan ada, bisa dibuktikan, sesuatu yang permanen, umum, dan terkait dengan pengalaman-pengalaman universal. Sains memang terkait dengan sesuatu yang pasti dan masuk akal (logic); sedangkan seni lebih mengambang, individual, relatif, dan terkait erat dengan nilai-nilai dan rasa (sense). Otonomi seni lebih dari sekadar menggambarkan fakta atau realitas belaka, tetapi menyampaikan pesan-pesan artistik.
Masalah kekurangan informasi terutama literatur dan contoh-contoh penelitian seni juga menjadi sebab atmosfer penelitian tidak berkembang di lingkungan PTSn. Eksplorasi terhadap berbagai masalah terkait dengan penelitian seni bisa dimulai dengan mengembangkan paradigma baru penelitian seni. Para dosen bidang seni kini memiliki kesempatan yang cukup lebar untuk melakukan penelitian seni, mulai dari taraf latihan hingga tingkat mandiri dan bisa memilih berbagai model penelitian yang sesuai dengan minatnya. Tetapi, oleh karena seni dekat dengan filsafat, ilmu-ilmu budaya, dan ilmu pengetahuan sosial; maka paradigma dan metodologi penelitian seni bisa digali dan dikembangkan dengan meminjam teori-teori dan teknik-teknik analisis dari berbagai ilmu pengetahuan tersebut.
Jika para peneliti seni mampu mengadobsi teori-teori dan teknik-teknik analisis dari ilmu-ilmu lain sekaligus mengembangkannya menjadi model-model penelitian seni yang spesifik, maka jalan keluar terbuka lebar. Penelitian seni juga bisa dikembangkan dengan membangun sendiri metodologi dan teknik-teknik analisisnya di atas ilmu pengetahuan seni. Jika upaya-upaya terus dilakukan, maka sangat mungkin paradigma penelitian seni segera terbarui. PTSn pada umumnya menantikan ide-ide kreatif dari para penelitinya, karena ilmu pengetahuan seni bisa berkembang pesat jika school of thought dibangun sebagai fondasi filosofis melalui peningkatan aktivitas ketiga dharma perguruan tinggi secara simultan.
B. Hakikat Penelitian Seni
Penelitian atau riset (research) bermakna mempelajari secara hati-hati (careful study) atau menyelidiki (investigation) khususnya untuk menemukan (to discover) fakta-fakta atau informasi ilmiah baru. Penelitian dilakukan terhadap suatu masalah secara bersistem, kritis, dan ilmiah. Tujuannya ialah untuk meningkatkan pengetahuan dan pengertian, mendapatkan fakta baru, atau melakukan penafsiran lebih baik, dan membentuk ilmu baru. Ilmu dibentuk oleh tiga komponen yang saling terkait: aktivitas manusia, metode tertentu, dan sistem (The Liang Gie, 2000: 88). Oleh karena itu penelitian dapat dikategorikan sebagai aktivitas nyata manusia untuk membangun ilmu pengetahuan dengan menggunakan metode tertentu dan sistematik. Tujuan penelitian pada umumnya untuk menggali, menemukan, memahami, mengoreksi, mengembangkan, dan lain-lain terhadap fakta, fenomena, maupun teori-teori.
Penelitian seni adalah penyelidikan tentang semua hal yang terkait dengan seni seperti: karya seni, seniman, perancangan atau penciptaan seni, teori-teori seni, manajemen seni, sejarah seni, fenomena kesenian, dan lain sebagainya. Pengkajian terhadap karya-karya cipta seni, pengusutan atas adanya fenomena baru dalam kehidupan seni tertentu, pembahasan atas teori-teori seni, pengembangan manajemen seni terutama produksi pameran seni rupa atau konser-konser, penulisan sejarah seni, dan lain sebagainya—adalah jenis-jenis penelitian yang sangat diperlukan bagi pengembangan seni sebagai sains. Ilmu pengetahuan (sains) dewasa ini sering dipandang sebagai proses, produk, dan paradigma etika (Lasiyo, 2004: 1). Jika demikian adanya, bagaimana pula seni bisa dipandang seperti itu? Penelitian seni bisa diartikan sebagai suatu proses untuk membentuk ilmu pengetahuan seni, juga untuk menghasilkan karya cipta sebagai produk final, dan menyajikan paradigma yang memuat nilai-nilai dari objeknya.
Definisi ‘penelitian seni’ atau riset tentang seni adalah penyelidikan, pemeriksaan yang teliti atau cermat—yang berwujud kegiatan pengumpulan, pengolahan, analisis, dan penyajian data yang dilakukan secara sistematis dan objektif untuk memecahkan suatu persoalan atau menguji suatu hipotesis dalam mengembangkan prinsip-prinsip umum dalam bidang seni. Kata research bermakna mencari secara berulang-ulang, terkait dengan inquiry (penyelidikan), delve (gali), pengusutan, dan probe (menjajaki). Penelitian pada umumnya terkait dengan kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh para sarjana baik di lingkungan perguruan tinggi maupun pada lembaga-lembaga riset lain secara sistematis dan objektif. Untuk itu penelitian ilmiah pada umumnya bermakna mempelajari secara hati-hati atau menyelidiki untuk menemukan adanya fakta-fakta maupun informasi-informasi ilmiah yang baru. Mengacu pada pernyataan Rader tersebut di atas, penelitian seni bisa didefinisikan sebagai upaya sistematis dan objektif untuk menyelidiki, mempelajari, dan menemukan bukan saja fakta-fakta baru dalam seni tetapi berupa fenomena dan nilai-nilai yang terkandung di dalam seni.
Tujuan penelitian seni setara dengan penelitian-penelitian ilmiah lain, seperti untuk meningkatkan pengetahuan dan pengertian, mendapatkan fakta baru, menjelaskan tentang fenomena tertentu, dan penafsiran baru atas nilai-nilai. Penelitian seni bisa dikategorikan sebagai aktivitas ilmiah dan proses untuk membentuk ilmu pengetahuan seni. Pada tataran ini penelitian seni bertujuan bukan sekadar untuk mendapatkan deskripsi tentang objeknya saja, tetapi untuk suatu tujuan yang lebih bervariasi bahkan termasuk di dalamnya perancangan karya-karya seni. Penelitian eksperimental bidang seni memungkinkan sekali hasilnya berupa temuan (invention) yang memenuhi unsur kebaruan (novelty) dan kreativitas (baru dan unik) dari perancangnya. Eksperimen dan eksplorasi seni pada umumnya menghasilkan karya atau produk yang inovatif tetapi bahkan sangat mungkin melahirkan pengetahuan, gaya, atau aliran seni yang baru. Penelitian seni tidak dapat dilawankan begitu saja secara paradoksal terhadap penelitian ilmiah seperti ilmu sosial, ilmu kealaman, dan filsafat. Seni dan ilmu saling melengkapi, bukan berlawanan. Di dalam seni ada sesuatu yang ‘ilmiah’ sekalipun porsinya kecil; demikian pula di dalam sains bisa jadi ada sesuatu yang ‘artistik’. Oleh karena itu penelitian seni harus dilakukan oleh peneliti yang berwatak ilmuwan sekaligus seniman, peneliti yang mampu menggunakan kemampuan berpikir dan merasakan sesuatu secara rasional serta sensitif.
Sekalipun peneliti menggunakan azas utamanya kepekaan rasa seniman, tetapi ia wajib memperhatikan ketajaman rasionya sebagai ilmuwan. Prinsip-prinsip itu bukan baru, filsafat asal Cina mengajarkan prinsip harmoni dalam kosmos; dua sumber yang menjadi prinsip segala eksistensi dan transformasi dalam alam semesta ialah Yin-Yang (To Thi Anh, 1984: 87). Di dalam Yin yang bersifat gelap, tertutup, dingin, dan sifat negatifnya; terdapat pula sifat-sifat sebaliknya yakni Yang. Demikian pula di dalam Yang terdapat sifat terang, terbuka, panas, dan sifat positifnya; juga dilengkapi oleh sifat-sifat Yin. Peneliti seni sebaiknya menggunakan keseimbangan rasio dan rasa dalam melaksanakan penelitian seni, sekalipun dalam menentukan prosentase ia bisa merdeka namun dua aspek tersebut harus digunakan agar saling melengkapi.
Hasil penelitian seni bisa berwujud pemikiran atau teori seni, karya seni, atau deskripsi fakta-fakta atau fenomena baru dalam kesenian. Jika ilmu pengetahuan perlu mendapatkan pengakuan masyarakat ilmiah sebelum dimanfaatkan publik, maka produk penelitian seni juga perlu diakui oleh masyarakat seni sambil disosialisasikan kepada publik. Ada sedikit perbedaan fundamental antara hasil penelitian ilmiah berbagai disiplin selain seni dengan disiplin seni. Yang pertama menyangkut pengetahuan yang sifatnya umum, perlu kepastian, dan sering mengandung resiko-resiko atas penggunaannya; ilmu fisika, kimia, kedokteran, dan matematika—semuanya tidak bisa digunakan secara serampangan sebab jika salah bisa mendatangkan akibat yang sangat fatal. Sebaliknya yang kedua, seni bersifat lebih seperti ‘Yin’ yang mengambang, relatif, dan tidak harus terbuka. Sekalipun demikian penelitian seni merupakan usaha mencari keterangan baru dan bersifat memberikan penerangan terhadap berbagai persoalan seni.
Pada dasarnya kebenaran ilmiah dirumuskan melalui hukum-hukumnya secara objektif, sedangkan keindahan seni bertumpu pada nilai-nilai normatif. Seorang pelukis bisa saja melakukan kesalahan teknis dalam lukisannya, tetapi anehnya bahkan kesalahan itu justeru dipandang sebagai sesuatu yang istimewa, indah, khusus, dan lain sebagainya. Ia tidak perlu cemas seperti seorang arsitek yang gagal dalam mewujudkan bangun arsitekturnya karena konstruksinya salah sehingga terancam ambruk.
Tipe-tipe penelitian sosial (Sotirios Sarantakos, 1998: 6-8) yang bisa diadobsi ke dalam penelitian seni: Penelitian dasar (Basic research), Penelitian terapan (Applied research), Penelitian kualitatif (Qualitative research), Penelitian deskriptif (Descriptive research), Penelitian klasifikasi (Classification research), Penelitian komparatif (Comparative research), Penelitian eksploratoris (Exploratory research), Penelitian eksplanatoris (Explanatory research), Penelitian kausal (Causal research), Penelitian uji-teori (Theory-testing research), Penelitian pengembangan-teori (Theory-building research), Penelitian kaji-tindak (Action research), Penelitian partisipatori-aktif (PAR: Participatory action research), dan Penelitian Kuantitatif (Quantitative research).
C. Metodologi Penelitian Seni
Dibentuk dari gabungan kata ‘metode’ (cara sistematis) dan ‘logi’ (ilmu, sains)—yang bermakna umum sebagai ilmu tentang metode dan berwujud uraian tentang metode-metode yang umum digunakan dalam melakukan penelitian ilmiah. Tetapi makna yang lebih khusus adalah semacam kerangka kerja (frame work) yang berisi antara lain tata-kerja (procedure) ilmiah. Sesuai dengan makna kedua, metodologi penelitian seni dapat digambarkan sebagai konsep besar (grand design) yang memuat rencana kerja dan semua hal terkait dengan penelitian, terutama prosedur meneliti secara ilmiah. Menurut Tejoyuwono (1991) dalam Ida Bagoes Mantra (2004: 5-6), metodologi penelitian ialah suatu ilmu tentang kerangka kerja melaksanakan penelitian yang bersistem. Metode-metode penelitian seni bisa dikaitkan dengan makna pertama dan kedua itu, maka semua pihak diharapkan bisa memahami secara benar tentang metodologi penelitian seni.
Sebenarnya kata ’metode’ tidak selalu terkait dengan proyek penelitian ilmiah saja tetapi digunakan secara sangat luas menyangkut pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya objektif, memerlukan keteraturan, dan tujuannya jelas. Metode bermakna upaya atau prosedur-prosedur yang digunakan untuk mencapai tujuan akhir tertentu. Kata method terkait dengan sejumlah sinonim seperti fashion (membentuk), mode (gaya, wahana), system (susunan, tata), technique (teknik), way (cara, jalan, langgam), dan wise (arif, bijak). Secara lebih khusus kata itu terkait dengan kata-kata: rencana, disain, skema, kerangka, modus operandi, dan praktik. Metodologi menurut arti kedua adalah kerangka kerja ilmiah yang berupa prosedur sistematis dan memenuhi kaidah-kaidah ilmu seperti masuk akal, netral, dan bijaksana.
Seniman seperti halnya seorang filsuf yang bekerja dengan pikiran sistematis, biasanya melakukan suatu proses yang cukup lengkap dalam mencipta karya seni. Jika seorang peneliti bekerja dengan mengumpulkan data melalui studi pustaka, wawancara, observasi dan lain sebagainya; maka seniman lebih banyak melakukan pengamatan langsung pada objek sebagai sumber penciptaan, atau justru melakukan kontemplasi diri dalam mencari inspirasi untuk karya seninya. Seniman perlu waktu melakukan ‘studi rasa’ sebelum mulai merancang hingga mewujudkan konsep artistiknya menjadi karya seni yang final.
Metodologi penelitian seni perlu dibangun dengan memperhatikan hakikat seni yang khusus. But Muchtar dan Soedarsono berpendapat, seni adalah aktivitas yang terjadi oleh proses cipta, rasa, dan karsa; seni memang berbeda dari sains dan teknologi, maka aspek ‘cipta’ dalam seni mengandung pengertian terpadu antara kreativitas, penemuan (invention), dan inovasi (innovation) yang kesemuanya sangat dipengaruhi oleh kepekaan rasa atau emotion, feeling (Bandem, 2005). Metodologi penelitian seni tepat digunakan untuk menjelaskan hal itu, terutama terkait dengan aspek rasio dalam setiap penelitian seni yang dekat sekali dengan aspek rasa. Perihal rasa, But Muchtar dan Soedarsono menjelaskan lebih lanjut, logika dan daya nalar mengimbangi rasa dari waktu ke waktu dalam kadar yang cukup tinggi. Rasa timbul karena dorongan kehendak naluri yang disebut ‘karsa’. Karsa dapat bersifat personal atau kolektif, tergantung dari lingkungan serta budaya masyarakat (Ibid.).
Di lingkungan bidang seni metode penelitian acapkali masih menjadi persoalan dan menimbulkan perdebatan antar para pakar dan peneliti. Tidak sedikit peneliti seakan tidak berani membangun metode penelitiannya sendiri karena merasa kurang referensi, takut salah jika ide-ide kreatifnya dianggap tidak masuk akal (logic), dan merasa tidak memiliki model yang bisa dicontohnya. Peringatan (warning) mengenai hal itu sebenarnya telah lama disampaikan Soedarsono (1999: vi) bahwa seni pertunjukan Indonesia masih memerlukan uluran tangan dari disiplin lain terutama terkait dengan pendekatan, metode, teori, konsep, dan lain sebagainya. Terkait dengan rasa prihatinnya dan untuk memberikan referensi kepada para peneliti seni, Soedarsono memberikan ilustrasi model-model penelitian seni pertunjukan dan seni rupa terutama yang menggunakan berbagai metode pendekatan (approach method): ilmu komunikasi, antropologis, sosiologis, linguistik dan filologis, arkeologis, musikologis, etnomusikologis, historis, semiotik, psikologis, metalurgis, dan multi disiplin (Ibid.: 2-11).
Penelitian seni dapat dipastikan kelak akan menemukan sendiri metode-metodenya melalui berbagai eksplorasi dan praktik-praktik penelitian baik yang langsung maupun yang menggunakan berbagai macam pendekatan. Peneliti seni harus belajar dari bidang sejarah, karena para ahli sejarah pun pernah bimbang terkait dengan penelitian-penelitian mereka; apakah sejarah merupakan ilmu pengetahuan yang otonom atau harus dipandang secara multi-dimensi; hal itu dijawab oleh Louis Gottschalk, bahwa sejarah berdimensi tiga, karena mempunyai sifat ilmu, seni, dan filsafat (Nugroho Notosusanto, 1975: v). Sejarah dapat dipandang sebagai metode yang berpegangan kepada aturan-aturan keras untuk menetapkan fakta yang dapat diverifikasi. Sejarah bisa dikategorikan sebagai penyajian dan cerita, maka sejarah menuntut adanya imajinasi, selera sastra, dan ukuran-ukuran kritis. Tetapi, sejarah juga bisa digunakan untuk menjelaskan tentang hidup, untuk itu ia menuntut adanya wawasan dan pertimbangan seorang filsuf (Ibid.).
D. Paradigma Baru Penelitian Seni
Peneliti pada dasarnya seperti seorang penjelajah yang harus mengembara ke seluruh pelosok dunia dan bahkan hingga ke dunia ’lain’ penuh misteri baginya. Maka ia harus percaya diri, cerdas dan berpengetahuan, berani menghadapi berbagai tantangan, penuh ide kreatif, memiliki ketrampilan teknis, berwatak jujur, sabar dan rendah hati, serta berhati mulia. Jika dibandingkan dengan jenius, orang yang sangat pintar di atas rata-rata umum; peneliti adalah seseorang yang memiliki tugas utama memecahkan problem-problem yang tidak sederhana. Peneliti dan jenius memiliki banyak kesamaan karakter dan tugas-tugasnya; tentang jenius, James Joyce menyatakan: ’A man of genius makes no mistakes. His errors are volitional and are the portals of discovery’ (Buzan dan Keene, 1994: 8). Bagi seorang peneliti terutama pemula, sangat penting untuk membangun karakter seperti tersebut di atas dan jika perlu tidak usah malu berperilaku seperti seorang jenius.
Peneliti pemula harus membangun rasa percaya diri sedemikian rupa melalui berbagai caranya masing-masing. Sebagian cukup belajar dari koleganya yang telah berpengalaman meneliti, sebagian belajar dari buku-buku, dan yang lain mencoba-coba (trial and error) hingga mengerti dan mampu melaksanakan penelitian. Semua usaha itu dapat dilakukan jika peneliti mengerahkan segala potensinya seperti energi, memori, kreativitas, dan lain sebagainya. Albert Einstein, adalah contoh jenius dalam bidang fisika yang mengajukan teorinya melalui rumus E = mc² (terdapat kaitan antara energi, massa, dan kecepatan cahaya dalam realitas fisik dunia) yang tampak sederhana, tidak rumit, dan seakan mudah sekali dipahami orang. Rumus itu oleh Buzan dan Keene (Ibid.) diadobsi menjadi e M = C∞ (energi plus memori menghasilkan kreativitas tak terhingga) untuk tujuan menyadarkan dan mengajarkan kepada semua orang agar mau mengoptimalkan potensi diri menjadi jenius setara dengan Einstein.
Peneliti dan jenius dalam usahanya menemukan sesuatu atau bekerja secara kritis, sama-sama harus mengembangkan daya kreasinya. Kreativitas (creativity = creative + activity) bermakna aktivitas kreatif. Kata kreatif bersumber dari kata creare (bhs. Latin) yang berarti mencipta. Kreativitas (perihal kreatif) adalah kualitas yang paling banyak dikaitkan dengan jenius yang unggul dalam menggunakan kekuatan rasio dan memorinya untuk menghasilkan karya-karya besar baik dalam bidang sains maupun seni. Sesungguhnya ada banyak definisi kreativitas, antara lain menurut Kreitner dan Kinicki (2001: 364-5), kreativitas didefinisikan sebagai suatu proses yang menggunakan imajinasi dan ketrampilan dalam mengembangkan sebuah produk, benda, proses, atau pikiran yang baru dan unik. Kreativitas adalah proses dalam mengembangkan sesuatu yang baru atau unik. Ada lima tahapan proses kreatif: (1) persiapan, (2) konsentrasi, (3) inkubasi, (4) iluminasi, dan (5) verifikasi.
Peneliti bisa banyak belajar dari para seniman, jenius, dan penemu-penemu sepanjang sejarah. Leonardo da Vinci (1452-1519) adalah jenius nomor satu dari seratus jenius sepanjang masa menurut penelitian Buzan dan Keene (Ibid.: 236); ia terkenal sebagai pelukis Mona Lisa, pemahat, musisi yang mencipta instrumen, komposisi, dan memainkan musik; tetapi juga dikenal luas dalam berbagai lapangan ilmu-ilmu kealaman seperti botani, geologi, geografi, dan anatomi. Sebagai insinyur Leonardo dikenal dalam bidang hidraulik, penggagas mesin untuk terbang, ilmu kemiliteran, dan akuanautika. Vincent van Gogh melukis The Starry Night (1889) yang menggambarkan malam gelap penuh bintang dan tak beraturan, lukisannya ternyata cocok dengan foto-foto kosmos yang dibawa pulang para astronaut satu abad kemudian. Fakta bahwa kondisi jagat raya sangat dinamis dan tidak kekal, maka lukisan itu cocok dengan teori-teori modern pulsar, nova, super nova, dan black hole.
Penemu serba bisa Thomas Alva Edison lahir tahun 1847 di kota Milan, Ohio, Amerika Serikat bisa dijadikan contoh. Edison adalah jenius yang semula dianggap bodoh, tetapi dapat membuktikan bahwa ide-ide kreatifnya terbukti bermanfaat besar bagi dunia. Ia hanya sempat memperoleh pendidikan formal selama tiga tahun, karena sesudah itu dikeluarkan dari sekolah oleh si guru yang menganggapnya sebagai anak dungu. Edison bukan orang pertama yang menciptakan sistem penerangan listrik, sebelumnya lampu listrik telah digunakan sebagai lampu penerangan jalan di Paris. Tetapi, Edison menyempurnakan sistem penerangan listrik dengan menciptakan bola pijar listrik agar lebih praktis digunakan pada rumah-rumah. Tahun 1882, perusahaannya mulai memproduksi listrik untuk rumah-rumah di New York, dan dalam tempo singkat sudah tersebar ke seluruh penjuru dunia. Penemuan bola lampu pijar Edison bersifat menyempurnakan dan menjawab kebutuhan masyarakat luas bukan hanya di Amerika tetapi ke seluruh dunia.
Era Klasik Abad ke-18 dalam Sejarah Musik ditandai oleh aliran Klasik Wina yang ditopang tiga komposer besar Haydn, Mozart, dan Beethoven. Mereka berjasa dalam mengembangkan simfoni dan konserto terkait dengan bentuk musik sonata. Mozart dikenal sebagai jenius atau anak ajaib karena kemampuan memori dan bakat musiknya yang sangat fenomenal sejak dini. Reputasinya sebagai musisi yang cerdik terbukti ketika Mozart mencipta musik sinfonia konsertante bergaya campuran antara simfoni dan konserto. Konserto groso kala itu sudah ditolak umum, karena pencinta musik lebih suka simfoni yang dianggap lebih homofonis dan agung. Demi memenuhi hasrat mencipta musik dengan kekuatan solistis, kontrapungtis, dan responsorial seperti konserto groso tetapi juga sekaligus memuaskan penggemarnya, maka Mozart mengambil jalan tengah tersebut. Era Romantik Abad ke-19 dimulai oleh jenius Beethoven sebagai komposer Wina paling berpengaruh sepanjang zaman. Ia memperjuangkan kebebasan atas tirani, sensorsip, penindasan, dan ekspresi artistik—usahanya diwujudkan melalui Simfoni Eroica, Overture Egmont, Opera Fidelio, dan Simfoni No. 9 yang sangat spektakuler. Beethoven menjadi ujung tombak bagi dimulainya romantikisme dalam musik yang ingin meninggalkan keseimbangan rasio dan rasa klasik menuju kebebasan ekspresi romantik. Pergolakan batin, penyelidikannya, spirit kreatif, dan cita-citanya mematahkan bentuk-bentuk tradisional klasik akhirnya tercapai. Beethoven mempelopori gaya musik yang lebih universal dengan melampaui batas-batas gaya Eropa seperti ciptaan-ciptaan Haydn dan Mozart.
Plato dan banyak filsuf lain melakukan penelitian bidang seni yang menghasilkan teori-teori seni; para seniman seperti Leonardo da Vinci bahkan melakukan penelitian terapan yang sangat penting bagi ilmu-ilmu pengetahuan lain di luar seni; kini kita banyak menyaksikan orang-orang cerdas dan gigih yang berusaha mencari terobosan dalam mengembangkan kesenian seperti Suzuki. Mereka adalah para peneliti seni yang berhasil membebaskan dirinya dari keterikatan atas paradigma lama pada masanya sendiri. Jauh sebelum para komposer dan kritikus musik berdebat tentang hakikat keindahan musik, para peneliti seni telah bekerja meletakkan dasar bagi perkembangan musik Barat. Filsuf era mistik Pythagoras melakukan eksperimen akustik dengan membanding-bandingkan secara matematis relasi nada-nada atau yang kini dikenal dengan istilah interval nada. Ia mencermati kualitas bunyi yang ternyata ada yang enak didengar (concord) dan yang lain tidak enak didengar (discord). Interval-interval temuan Penelitian seni yang menghasilkan teori atau penemuan baru bisa jadi tanpa disadari segera membentuk paradigma baru. Contohnya dalam kancah pendidikan musik, Shinichi Suzuki menghasilkan Metode Suzuki (Suzuki Violin Method) pada pertengahan abad keduapuluh yang disambut baik bukan saja di Jepang dan Asia tetapi bahkan di Amerika dan negara-negara Barat lainnya seperti Inggris, Kanada, hingga Selandia Baru. Tesis Suzuki tentang bakat, metode pembelajaran, dan filsafat pendidikan musik, dapat dikatakan mencapai tujuannya yakni merevisi pandangan klasik Barat sebelumnya. Hasil-hasil penelitian Suzuki yang pada awalnya terkesan kontradiktif dengan umum ternyata segera terbukti benar dan diakui secara luas. Menurutnya, bakat bukan turunan dari orangtua tetapi bisa diajarkan kepada murid yang sebelumnya tidak berbakat sedikitpun. Metode Suzuki bertujuan membantu semua anak tanpa terkecuali bisa belajar musik secara mudah dan sedini mungkin. Anak-anak usia pra-sekolah tanpa bakat musik, yang belum bisa membaca abjad maupun notasi musik, bisa mulai belajar musik dengan cara menirukan bunyi (imitatif). Anak-anak harus belajar musik atau seni lainnya agar mereka memiliki kepekaan rasa dan kelak menjadi orang-orang yang baik budi (fine character). Metode pembelajaran musiknya yang dinamakan Metode Ibu (Mother-tongue method) segera mendapatkan respon positif dari para orangtua di Jepang. Di bawah semua upayanya melakukan penelitian yang tak kenal lelah itu, Suzuki perlu membangun fondasi pemikirannya tentang pendidikan musik melalui filsafatnya Nurtured by Love yang segera menjadi acuan banyak guru musik di seluruh dunia, mereka tergerak turut mengubah paradigma lama kepada pembelajaran musik yang modern, alami, penuh cinta-kasih, dan menyenangkan sesuai dengan dunia anak-anak.
Penelitian musik oleh Wei Tsin Fu, pendiri ANTIM (Academy of Networked Thinking in Music), dipublikasikan sebagai Sistem Pembelajaran Musik Wei Tsin Fu yang bertujuan mencerdaskan semua orang dengan meningkatkan potensi jenial khususnya kecerdasan IQ dan EQ. Wei melakukan terobosan penting terkait dengan efisiensi belajar dan menciptakan jenius-jenius melalui musik dalam waktu singkat. Penelitian yang diklaim sendiri sebagai satu-satunya di dunia itu mulai dikembangkan di Jerman melalui penyelidikan fungsi otak selama 30 tahun. Suzuki berpengalaman sebagai musisi, guru musik, dan sebagai seorang humanitarian untuk melakukan pendekatan seni, pedagogik, sosial, dan psikologi; sedangkan Wei belajar dari kondisi fisiknya yang lemah pada waktu mudanya untuk melakukan penelitian intensif tentang fungsi otak dan musik dengan memanfaatkan laboratorium dan teknologi modern.
Kreativitas adalah kemampuan (seseorang) untuk mengenal (mengidentifikasi) masalah secara tepat dan memberikan jawaban yang tepat terhadap masalah itu (Saini KM, 2001: 26). Seorang peneliti seni pada dasarnya adalah peneliti yang sekaligus seniman atau sebaliknya, seseorang yang harus memiliki kepekaan ilmiah dan seni secara seimbang serta mampu menggunakan kemampuannya secara simultan dalam meneliti atau mencipta karya seni. Jika peneliti seni berusaha melakukan pendekatan teoretik terhadap permasalahan kesenian, maka seniman berorientasi pada realitas-realitas dalam mencipta. Saini KM (Ibid.: 49) mengatakan, bahwa kesadaran seniman adalah pikiran, perasaan, dan khayal seniman; tetapi kesadaran itu sebelumnya sudah bersinggungan dengan berbagai realitas. Para penemu, seniman, maupun peneliti seperti tersebut di atas adalah orang-orang yang selain jenius tetapi juga unggul dalam menggunakan kreatibilitas atau daya kreatifnya mengenali realitas dan memberikan solusi yang tepat.
Kreativitas biasanya dikaitkan dengan seni, ilmu pengetahuan, dan perkembangan teknologi dalam konteks mengembangkan ketiga bidang itu (Toeti Heraty Noerhadi, 1983: 10-13). Menurutnya, kreativitas adalah suatu fungsi biologis manusia yang berbeda dengan mahluk-mahluk lain seperti hewan, kreativitas didefinisikan sebagai restrukturasi kreatif, kemampuan seseorang untuk mengatasi masalah atau tatanan lama dan menggantinya dengan tatanan baru. Kemudian, Edward de Bono (1996: i) berpendapat, untuk menghasilkan ide-ide baru seseorang harus menggunakan kekuatan berpikirnya yang ’lain’ (The power of lateral thinking). Seseorang tidak mungkin bisa menemukan ide-ide kreatif jika hanya mengandalkan cara berpikir yang sekalipun logis tetapi tetap linear. Ia memberikan ilustrasi seperti berikut:
If I were to sit down and say myself, ”I need a new idea here (insert actual need area),” what should I do?
I could do research and try to work out a new idea logically.
I could borrow or steal an idea used by someone else.
I could sit and twiddle my thumbs and hope for inspiration.
I could ask a creative person to produce an idea for me.
I could hastily convene a brainstorming group.
Or I could quietly and systematically apply a deliberate technique of lateral thinking (such as the random word technique), and in 10 to 20 seconds I should have some new ideas.
Paradigma baru seni atau khususnya dalam penelitian seni hanya bisa dilahirkan oleh para seniman, pendidik, dan peneliti bidang seni jika mereka terus-menerus menggunakan persepsinya terhadap lingkungan dan daya kreativitasnya dalam bekerja untuk melampaui batas-batas paradigma lama yang mulai dirasakan tidak cocok lagi. Dunia pendidikan seni, sebagai contoh, sudah saatnya memikirkan kembali paradigmanya yang selama ini digunakan, masih cocok dengan kondisi dan dinamika sekarang atau perlukah diganti dengan yang baru. Untuk itu peneliti seni sebaiknya belajar dari sejarah paradigma ilmu pengetahuan (termasuk bidang penelitian) sebelum menyadari sikap paradigmatiknya, atau memilih paradigma barunya. Sejarah itu meliputi Renaisans abad ke-16 dan ke-17 yang melahirkan paradigma rasionalisme versus empirisme; kemudian puncak prestasi ilmu pengetahuan abad ke-19 yang melahirkan paradigma positivisme dan bahkan sebagian masih diagung-agungkan hingga kini; abad ke-20 yang dianggap memberikan jawaban melalui fenomenologi dan metode keilmuan, atau kini dengan antipositivisme sebagai paradigma baru yang berusaha mengoreksi prinsip-prinsip mencapai kebenaran sebelumnya. Semua paradigma itu sejak mula hingga kini dikembangkan demi mencapai kebenaran ilmiah semata.
Paradigma adalah semacam ”payung fantasi” yang menaungi setiap orang, terutama ilmuwan, seniman, dan peneliti seni—yang secara sadar maupun tidak sadar menggunakan sebagai landasan atau pedoman berpikir, bekerja, dan mengambil keputusan. Dalam konteks menjelaskan pemikiran Thomas Samuel Kuhn, Gahral Adian Donny (2000: 86) mengatakan, paradigma menjadi kerangka konseptual dalam mempersepsi semesta. Artinya, tidak ada observasi yang netral. Semua pengalaman perseptual kita selalu dibentuk oleh kerangka konseptual yang kita gunakan. Thomas Kuhn berpendapat, perkembangan ilmu pengetahuan terjadi secara revolusioner, artinya paradigma lama (yang dahulu juga memperbarui paradigma sebelumnya) selalu ditantang oleh adanya anomali (kondisi ketidakcocokan antara fenomena dengan paradigma yang sedang berlangsung) yang melahirkan paradigma baru. Donny memberikan contoh, Aristoteles melihat gerak benda jatuh sebagai garis lurus, sedangkan Newton mempersepsinya sebagai gerak pendulum. Menurut Kuhn, keduanya sama-sama melihat alam semesta secara ontologis tetapi menggunakan paradigma yang berbeda (Ibid.).
Dalam seni khususnya musik, Mozart dan Beethoven telah menjadi sedikit contoh dari mereka sebagai jenius-jenius kreatif yang mampu melahirkan paradigma baru musik pada zamannya masing-masing. Penelitian Shinichi Suzuki di Jepang bahkan kemudian diterima secara mendunia sekaligus melahirkan paradigma baru sebagai alternatif daripada model-model pendidikan musik Barat yang lebih mapan sebelumnya. Mozart, Beethoven, dan Suzuki; semuanya berhasil melampaui anomalinya masing-masing dan melalui karya-karya monumentalnya telah membentuk paradigma baru. Jika Mozart mampu merespon selera zamannya dengan cerdas melalui karya sinfonia konsertante, maka lebih dari itu Beethoven berprestasi melahirkan musik bergaya universal lebih dari karya-karya Haydn dan Mozart serta melampaui batas-batas kultur Eropa. Ia juga berani menunjukkan persepsinya terhadap Napoleon sebagai Kaisar Perancis yang dianggapnya ’keterlaluan’ melalui Simfoni Eroica.
E. Penutup
Seni adalah sains yang bersifat ilmu dan filsafat, bahkan kini sangat dekat dengan teknologi. Maka, penelitian seni adalah penelitian ilmiah yang bersifat luas dan bahkan bisa dilaksanakan secara modern menggunakan alat-alat bantu teknologi. Metodologi dan metode-metode penelitian seni akan berkembang jika atmosfer penelitian di lingkungan PTSn ditumbuhkan secara harmonis dengan dharma pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat.
Paradigma baru yang memandang seni sebagai sains perlu terus dikembangkan agar menjadi landasan berpikir yang bebas dan memberikan perasaan merdeka para peneliti seni baik akademisi maupun seniman. Paradigma baru penelitian seni bisa dibangun di atas kebebasan berpikir dan berkreasi seniman, pendidik seni, dan peneliti seni. Oleh karena itu diperlukan pembebasan diri dari model-model, sistem berpikir, atau tradisi-tradisi ilmiah dalam lingkup kesenian secara bertanggung-jawab. Pembebasan itu bukan semata-mata harus mengganyang paradigma lama dan sekadar mengganti dengan yang baru; tetapi seniman, pendidik seni, dan peneliti seni perlu melakukan perenungan berulangkali terkait dengan kemungkinan adanya anomali-anomali, kemudian baru bekerja untuk menghasilkan sesuatu yang memang baru dan cocok dengan idealismenya sekarang.
Paradigma baru penelitian seni harus diupayakan oleh semua pihak, seperti seniman, pendidik seni, dan peneliti seni khususnya di lingkungan PTSn agar ilmu pengetahuan seni berkembang serta melahirkan karya-karya seni sebagai model-model yang berguna bagi masyarakat. Teori perkembangan ilmu pengetahuan Thomas Kuhn yang menyatakan paradigma baru menggantikan paradigma lama setelah mempertimbangkan anomali-anomali, ternyata sesuai dengan hakikat-hakikat perkembangan seni khususnya musik. Jauh sebelum Kuhn, para komposer telah berkarya atas dasar prinsip-prinsip tersebut dengan menggunakan kreativitas mereka secara sangat hebat. Mereka adalah seniman sekaligus peneliti, sekalipun hasil kerjanya berupa karya-karya seni dan bukan laporan penelitian.
Daftar Pustaka
Anh, To Thi. 1984. Nilai Budaya Timur dan Barat: Konflik atau Harmoni?, diterjemahkan oleh John Yap Pareira, Jakarta: Penerbit PT Gramedia.
Bandem, I Made. 2005. “Kekhasan Penelitian Bidang Seni”, makalah ilmiah disajikan dalam Forum Diskusi Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Bidang Seni, DP3M Ditjen Dikti Depdiknas 7-9 September 2005 di Denpasar-Bali.
Bono, Edward de. 1996. Serious Creativity: Using Power of Lateral Thinking to Create New Ideas, London: HarperCollinsBusiness.
Buzan, Tony and Raymond Keene, 1994. Buzan’s Book of Genius: And how to unleash your own, London: Stanley Paul.
Donny, Gahral Adian. 2000. Menyoal Objektivisme Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Teraju.
Gie, The Liang. 2000. Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIB).
Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah: Pengantar Metode Sejarah, terjemahan Nugroho Notosusanto dari judul asli Understanding History: A Primer of Historical Method, 2nd edition 1969, Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia.
Heraty Noerhadi, Toeti. 1983. ”Kreativitas, Suatu Tinjauan Filsafat” dalam Kreativitas, S. Takdir Alisjahbana (ed.), Jakarta: Akademi Jakarta dan Penebit PT Dian Rakyat.
Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat, Yogyakarta: Penerbit ”Paradigma”.
Kreitner, Robert and Angelo Kinicki. 2001. Organizational Behavior, 5th Edition, New York: Irwin/McGraw-Hill.
Lasiyo, 2004. “Logika Dalam Penelitian”, makalah pada Program Pra S3 Ilmu Filsafat Angkatan IV Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Mantra, Ida Bagoes. 2004. Filsafat Penelitian dan Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Artikel ini telah dimuat di Harmonia Vol. VII no2 /2007
0 komentar:
Posting Komentar